Senjakala waktu tempuh.
"Sangkala waktu di antara musim berlari. Kemarau mengikis tetumbuhan. Adat meniupkan cinta, Ranying Mahatalla Langit. Susastra kidung terpana abang padang rembulan ... Wiwaha renjana selepas sukma ... "
"Kulitmu kehijauan di bawah rimbun pepohonan hutan oleh pancaran terang mentari, bekerlip intan", kalimat itu kenangan pujian estetis, terakhir dari, Seta Pawaka, sejak itu, dia, tak lagi pernah muncul bersama halilintar.
Ratna Wilis, tak berhenti mencari jawab, inikah cinta, lampau, berlalu sudah masa ketika itu. "Cinta bergelimang kasih sayang", tak lama suara lembut, berlompatan dua bocah kembar, remaja secantik ibunya, serupa banget ketiganya.
"Apakah ibu melihat ayah?" Nirmana, girang.
"Kami melihat sekelebat halilintar ibu. Apakah dia, ayah?" Nirmala, pun sama girangnya.
Si kembar, menyusul lompatan ibunya, terbang di atas Alas Purwa Semadi, tak jauh dari perbukitan pegunungan purba Dieng, keduanya nyantol di kanankiri kaki ibunya, kadang kala pula keduanya terbang bersisian, sembari ceriwis bertanya banyak hal.
**
Senandika di antara waktu tempuh.
"Sungkem larung sasmita buana suryakencana sepagi embun melangit lembut. Pesyair mahabiru menyulam selangit aksara netra sangdewi bagai ia interlud menggelombang."