Memilih menulis dengan pena, ia tak ingin tercemar frekuensi radio aktif infra merah, ia ingin tetap sehat, tak ingin otaknya mengecil. Tak saja itu, ia tak ingin terdata dalam pelariannya. Meskipun frekuensi menghidupi dirinya, dalam pengasingan pelariannya. Jadi, tak ayal lagi tak mudah pula untuk memperlihatkan diri, di arena publik, kecuali, ia inginkan.
Di tengah isu massal oral-isme kaum pemburu, akan tetapi bukan dia kalau tak mampu bersiasat, satu-satunya system-aura sempurna dari semua system telah dicipta. Hal itu membuat pula, ia semirip tokoh penting paling dicari raib di kolong meja, molos bersistem oleh system. Tak ada satupun mampu membayangkan jika tafsir menjadi terbalik, si pena akan fight back, tak ada pula mampu membayangkan kemarahan si pena, akan menjadi bumerang tektonik, merangsek sesingkat detik, jika ia terancam.
Karena si pena, tergolong makhluk hidup, tak terduga hasil dari, system-pembuatnya, kewalahan tak pernah sampai mengejar, tak mudah menentukan klasifikasi hidup si pena, kecuali berpredikat, makhluk, tak ada istilah tertepat untuk jenis makhluk semacam si pena, mesin bernyawa, atau robot canggih atau alien, di antara kehidupan, normal, sekaligus di antara keluarga system-pembuatnya, termasuk di kasta kekuasaan tertinggi dari kaum system-pembuatnya, dibikin repot, banget deh.
Pengarangnya sendiri dibuat pusing, kehilangan arah dalam kisah rangkaian literasi alur cerita, karena memang si pena, sesungguhnya tak ingin tampil berperan. Namun, bukan pengarang kalau kalah oleh bentuk peranan tokoh tengah bertengger di ubun-ubun, terus menguap berkisah-kisah, sulit memprediksi, ketika peranan berkelit saat akan dilahirkan.
Sementara, ia sebagai pengarang terus dicurigai, langkah demi langkah dikuntit oleh system pengawasan-telah kehilangan daya keyakinan, tak mampu membedakan, apa, siapa, personalisasi publik orang per-orang, pilihannya, apapun, itu, termasuk makhluk serangga sekelas nyamuk, sekalipun, wajib dicurigai, hal itu semata karena sebuah kelemahan, dari the moral of system, di dalam-system. Untuk apa memelihara ketakutan ataupun kecurigaan, hanya, memicu hipertensi lebih cepat.
Meskipun system menyadari, juga pengarangnya-mencurigai ciptaannya, merupakan suatu kemunduran, dari kepandiran, sebab pula, hal pandir itu tumbuh, dari, akibat sebaliknya, di karenakan terperangkap fobia sifat-sifat molekuler, ketakutan amoral dari system itu sendiri, mempengaruhi getar-getar frekuensi, terpola telah berpotensi terpolusi, tak jernih, sebab kejernihan, juga termasuk telah menjadi kelangkaan.
Sulit, memang menentukan arah inteligensi ber-system dalam tatanan paripurna, jika polusi kata database, berputar-putar, di pusat kendali syaraf-syaraf anonim, terkesan kelebihan beban, serupa represi pada akumulasi interaktif antar sistem, lantas ketika sebuah komedi satire memainkan kata-kata, langsung terdeteksi sistem pengawasan.
Mau kemana sesungguhnya seolah-olah hidup dalam sistem kematian, demikian pula dengan kematian seolah-olah hidup dalam sistem-kehidupan, keduanya, merupakan siklus telah lama teradaptasi di sel-sel, di slot-slot, detik berdetak-ketakutan amoral, lampau, di tengah pertumbuhan subur system amoral-mencemari bimasakti.
**
PUSAT KERAMAIAN MENJELANG TENGAH HARI.
Langkahnya, baik-baik saja. Normal saja, tak terlihat perbedaan-dari makhluk hidup kebanyakan.
"Selamat siang tuan," sapaan itu tak membuat dirinya mendongakkan kepala dari duduknya, tangannya terus menulis dengan pena, sekilas tampak lambat, terlihat normal saja gerakan tangan itu, tapi sesungguhnya amat cepat.
"Tuan? Selamat Siang." Si bertanya, belum terlalu memperhatikan benar si pena, si bertanya, menoleh ke kiri, ke kanan, mengamati, memperhatikan pengunjung pusat keramaian, terus simultan bergiliran, bergantian untuk menikmati waktu makan siang.
"Tuan? Selamat Siang?" Si bertanya, sembari menoleh kiri-kanan, mekanisme rutinitas, memperhatikan pengunjung keluar masuk, tunjuk tangan, memanggil-manggil, beragam suara, beragam rupa, di tengah kepadatan, rutinitas itu.
"Selamat Siang Tuan?" Si bertanya baru menyadari, perlunya melihat, ketika bertanya, ia kaget, karena sosok ber-pena di tangan, tersenyum kepadanya. "Maaf tuan. Selamat Siang."
"Selamat Siang kembali." Baru, si bertanya menerima jawaban.
"Maaf tuan."
"Tak perlu minta maaf. Sudah sejak anda bertanya. Saya menoleh, melihat anda."
"Maaf tuan." Suara si bertanya, perasaannya tak nyaman. Sosok itu kembali menulis dengan pena di tangan. "Maaf tuan," lanjut si bertanya.
"Ya. Ada apa." Sosok itu menjawab tanpa menoleh.
"Mau..."
"Pesanan saya tak lama lagi datang." Si pena, menyergah lebih cepat, namun dengan suara normal saja. Si bertanya, membalikkan badan, sembari bersungut-sungut.
"Terima kasih," jawaban si pena, terasa memekakkan telinga si bertanya, padahal si bertanya, telah melangkah cukup jauh, terus melangkah menuju tugas-tugasnya.
Tak lama si bertanya merasakan sesuatu di tubuhnya, bergeliat-geliut seperti akan limbung, tapi ia acuh saja, terus melakukan tugasnya, mondar-mandir kian-kemari, dari meja ke meja. Tak berapa lama, kemudian, tubuh si bertanya melenyap perlahan-lahan, tanpa disadari.
***
Jakarta Kompasiana, Juli 28, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H