Langkahnya, baik-baik saja. Normal saja, tak terlihat perbedaan-dari makhluk hidup kebanyakan.
"Selamat siang tuan," sapaan itu tak membuat dirinya mendongakkan kepala dari duduknya, tangannya terus menulis dengan pena, sekilas tampak lambat, terlihat normal saja gerakan tangan itu, tapi sesungguhnya amat cepat.
"Tuan? Selamat Siang." Si bertanya, belum terlalu memperhatikan benar si pena, si bertanya, menoleh ke kiri, ke kanan, mengamati, memperhatikan pengunjung pusat keramaian, terus simultan bergiliran, bergantian untuk menikmati waktu makan siang.
"Tuan? Selamat Siang?" Si bertanya, sembari menoleh kiri-kanan, mekanisme rutinitas, memperhatikan pengunjung keluar masuk, tunjuk tangan, memanggil-manggil, beragam suara, beragam rupa, di tengah kepadatan, rutinitas itu.
"Selamat Siang Tuan?" Si bertanya baru menyadari, perlunya melihat, ketika bertanya, ia kaget, karena sosok ber-pena di tangan, tersenyum kepadanya. "Maaf tuan. Selamat Siang."
"Selamat Siang kembali." Baru, si bertanya menerima jawaban.
"Maaf tuan."
"Tak perlu minta maaf. Sudah sejak anda bertanya. Saya menoleh, melihat anda."
"Maaf tuan." Suara si bertanya, perasaannya tak nyaman. Sosok itu kembali menulis dengan pena di tangan. "Maaf tuan," lanjut si bertanya.
"Ya. Ada apa." Sosok itu menjawab tanpa menoleh.
"Mau..."