Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebelum Musim

27 Juli 2024   20:54 Diperbarui: 27 Juli 2024   20:57 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photography Data Kompas.com

Negeri jauh 1882-1964.
Tidak pernah sekalipun menjamin hidupnya akan panjang umur, dia tidak ingin terpisah, ataupun dipisahkan oleh apapun, dari perasaan cinta kekasih jiwa, telah menjadi ruh di badan.

Hanya ada dua pilihan, mati sendiri karena usia, atau, mungkin saja, menabrakan diri ke gerbong kereta berkecepatan tinggi. Dia, telah berjanji, akan membawa mati perasaan dalam jiwa, apapun itu.

**

Periode 1882-1917.
Setelah sakramen pernikahan agung, cahaya gemerlapan memenuhi sublimasi keabadian cinta dari-Mu. Ya Bapak Segala Maha, merekah semua bunga dari surga, nyanyian rohani menulis tentang bahagia, dunia kami menjadi semesta doa, akan datang di antara kami, kekasih cinta dalam berkat kudus.

"Nev, cumbu aku di sini, sekarang di bawah rindang musim semi, jangan risaukan apapun, lepaskan sejenak tentang politik, perang-konspirasi itu." Kecupan di kening, syahdu, pelukan hangat, Nev, menghentikan suaraku sejenak.

"Nev, reguk aku sesuka kau mau. Ini cinta menyala-nyala, pegang lembut perutku, ia ingin secepatnya memelukmu." Kali ini bibirku menghangat, oh, aku sangat mencintai lelaki ini.

Suara Nev, membisik "Kau mata air surga di jiwaku kekasih."

"Nev, rasa hati dalam detak jantung mungil ini, serupa denganmu, tak berapa lama lagi ia akan melihat abadi kasih sayang untuknya, di antara cinta dalam jiwa kita." Langit merona warna nirwana. Kelopak bunga musim semi bagai gerimis di antara jiwa sewarna jingga.

Ketika cuaca menentukan waktu. Suara mungil keriangan di antara cinta keduanya.

**

Periode 1882-1915.
Musim membekukan semua bunga, pepohonan, dedaunan, danau kecil di tengah taman, memutih oleh musim, termasuk semua kursi taman, tempat bercengkerama tentang kita. Janji cinta dilarang larut oleh waktu, kecupan pertama terus menghangat di bibirku "Di bibirku juga." Jawabnya, merangkul bahuku, sekecup lagi ciuman hangat terasa pas, di bawah telinga, di bagian sensitif itu. "Sengaja, biar kau tergelitik, percaya padaku, Nev."

Jemari cantik menyentuh dagu. "Lihat, pandang mataku, kau melihat bola salju akan melindasmu, kalau tak percaya." Percaya, selalu percaya, meski satu jam lalu aku melihatmu sepintas, sekelebatan, kau, dengan pria muda itu, mengapa suara ini seperti hantu terus menerus menguji otakku. Ini, sebuah permainan dari interlud imaji, tolong, jangan muncul selalu, jiwaku mencintai perempuan ini, bukan perasaanku.

"Kau bisa percaya padaku, kekasih, atau kau tengah memainkan peran ganda dalam benakmu."

"Jadi kau percaya, kecupan itu menenggelamkan perasaan kita jauh ke dasar jiwa, abadi. Nev, kau lihat, di musim sedingin apapun ini, tak ada lain, kau bara penghangat cinta kita." Pelukan itu, membuat musim tak mengedipkan mata, cemburu, mungkin, melihat kami. "Nev, jangan lepaskan apapun dari jiwamu, peluk aku lebih erat."

Cinta hangat ini, serupa senjata berat tank baja memberondong jantungku, berdebar-debar, tak karuan, berkecamuk revolusi berbagai hal, realitas itu, aku melihatmu, beberapa kali, bahkan berkali-kali. "Suara, apa kau tak memberi toleransi sekedip mata saja, biarkan aku terus mencintai perempuan ini dengan jiwaku!"

**

Periode 1882-1932.
Berdentang lonceng rumah ibadah keabadian semesta doa, di kota kecil ini, mengingatkan banyak hal, ini bunga kesukaanmu, masih segar seperti pesanmu, "Belilah selalu bunga di toko bibi Anna, jangan bunga lain, selain bunga ini." Ya, aku penuhi semua pesanmu. "Jangan lupa makan sebelum selesai menulis." Bergegas ke dapur, gaun tidurmu aduhai tergerai lepas mengalun, menggelombang deru memburu, diterpa angin dari jendela, terperangkap kisah secantik musim.

Sembari menyeduh coklat untuk kita berdua, tak lupa seminggu sekali meluncur kalimat kesukaanku dari bibirmu, "Cukur bersih janggutmu, tipiskan kumismu, kau lelaki milikku. Apakah aku perempuan milikmu, Nev?"

"Kev, sejak pagi sudah melaju bersepeda ke sekolahnya," membisik kalimat terakhir itu, pelukan kesucian jiwa.

Kita, selalu ingin tergesa-gesa melambungkan gemintang ke angkasa, menerbangkan pesawat kertas di antara awan-awan meliuk-liuklah dalam badai tak ingin cepat berlalu, hempasan hujan, gigitan dingin setiap musim, mengguncang cuaca perubahan imajinasi, meledaklah halilintar, membakar tepian dermaga, hingga karam semua kapal uap, menepilah perahu.

Di tempat itu kritik mengalir deras dari bibirmu, bagian sebelum akhir dari novelku, tak seharusnya, aku mengadili nasib lelaki dengan sepenuh jiwa telah mencintai perempuannya, meskipun cinta itu senantiasa membara prasangka, kecurigaan, cemburu, tak pada tempatnya.

Kau teguh tak ingin bergeming, kritik melumat cumbuan, dari beberapa karya tulis telah-akan terbit, kerepotan kita pada kesehatan cinta. Semesta itu senantiasa leluasa, kami lelap dalam bening cinta itu, tak terurai sepanjang masa.

**

Periode 1882-1963.
"Ini bunga, bukan bunga lain itu, seperti pintamu. Apakah kau sudah memaafkan aku, nisan ini semakin tua, jelek, buram-kusam, tapi tetap batu pualam, seperti maumu."

Setiap kali aku menggosok-gosok nisan ini, dengan saputangan bersulam namamu pun sudah blur warna di sulaman ini, tak lagi warna lembayung, setiap waktu itu, kita, saling membisikkan satu kata, sakral, serentak, selalu, "Saling mencintai dengan jiwa."

Batu pualam ini, tetap nisan berkilau-kilau, meski, hanya memantul sedikit. Boleh, aku ganti, kalau aku telah berbaring di sampingmu, katamu. "Bagaimana cara aku mengganti, kalau aku terbaring di sisimu, kekasih."

"Lepaskan Papa, biarkan aku mengganti seperti keinginannya." Suara Kev, di belakangku, bersama Anna, cucuku, juga Anna, isterinya, menemani. Keluarga Kev, telah menjadi keluarga pengajar sains."

**

Pada 1964.
Cinta, misteri, hidup, biarkan keagungan alam menyimpannya. Di antara lalu-lalang publik, dia, terlihat duduk setenang hati di kursi tunggu penumpang trem listrik di kota kecil negeri itu, entah, mungkin selamanya atau sejenak menunggu waktu keberangkatan, sebelum musim dingin.

Perempuan, memungut sebuah buku, terbuka, tertelungkup, dekat kaki kanan lelaki itu, jelas terbaca judulnya, mungkin terjatuh dari pangkuan, kepala menunduk, sepertinya tertidur pulas. Ada, secarik kertas tertindih buku itu. "Nev, abadi cinta kita dalam jiwa. Karenina," menyelipkan kembali potongan kertas itu di halaman semula-sepenuh jiwa, meletakkan buku di pangkuan lelaki tua itu, mengecup keningnya, lantas berlalu, mungkin menuju musim dingin.

***

Jakarta Kompasiana, Juli 27, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun