Periode 1882-1915.
Musim membekukan semua bunga, pepohonan, dedaunan, danau kecil di tengah taman, memutih oleh musim, termasuk semua kursi taman, tempat bercengkerama tentang kita. Janji cinta dilarang larut oleh waktu, kecupan pertama terus menghangat di bibirku "Di bibirku juga." Jawabnya, merangkul bahuku, sekecup lagi ciuman hangat terasa pas, di bawah telinga, di bagian sensitif itu. "Sengaja, biar kau tergelitik, percaya padaku, Nev."
Jemari cantik menyentuh dagu. "Lihat, pandang mataku, kau melihat bola salju akan melindasmu, kalau tak percaya." Percaya, selalu percaya, meski satu jam lalu aku melihatmu sepintas, sekelebatan, kau, dengan pria muda itu, mengapa suara ini seperti hantu terus menerus menguji otakku. Ini, sebuah permainan dari interlud imaji, tolong, jangan muncul selalu, jiwaku mencintai perempuan ini, bukan perasaanku.
"Kau bisa percaya padaku, kekasih, atau kau tengah memainkan peran ganda dalam benakmu."
"Jadi kau percaya, kecupan itu menenggelamkan perasaan kita jauh ke dasar jiwa, abadi. Nev, kau lihat, di musim sedingin apapun ini, tak ada lain, kau bara penghangat cinta kita." Pelukan itu, membuat musim tak mengedipkan mata, cemburu, mungkin, melihat kami. "Nev, jangan lepaskan apapun dari jiwamu, peluk aku lebih erat."
Cinta hangat ini, serupa senjata berat tank baja memberondong jantungku, berdebar-debar, tak karuan, berkecamuk revolusi berbagai hal, realitas itu, aku melihatmu, beberapa kali, bahkan berkali-kali. "Suara, apa kau tak memberi toleransi sekedip mata saja, biarkan aku terus mencintai perempuan ini dengan jiwaku!"
**
Periode 1882-1932.
Berdentang lonceng rumah ibadah keabadian semesta doa, di kota kecil ini, mengingatkan banyak hal, ini bunga kesukaanmu, masih segar seperti pesanmu, "Belilah selalu bunga di toko bibi Anna, jangan bunga lain, selain bunga ini." Ya, aku penuhi semua pesanmu. "Jangan lupa makan sebelum selesai menulis." Bergegas ke dapur, gaun tidurmu aduhai tergerai lepas mengalun, menggelombang deru memburu, diterpa angin dari jendela, terperangkap kisah secantik musim.
Sembari menyeduh coklat untuk kita berdua, tak lupa seminggu sekali meluncur kalimat kesukaanku dari bibirmu, "Cukur bersih janggutmu, tipiskan kumismu, kau lelaki milikku. Apakah aku perempuan milikmu, Nev?"
"Kev, sejak pagi sudah melaju bersepeda ke sekolahnya," membisik kalimat terakhir itu, pelukan kesucian jiwa.
Kita, selalu ingin tergesa-gesa melambungkan gemintang ke angkasa, menerbangkan pesawat kertas di antara awan-awan meliuk-liuklah dalam badai tak ingin cepat berlalu, hempasan hujan, gigitan dingin setiap musim, mengguncang cuaca perubahan imajinasi, meledaklah halilintar, membakar tepian dermaga, hingga karam semua kapal uap, menepilah perahu.
Di tempat itu kritik mengalir deras dari bibirmu, bagian sebelum akhir dari novelku, tak seharusnya, aku mengadili nasib lelaki dengan sepenuh jiwa telah mencintai perempuannya, meskipun cinta itu senantiasa membara prasangka, kecurigaan, cemburu, tak pada tempatnya.