Kau teguh tak ingin bergeming, kritik melumat cumbuan, dari beberapa karya tulis telah-akan terbit, kerepotan kita pada kesehatan cinta. Semesta itu senantiasa leluasa, kami lelap dalam bening cinta itu, tak terurai sepanjang masa.
**
Periode 1882-1963.
"Ini bunga, bukan bunga lain itu, seperti pintamu. Apakah kau sudah memaafkan aku, nisan ini semakin tua, jelek, buram-kusam, tapi tetap batu pualam, seperti maumu."
Setiap kali aku menggosok-gosok nisan ini, dengan saputangan bersulam namamu pun sudah blur warna di sulaman ini, tak lagi warna lembayung, setiap waktu itu, kita, saling membisikkan satu kata, sakral, serentak, selalu, "Saling mencintai dengan jiwa."
Batu pualam ini, tetap nisan berkilau-kilau, meski, hanya memantul sedikit. Boleh, aku ganti, kalau aku telah berbaring di sampingmu, katamu. "Bagaimana cara aku mengganti, kalau aku terbaring di sisimu, kekasih."
"Lepaskan Papa, biarkan aku mengganti seperti keinginannya." Suara Kev, di belakangku, bersama Anna, cucuku, juga Anna, isterinya, menemani. Keluarga Kev, telah menjadi keluarga pengajar sains."
**
Pada 1964.
Cinta, misteri, hidup, biarkan keagungan alam menyimpannya. Di antara lalu-lalang publik, dia, terlihat duduk setenang hati di kursi tunggu penumpang trem listrik di kota kecil negeri itu, entah, mungkin selamanya atau sejenak menunggu waktu keberangkatan, sebelum musim dingin.
Perempuan, memungut sebuah buku, terbuka, tertelungkup, dekat kaki kanan lelaki itu, jelas terbaca judulnya, mungkin terjatuh dari pangkuan, kepala menunduk, sepertinya tertidur pulas. Ada, secarik kertas tertindih buku itu. "Nev, abadi cinta kita dalam jiwa. Karenina," menyelipkan kembali potongan kertas itu di halaman semula-sepenuh jiwa, meletakkan buku di pangkuan lelaki tua itu, mengecup keningnya, lantas berlalu, mungkin menuju musim dingin.
***
Jakarta Kompasiana, Juli 27, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.