MEMBURU TEROR MISTERIUS
Modernisme, menggubah kepurbaan bersulap diri berteknologi. Macapat tembang maskumambang. Siapa manusia. Siapa makhluk lain itu. Siapa musuh dalam selimut. Siapa kawan dalam kabut.
Pagebluk lewat sudah. Namun siapa pemilik nurani. Ketika khianat membarakan peperangan. Menunggu hujan dari langit. Semoga bertumbuh mataair kesuburan. Meski hipokrisi senantiasa mengintip kesempatan.
***
Pada waktu di sisi lain dunia Megapolis.
Luar kota Megapolis, terjadi ledakan dahsyat, misterius, penyebabnya membingungkan para penegak keadilan-keamanan. Termasuk Serikat Formal Intelijen Negara (SFIN) tampaknya hanya mampu geleng-geleng kepala tak habis mengerti apa tujuan dari ledakan dahsyat di hutan luar kota Megapolis. Mau tidak mau, lembaga SFIN, menghubungi perhimpunan, Masyarakat Negara-negara Internasional (MNI); Society of International Countries (SIC)
MNI atau SIC, dalam cerita ini, mempunyai kekuatan penuh untuk membantu bangsa, negara manapun sebagaimana deklarasi tertulis seluruh bangsa, anggota tetap lembaga itu. Meskipun campur tangan demi perdamaian bumi atas segala isinya, MNI atau SIC, kadangkala pula mengalami hambatan keputusan akibat perilaku tak elok, terperangkap, hegemoni beberapa negara kuat dari anggotanya.
Hambatan tersebut, kadang pula memicu nuansa situasi tak cantik bagi negara-negara anggota lainnya, di ranah perdamaian dunia khususnya antar negara tengah terjadi guncangan politisasi lempar batu sembunyi tangan ada udang di balik batu. Nah.
Seperti terjadi di beberapa belahan dunia jauh. Namun berkat kerjasama kuat, intens-berkesinambungan, terstruktur, murni, konsekuen, dari negara-negara anggotanya. Mampu meredakan suhu panas, perlahan-lahan, hingga mencapai tak panas dingin lagi, alias sembuh total, kalau tak ada aral melintang, lainnya. Selanjutnya damailah sebuah negeri.
Ini sekadar catatan reportase investigasi dari media lokal unggulan, memiliki kemampuan informasi valid. Demikian sedikit, salah satu unsur menjadi latar belakang 'Cerita Karnivor', ini. Masih banyak sih latar belakangnya, perlu kesabaran membacanya ya, okekah?
***
Kembali pada fokus peristiwa ledakan luar kota Megapolis. Tim gabungan ilmuwan-The Science Epidemic Rescue (SER) hingga peneliti sebab akibat guncangan global-The Global Rescue Earth Fire (GREF), terjun pula Rescue from Modern Weapons of War (RMWW); lembaga-lembaga tersebut beranggotakan berbagai bangsa di dunia, demikian, konon, menurut cerita ini.
SER, GREF, RMWW, bersama tim khusus anti teror SFIN, telah berada dilokasi kejadian sejak dini, waktu peristiwa tersebut. Terlihat betapa pusingnya mereka, padat diskusi, argumentasi para cerdas-berinteligensi prima, beranggotakan orang-orang khusus terpilih. Tak kenal lelah saling mendukung demi keamanan negara-negara di dunia.
Dialektika informasi penyelidikan berjalan mulus. Meskipun para petugas itu menggunakan alat bantu canggih penerjemahan terpasang di telinga. Mereka berkewajiban menggunakan bahasa 'ibu negeri' masing-masing, di saat bertugas, memudahkan mereka mengenali asal-usul, ciri dari negeri masing-masing pula.
Menariknya hal tersebut justru membuat hubungan kerja semakin kompak. Di luar tugas, mereka menggunakan bahasa internasional, karena tim dari anggotanya terdiri dari berbagai bangsa.
***
Kamera beralih ke sisi lain peristiwa. Pagi.
Salivikifka Mariahkusuma , ananda putri tunggal di antara tiga saudara lelaki, dia anak ke tiga, pelindung si bungsu, Kafkhaniva Aremananda, memaksakan kehendaknya untuk jadi abdi negara, meski ibunya perempuan ayu sederhana penari bintang, tak menghendaki semua anaknya bekerja di kemiliteran, ataupun serupa pekerja intelijen, atau pula apapun terkait dengan persenjataan.
Cukup sampai almarhum bapak mereka, berasal-usul, blasteran, dari benua jauh, kusumabangsa penerima bintang emas prestasi pengabdian tertinggi bidang kemiliteran, gugur, ketika membasmi gerakan gerombolan pemakan segala hal alias kelompok iblis kanibal. Namun keputusan Ilahiah menghendaki lain. Ananda kakak pertama, juga kakak kedua, telah menjadi perwira tinggi berprestasi bagus.
Salivikifka, bergegas keluar dari ruang superinvestigasi sistem. Menuju keluar koridor, melompat ke motor-supercepat, keren banget, berkostum merahmawar. Geram, namun dia wajib mengendalikan diri. Diperlukan kesabaran akurat, sekaligus ketenangan mumpuni, menghadapi hal ihwal sedang dituju, situasi pelik barangkali. Mudah-mudahan, dia, akan baik-baik saja.
Wajahnya nan ayu rupawan, tetap menajamkan mata, fokus pada data terus berseliweran di helm sedang dia kenakan, kadang waktu, pada detik tertentu informasi itu berpindah kelayar mungil di bagian elemen instrumen dekat spidometer motor canggihnya. Menampilkan rekaman mukajelek para pengalih kejahatan dalam sulapan tekno terkini.
Salivikifka, dia, mampu mengenali siapa sesungguhnya di balik samaran dalam bentuk apapun, dari kelakuan oknum personal jahat itu, termasuk seluruh organisasi serapannya. Â
***
Kamera beralih ke interior ruang kerja. Siang.
"Lakukan manufer. Kejar-sergap. Cukup satu jet tempur. Segera." Tenang perlahan. Bintang di pundaknya menunjukkan kematangan seorang perwira tinggi penerbang. Lulus terbaik ketika melakukan penyelamatan sandera, di Jazirah jauh.
Bukan sekadar sebuah syarat, seorang kadet wajib lulus, bukan pula uji coba. Tapi keberanian mengajukan diri menuju tempur, sebagai taruna terbaik di kelasnya, lulus tes penugasan menuju peristiwa penyelamatan sebenarnya. Dia berhasil baik, meskipun komandan sangat dihormati gugur dalam tugas itu, karena melindungi dia, ketika itu.
Sagatva Aremananda, putra sulung keluarga itu, lulus terbaik berhasil menyelamatkan penyanderaan warga sebangsa setanah air, merupakan bagian dari salah satu keberhasilan penugasan penyelamatan sandera tercepat, dicatat dunia. Â
Beberapa saat kemudian. Informasi cepat mengabarkan, bahwa pesawat pelanggar perbatasan udara, telah di daratkan dalam kondisi baik. Sebuah pesawat latih ringan swasta milik negara asing, telah kehilangan kendali, akibat gangguan pancaran radar tak berfungsi baik. Sagatva, memerintahkan perwira tinggi bintang satu, untuk menyelesaikan masalah tersebut. "Konperensi pers tertib. Segera."
"Baik Jenderal." Barbaru Dovan, perwira tinggi bintang satu. Bersegera melaksanakan tugas.
***
Kamera beralih ke sisi lain peristiwa. Malam.
Dia. Lalaki itu. Tafakur di puncak gedung di antara gedung-gedung tertinggi, di kota Magapolis. Mungkin belum selesai tugasnya. Namun dia, telah berjanji pada ibu terkasih berkat cinta darinya, dia menjadi anak lelaki kuat. Lurus budi, sekalipun terlihat seolah-olah pengembara tanpa tujuan. Sepertinya begitu, dugaan hamba, belum tahu apakah dia, akan melakukan tujuan berikutnya.
Dia memasang  instrumen senjata pembidik tunggal laras panjang. Apa, sebetulnya tengah dia pikirkan, akan dia lakukan, di ketinggian gedung tertinggi di kota Megapolis ini. Tampak dia membidik kian kemari seperti mencari-cari sasaran, dalam lensa tele-bidik di atas senjata tunggal laras panjang. "Ibu maafkan aku." Seperti bicara pada diri sendiri, perlahan. Mungkin sasaran telah dia temukan. "Dor!"
"Haruskah kematian demi kematian tiada arti. Perlukah arti dari kematian. Ketika sembelit menikam punggung." Terdengar sayup tembang dari langit.
***
Jakarta Kompasiana, Juli 24, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H