Dia memasang  instrumen senjata pembidik tunggal laras panjang. Apa, sebetulnya tengah dia pikirkan, akan dia lakukan, di ketinggian gedung tertinggi di kota Megapolis ini. Tampak dia membidik kian kemari seperti mencari-cari sasaran, dalam lensa tele-bidik di atas senjata tunggal laras panjang. "Ibu maafkan aku." Seperti bicara pada diri sendiri, perlahan. Mungkin sasaran telah dia temukan. "Dor!"
"Haruskah kematian demi kematian tiada arti. Perlukah arti dari kematian. Ketika sembelit menikam punggung." Terdengar sayup tembang dari langit.
***
Jakarta Kompasiana, Juli 24, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!