Sahir, tafakur di lantai tiga puncak dari kantor koran harian daerah. Hatinya tak pernah ragu. News tetap news, tak tergantikan. Temuan itu faktual berita, bukan sekadar carangan, atau, asal publik senang, membaca gosip selebritas politik. Berita telah disampaikan pada khalayak. Tak ada kata lain bagi Sahir ‘lawan’, hanya ada itu.
**
“Berita, kunci dari data di tengah arus ambiguitas simpang siur panorama isuisu berawan hitam pekat menyimpan badai. News, pengabdian pada masyarakat, itu singkatnya, hukum tunggal dari pers”, suara di benak Sahir, semakin menyala. Apapun bagi Sahir, tak akan mundur. Dia, jurnalis, menjadi seperti itu karena ibunya, mendidiknya untuk jujur, berani berkata benar.
Ibu Sahir, mengisi waktu senggangnya sembari menjadi buruh panen, buruh pabrik, buruh cuci hingga kini. Ibunya, berdagang sayur mayur rutinitas di pasar daerah. Tak jauh dari kantor Sahir. Adiknya, Aisyahnifrani, akhirnya juga mengikuti jejak Sahir, reporter di media teve terkemuka di kota lain, pernah mengungkap kasus besar sekitar perselingkuhan pejabat penting.
“Abangku masih kuat, tahan hempasan badaikan? Pasti, seperti ketika kau menyelamatkan aku dari hempasan badai di puncak gunung itu”, perbincangan Sahir, dengan adiknya, beberapa waktu setelah berita kasus penting itu diungkap Sahir. Keduanya selalu memberi semangat, itu, pelajaran dari ayah-ibu mereka, sebelum ayahnya hilang dengan syairnya, di antara carut marut badai politik negerinya. Hingga kini Sahir, tak pernah menemukan jasad bapaknya.
Dukungan dari tim koran hariannya sudah siap menghadapi gugatan apapun. Kembali kepada sumber dasar jurnalisme-mata rantai informasi publik, di dalam berita itulah sumber dari segala kebenaran kehidupan, esensial tersahih. Tak sekadar oral, bak slogan politik golongan atas nama huahihu, sebaliknya, tak mampu menyelesaikan perambahan kekayaan negeri, pencurian habitat penting hingga spesies langka.
Aku lahir di sini, di negeri tercinta ini, dibesarkan, disusui oleh ibundaku, membimbingku, bersama bapakku, sang penyair, menyuarakan nuraninya tanpa batas atas nama apapun, lantas ia sirna bagai mega ditelan badai gigantik. Kami telah ikhlas ayah. Demi tanah lahir ini, itu selalu pesanmu sejak aku di wawasan pendidikan dasar. Sahir, tak akan mundur selangkahpun menghadapi gugatan itu.
“Sejarah mencatat seorang rasul utusan Ilahi, mempu menghadapi imperium kekuasaan feodal sendirian, hanya dengan kesabaran, para sahabatnya ikhlas berjuang bersama beliau.” Sahir, semangat batinnya bersuara kuat, hanya punya satu kata itu, lawan, dengan kesabaran di kebenaran.
**
Sahir, sobat kentalku, di harian ini. Berhasil mengungkap kecurangan salah satu oknum pemangku desa, sebut saja berinisial (x), pelempar batu sembunyi tangan, lalu lari lintang pukang, dilain kesempatan oknum itu jadi tikus lain lagi, mengerat di dalam laci-laci.
“Bang, respon publik positif. Beberapa lembaga daerah mempertanyakan.” Sahir suaranya tegas.
“Bagus.” Bang Dompit, lebih tegas. “Tugas kuli berita macam kita, mengungkap hakikat kebenaran untuk publik itu makrifatnya. News, itu dasarnya. Bukan jual beli berita di dalam laci. Lanjutkan investigasi. Kita lawan demi kebenaran publik.” Dompit, menggaris bawahi lebih tegas, lebih bersemangat.
“Baik Bang.” Sahir semakin terang semangatnya.
“Sore, data sudah di mejaku, internal report dengan pemimpin redaksi”, keduanya bersalaman.
Berita itu menyangkut pencatutan nama baik seorang lurah pemerhati pengembangan lingkungan desa ke desa tertinggal-lurah jujur itu difitnah, oleh salah satu oknum pemangku desa berinisial (x), karena lurah jujur itu membongkar manipulasi proyek bendungan atas nama orang lain, sesungguhnya proyek itu, ya milik si oknum (x) itu.
Proyek pembangunan bendungan sangat dibutuhkan warga desa, untuk mengairi lahan sekitar perbukitan kapur di kaki lereng gunung itu, seringkali tak mampu panen, akibat sangat kurangnya pasokan air.
**
Lembayung tak dapat memerah. Menghitam menjadi kabut, bergulungan, di dalamnya berkilatan badai, suara gelegar. Beberapa waktu kemudian di ruang rapat redaksi koran harian daerah.
“Ini bukan fakta tersirat, tapi realitas peristiwa. Putar lagi suara rekaman dari telepon genggam si (x) oknum pemangku desa itu”, suara pemimpin redaksi, tegas, tenang, peserta rapat internal, menyimak dengan saksama. “Tersurat dalam kata itu, petik setelah kalimat itu. Editor, rangkum news by news, tiga hari berturutturut dengan topik, menggugat oknum birokrasi, sebutkan nama desa itu.”
Berita tak dapat ditolak. Malang digulung malam. Siang menjadi hari semakin cerah meski genderang pertempuran baru dimulai.
**
Peradaban tidak boleh gagap, menghadapi kaum maling menggerogoti hakhak warga desa. Oknum (x) penelan bendungan, penghisap hak kesejahteraan air warga desa, perambah mental penyebar busuknya tingkah polah koruptif. Bendera harus tetap berkibar. Berita harus tetap menyala. Publik merupakan realitas sosial pemilik negeri ini, bukan milik segelentir oknum rajaraja kecil penyemir sepatu kaum raksasa.
Berita di para media, menguapkan anganangan, bahwa Sahir akan digugat oknum pemangku desa si (x) itu, dilaporkan pada aparat berwajib. Isu atau bukan, berita gugatan itu telah mengangkasa. Koran harian daerah, tempat Sahir ber-jurnalis, telah siap menghadapi gugatan lawan.
Publik melihat gelombang bergolak, namun kabut misteri belum memberi tandatanda akan badai, meski dukungan telah tampak kokoh di antara batas cuaca, dalam gerimis hipokrisi kaum manipulasi. Seluruh media badan persatuan jurnalisme, telah berada di garda terdepan siap bertempur, membela Sahir.
**
Para dalang bersiap membuka layar pengadeganan, meski sutradara belum tampak hadir. Pemilihan pemeran telah berlangsung, namun, siapa aktor laga dalam pertandingan di ring itu belum ditentukan. Tampaknya panggung masih harus diberi penerang. Sebelum gempa menyebar tsunami.
Gagasan kebenaran publik harus terus dibangkitkan, agar tak berakhir bagai kisah Bharatayudha. Lantas berubah menjadi kisah Rama dan Shinta, diselamatkan Anoman Obong. Rahwana, terkeokkeok, bungkam digencet bara api. Anoman melompat bersama pasukannya, menuju labirinlabirin, lenyap bersama lagenda heroiknya. Namun jangan lupa kaum raksasa tak pernah bisa mati.
**
“Di sini, di tanah ini. Aku dilahirkan. Di sana, ibuku, mengabdi di pasar daerah, menjual sayuran, demi hidup kami.” Sahir, menutup tafakurnya. “Tuhan. Aku lahir dan aku ada.” Sahir, terus menulis berita sebagaimana tugasnya, seorang jurnalis.
***
Jakarta Kompasiana 23, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H