Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Bukan Kapas

24 Juli 2024   13:06 Diperbarui: 26 Juli 2024   00:09 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photography by Kompas.com

Peradaban tidak boleh gagap, menghadapi kaum maling menggerogoti hakhak warga desa. Oknum (x) penelan bendungan, penghisap hak kesejahteraan air warga desa, perambah mental penyebar busuknya tingkah polah koruptif. Bendera harus tetap berkibar. Berita harus tetap menyala. Publik merupakan realitas sosial pemilik negeri ini, bukan milik segelentir oknum rajaraja kecil penyemir sepatu kaum raksasa.

Berita di para media, menguapkan anganangan, bahwa Sahir akan digugat oknum pemangku desa si (x) itu, dilaporkan pada aparat berwajib. Isu atau bukan, berita gugatan itu telah mengangkasa. Koran harian daerah, tempat Sahir ber-jurnalis, telah siap menghadapi gugatan lawan.

Publik melihat gelombang bergolak, namun kabut misteri belum memberi tandatanda akan badai, meski dukungan telah tampak kokoh di antara batas cuaca, dalam gerimis hipokrisi kaum manipulasi. Seluruh media badan persatuan jurnalisme, telah berada di garda terdepan siap bertempur, membela Sahir.  

**

Para dalang bersiap membuka layar pengadeganan, meski sutradara belum tampak hadir. Pemilihan pemeran telah berlangsung, namun, siapa aktor laga dalam pertandingan di ring itu belum ditentukan. Tampaknya panggung masih harus diberi penerang. Sebelum gempa menyebar tsunami.

Gagasan kebenaran publik harus terus dibangkitkan, agar tak berakhir bagai kisah Bharatayudha. Lantas berubah menjadi kisah Rama dan Shinta, diselamatkan Anoman Obong. Rahwana, terkeokkeok, bungkam digencet bara api. Anoman melompat bersama pasukannya, menuju labirinlabirin, lenyap bersama lagenda heroiknya. Namun jangan lupa kaum raksasa tak pernah bisa mati.

**

“Di sini, di tanah ini. Aku dilahirkan. Di sana, ibuku, mengabdi di pasar daerah, menjual sayuran, demi hidup kami.” Sahir, menutup tafakurnya. “Tuhan. Aku lahir dan aku ada.” Sahir, terus menulis berita sebagaimana tugasnya, seorang jurnalis.

***

Jakarta Kompasiana 23, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun