“Bang, respon publik positif. Beberapa lembaga daerah mempertanyakan.” Sahir suaranya tegas.
“Bagus.” Bang Dompit, lebih tegas. “Tugas kuli berita macam kita, mengungkap hakikat kebenaran untuk publik itu makrifatnya. News, itu dasarnya. Bukan jual beli berita di dalam laci. Lanjutkan investigasi. Kita lawan demi kebenaran publik.” Dompit, menggaris bawahi lebih tegas, lebih bersemangat.
“Baik Bang.” Sahir semakin terang semangatnya.
“Sore, data sudah di mejaku, internal report dengan pemimpin redaksi”, keduanya bersalaman.
Berita itu menyangkut pencatutan nama baik seorang lurah pemerhati pengembangan lingkungan desa ke desa tertinggal-lurah jujur itu difitnah, oleh salah satu oknum pemangku desa berinisial (x), karena lurah jujur itu membongkar manipulasi proyek bendungan atas nama orang lain, sesungguhnya proyek itu, ya milik si oknum (x) itu.
Proyek pembangunan bendungan sangat dibutuhkan warga desa, untuk mengairi lahan sekitar perbukitan kapur di kaki lereng gunung itu, seringkali tak mampu panen, akibat sangat kurangnya pasokan air.
**
Lembayung tak dapat memerah. Menghitam menjadi kabut, bergulungan, di dalamnya berkilatan badai, suara gelegar. Beberapa waktu kemudian di ruang rapat redaksi koran harian daerah.
“Ini bukan fakta tersirat, tapi realitas peristiwa. Putar lagi suara rekaman dari telepon genggam si (x) oknum pemangku desa itu”, suara pemimpin redaksi, tegas, tenang, peserta rapat internal, menyimak dengan saksama. “Tersurat dalam kata itu, petik setelah kalimat itu. Editor, rangkum news by news, tiga hari berturutturut dengan topik, menggugat oknum birokrasi, sebutkan nama desa itu.”
Berita tak dapat ditolak. Malang digulung malam. Siang menjadi hari semakin cerah meski genderang pertempuran baru dimulai.
**