Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Fantasi Kopi Seduh Hai!

19 Juli 2024   08:50 Diperbarui: 19 Juli 2024   08:59 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu judul artikel mbalelo kurang deskriptif edukatif sportif. Biarin. Bodok amat. "Seni, sebaiknya tidak terjebak kultus dogma monorel." Kata siapa, 'kata gue', emang enggak boleh. Boleh saja. Kalau gitu boleh juga dong 'terserah gue' nah, itu dia. Boleh ada, mungkin di antaranya, barangkali loh. Bisa juga tidak. Bisa juga oke. Kembali pada tujuan, dikau hendak kemanakah. Kepasar. Cuci mata. Cuci baju. Terserah ente and ane. You and me. Jos! Syalala I need you. Jring!

Wah, kalau gitu 'makhluk seni' tersebut, bisa disebut seni-eksentrik-isme. Salah tebak. Seni itu, sains. Seni ini, perasaan. Seni itu, refleksi. Seni ini, transendental. Seni; sains, perasaan, refleksi, transendental. Apa iya begitu. Beneran nih. Belum jelas benar kalau mau mendudukan, jenis makhluk apakah, seni, sebenarnya benar. Mewujud atau tanwujud. Nah terjun bebas. Terbang bebas.

Melebar dong. Kalau menyempit masuk dalam kotak istilah, dari nun di sana, jauh nyeberang laut naik pesawat, itupun kalau mau bertemu kotak-kotak seni atau pengotakan seni, ini-itu. Baca saja sejarahnya kalau mau. Banyak banget dah. Kalau mau pula masuk kotak pandora mengotak, seni, dalam kotak, sampai jadi fosil di dalamnya terkotak-kotak. Wah hu lala.

Lantas, umum terjadi muncul istilah, seni, mencoba membaca 'selera pasar' untuk seni, ini-itu. Timbul pertanyaan, pasar apa, selera apa, oh mengapa. Enggak boleh. Oh, boleh saja silakan saja, kalau ada pasarnya, dimana, kapan saja, sesuka pilihan dari hal terkembang di masing-masing kepala, sukma jernih sang seni, di era autotekno digital kemodernan, kini, pake konon loh.

Muncul lagi pertanyaan, kalau enggak ada pasar, seni mau dibawa kemanakah. Tergantung tujuan dari senimannya. Untuk apa seni-nya, jenis apa seni-nya, mau jalan-jalan kemana seni-nya, apa bentuk seni-nya, sebab apa dia berkenalan dengan makhluk disebut, seni. Absurd neh. Enggak juga sih, kalau mau merujuk, pada seni, mungkin, sebagai makna dari empiris. Itupun, masih kalau mungkin-bisa terjawab, sekaligus pertanyaan. Makhluk apa-an sih seni.  

Jadi sebenarnya, seni, makhluk tak nyatakah, gitu, tapi eksis, menjelma pada seni kesenimanan manusia pelakunya. Enggak gitu juga, sebab si seni, masih tak jelas. Apa sih sebenarnya, seni. Dia, terasa hadir kalau di tambah kata sifat atau kata kerja. Menjadi, seni politik, seni rupa, seni arsitektur, seni komunikasi, seni tata busana, seni tata boga, seni kriya, seni musik, seterusnya seabrek-abrek, lagi, sila berselancar menyoal seni di mesin komputer anda.

Maka akan terjadi temu muka dengan, laman filsafat seni, karya seni sejagat, lagi, dari seni lampau, terkini, hingga seni alternatif dwimatra ataupun trimatra, plus musik lampau hingga alternatif pula. Keren-keren so pasti.

Selamat berselancar. Semoga pula bertemu, Zaha Hadid, seniman, perancang seni arsitektur, asal Irak, bermukim di Inggris, dijuluki ratu kurva, oleh The Guardian. Ketemu perancang baju renang muslim, Aheeda Zanetti. Ketemu, Kahlil Gibran, sastrawan. Ketemu, WS. Rendra, budayawan. Ketemu, N. Riantiarno, dramawan. Ketemu, Putu Wijaya, dramawan sekaligus perupa. Ketemu, Antoni Gaud, arsitek, karyanya di pengaruhi, seni, neo-Gotik-teknik Oriental. Ketemu, Christo Vladimirov Javacheff dan Jeanne-Claude Denat de Guillebon, keduanya seniman instalasi lingkungan gigantik. Ketemu, Marcel Duchamp, perupa multitalenta, dia mempengaruhi perkembangan seni konseptual-Dadaisme. Ketemu, Gunadharma, arsitek Candi Borobudur.

Pamit dulu ya. Woo, nanti dulu. Obrolan belum selesai Bung. Wah, hamba mau pindah kelain hati nih, di tunggu si cnatik berpayung fantasi kenes bergincu ungu muda. Kangen katanya, hmmh. Wuss! Terbang disayang-sayang cuma impian di antara makna ehem, halah-halah iyau dar der dor.

Bagaimana dengan, seni, sastra online. Hah! Anda ini pertanyaannya ada aja. Beneran. Ceritanya begini, suatu hari hamba jalan-jalan sore, selintas pintas mendengar obrolan sepasang burung dara, nangkring di lampu taman. Singkatnya, begini "Ohh, itu acara dari kaum sastra online." Hahhh! Sepertinya, bagai tersirat kesan kesinisan dari kalimat dalam tanda petik itu ... Anda ini dari tadi diajak ngobrol kagetan melulu deh. Terus kalau online bukan susastra gitu. Wow! Sastra bebas memilih dirinya; kata siapa.: Kata gue. Kenapa. Enggak boleh. Gong!

Terus, kalau, sastra online, salah gitu. Lantas bukan sastra gitu. Wah Gawat banget nih. Sebentar Bung. Enggak pindah kelain hati dulu ya. Lanjut ngobrol dulu kita. Setelah teh hangat. Sekarang waktunya memesan kopi. Biar lancar jaya ngobrolnya. Seni ataupun kesenian adaptif dengan zamannya. Kata ane. Sebelum ente nanya melulu. Jus jambu rasa kopi hahaha mules-mules dah.

Jadi bagaimana. Menyoal istilah, seni, sastra online. Wah! Ketemu kotak mengotak lagi dong. Sastra ya sastra, mau versi online atau tidak, istilah itu, hanyalah alat bantu, seperti sendok-garpu. Mau makan menggunakan tangan, oke juga, kan. Esensi, tetap menyuap makanan sehat, ada, pada kesehatan seni sastra. Kalau non-online, lantas melahirkan karya seni sastra tak sehat, menimbulkan pandemi pripun. Tergantung kantong kale ya. Kalau bolong ora ngopi jeh.

Sastra ya sastra, mampu dipahami seluas publik secara saksama, asyik, keren, bermanfaat-murah, bahkan gratis, publik bisa mengakses data sesuai maunya. Meski tetap berbayar kuota, pulsa. Lagi pula sekarang ini, bukan lagi zamannya susastra menara gading. Karya sastra tak harus berbahasa sulit rumit sampai sulit dipahami, yak ellah. Sastra jangan dibikin ribet, di era kini. Meskipun kepurbaan, merupakan salah satu tolok ukur kemodernan zamannya. Seni sastra lampau hingga kini serentak bisa di akses, katanya sih begitu, konon. Cius amat bacanya. Jreng!

Mau sastra online/daring ataupun non.online/non.daring, padabae Bung-sama saja. Zaman tekno bergulir, ozon membaik, menurut penelitian sains dunia, akibat manusia bertahap mengurangi kertas, meski sampah plastik belum terkendali maksimal. Kalau penggunaan kertas berkurang, deforestasi, bakalan menurun, hutan sehat. Sekalipun, dampak autotekno digital kemodernan berkelanjutan, mungkin pula berdampak pada kehidupan manusia kelak, mungkin loh, hiks!

Hamba akan naik angkot berikutnya, pindah kelain hati. Meski, soal menyoal, seni, makhluk apaan sih, belum jua ada jawaban valid membumi, sangking banyaknya pendapat para pakar sejagat, dari era filsafat, kesejarahan, geologis, maupun seniman, kreator seni. Apaan sih seni; perasaan, sains. Hiks, mari mengarang. Hiks!

Apalagi kalau mau meminjam istilah kaum elite politik ketatanegaraan dunia, singkatnya; sebuah negara bebas berpolitik, berpendapat-bertanggung jawab, sesuai undang-undang negara tersebut. Selesai sampai di situ. Salam damai di hati. Adem. Nyeduh kopi. Jos! Jalan-jalan berpayung fantasi sembari bersiul menuju kedai fantasi kopi seduh. Sekali lagi. "Hai!"

***

Jakarta Kompasiana, Juli 19, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun