Ada keharuan. Dia, kembali setelah beberapa langkah dari pusara Ibunya. Air mineral dalam botol di genggamannya, saksama menyirami pusara ibu terkasih. Dormar, sesal di sukma.
“Air untuk Ibu, juga untukku.” Kasih sayang bernapas di jiwa. Memandangi pusara, segenggam tanah, di taburkan kembali ke pusara ibu. “Aku, lelah Ibu.” Suara batin.
Dormar, menuju tugas terakhir, entah, demi apa, untuk siapa.
***
Senjata lengkap, melekat di tubuh tegap, berseragam pekat malam, motor sport berkecepatan tinggi. Lintasan malam megapolis, dia, melesat menuju sasaran.
Esoknya, media khalayak memberitakan penembakan supermisterius. Korban, sosok kejahatan tingkat tinggi, sekaligus, pelaku tenung manipulasi profesional. Tas jinjing, laptop canggih, bertumpuk di atas mayat. Korban membujur, depan kantor kontemporer.
Berita meluas. Pihak keamanan, melakukan penyelidikan saksama. Bertemu jalan buntu. Siapa sesungguhnya penembak supermisterius.
Para kolega terkait sosok korban, terguncang, gelisah, ketakutan. Saling berkomunikasi dengan cara apa saja. Bertukar kabar, kemungkinan nyawa mereka terancam. Gelisah, panik memuncak di antara kolega. Peristiwa penembakan, beruntun-masif akurat. Katanya sih begitu ceritanya.
***
Para media, berita pada khalayak, sibuk sana-sini, ke berbagai narasumber, ahli forensik hingga pakar multimetafisika. Mengundang pakar metafisika benua jauh, hadir di media setempat, dialogis campursari berbahasa tinggi, penuh kehati-hatian.
Antara lain petikannya kurang lebih seperti ini, apabila diterjemahkan dengan bahasa sederhana “Kematian kehendak mutlak dari pemilik semesta”, lanjut pakar multimetafisika “Sebab akibatnya telah tertulis sejak dilahirkan dalam iman diri masing-masing”, pakar, diam sejenak, lalu mengarahkan pandangan kepada pewawancara.