Oke. Engkau, belum mau menjawab, sekarang. Tapi, nantikan? Baiklah, karena manusia makhluk alpa nomor wahid, kadang-kadang kencing di WC umumpun malas menyiram, tapi, terkadang melawan lupa, memberi nasihat. Oh, sampai dengan zet. Maaf, Tuhanku teramat mulia, hamba tidak berani menertawakan mereka atau siapapun, karena hambapun demikian, bahkan mungkin hamba lebih buruk dari mereka.
**
Pepohonan rindang berhasil meredakan hawa panas akibat peristiwa kekacauan itu. "Katastrofe! Kenapa!" Beranimu sembunyi di balik lipatan kuasa usaha adendum kepalsuan surgawi buatanmu, neraka kambing hitam. Akalmu tak lebih sejangkal otakmu, kita, sama sebangun, tak berbada. Manusia pandir, senantiasa membuat kekacauan dimanapun, di dalam diri ataupun di luar diri, slogan manis kemanusiaan. Ganteng dilihat belum tentu keren di dalam.
Murka ataupun tidak, di sebaliknya ataupun di sebaliknya lagi, sama saja. Makhluk manusia, mencoba meniru hukum keseimbangan milik-Mu. Takkan pernah berhasil, sekalipun sedikit saja. Kesempurnaan milik-Mu, valid. Tak satupun mampu menirunya sekalipun tertulis dalam kitab undang-undang buatan peradaban manusia, peraturan kemaslahatan manusia. Tetap saja, Â peniruan kesempurnaan-Mu, takkan pernah paripurna.
Rudal-rudal canggih ditembakkan, terbang kian-kemari. Orasi di podium-podium dunia dikumandangkan, pada suatu perhelatan temu bangsa-bangsa, aklamasi aksioma membangun peradaban kebenaran kepura-puraan untung-rugi menuju publik dunia, salah benar kembali pada dasar kuasa usaha perhitungan nilai digit matematis. Siapa diuntungkan, siapa dirugikan, opini asumsi membentuk relatif kebudayaan besar.
Gaung orasi dari podium itu merambah dunia "Ini zamannya milenial generasi zet." Apakah akan menjadi alpa pada diagnosa logika log-analog telah, membuat sel-sel otak manusia sejak era kepurbaan pintar berpikir cepat, mencipta sistem alat-alat manual hingga komputer-isme. Percepatan dari si kembar sains eksak-noneksak hukum-hukum Ilahi, bersumber di semesta-Nya, ada, di dalam otak manusia. Cerdas, cermat, berdasarkan pada kesadaran hakikat sains ke-imanan-Nya.
"Izumihitori, aku mencarimu kemanapun," suara adem itu mengejutkan lamunannya.
"Zakariah, kau selamat," suara lembut, asyik merdu seterang hatinya. "Dimana Mariahsiti. Zakariah? Aku belum menemukannya," ada keharuan di suara itu. "Aku, khawatir pasukan imperium menemukannya, menangkapnya," suara penuh rasa cinta itu serupa mata air berjuta gerimis.
"Maafkanlah hamba kekasihku," merasa kepandiran menyelimuti dirinya, mungkin ia lalai.
 "Zakariah, kita tak bisa tinggal diam. Ayolah! Apapun risikonya kita harus mencarinya, sayang. Kita tahu, dia, Mariahsiti sedang ..." saling berpeluk bahu, masing-masing mendengar gemuruh kasih di hatinya.
Pepohonan, huma-huma, tetumbuhan semak ilalang, mengalun mazmur desir angin. Memberi petunjuk kemana arah mata angin menuju, mencari Mariahsiti. Gelegar petir pertanda keajaiban itu berada. Badai puting beliung di kejauhan memberi tanda-tanda.