“Aduhhh, kalian tak paham kenapa kita bisa terbang. Gila”. Suara Deen dan Bien serentak. “Kepala kalian dimana”, suara Deen dan Bien, lagi serentak, masing-masing melepaskan pelukan dari Bork dan Berk, meski Bork dan Berk, tetap tak paham, menjawab serentak “Enggak tuh. Apa kita terbang. Kita cuma berjalan cepat my dear”. Deen dan Bien, masing-masing serentak menempeleng pasangannya. “Terasa nggak”
Bork dan Berk, serentak menjawab “Tidak terasa apapun. Puas”. “Kalian kutu buku sih, sok filsuf, sok analisis, sok logis, sombong pada alam!”, kata Deen dengan suara keras pada Bork dan Berk. “Sekarang, detik ini, tak merasakan perubahan apapun. Kutu buku! Macet otaknya!”, suara Bien lebih keras berteriak. Bork dan Berk, tetap tak paham, meski mereka mulai merasakan keanehan, seperti melayang pada kosong.
“Kalkulus melulu sih, X tak pernah kuadrat kalau tak di tambah angka dua, tahu!”, kata Deen, menyusul suara Bien lebih lantang. “Quantum! Ini bukti kalian bisa bertemu Einstein, Tan Malaka atau Hamingway, bla bla bla sekarang! Kita sudah menjadi seperti nol di kali di tambah nol sama dengan nol, plus X dua tambah satu sama dengan, begog!”. Lalu suara Deen dan Bien, melirih. “Cinta kita…”, terisak tertahan, menjauh, samar. Semuanya sirna.
Jakarta, Indonesia, September 3, 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H