Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Monokrom

4 September 2015   00:17 Diperbarui: 4 September 2015   03:22 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gelegar itu datang begitu saja. Tanpa alasan apapun. Puluhan orang terkapar. Entah mati entah tidak. Teror mengambang di antara korban. Di antara waktu jeda dan tayang para media. Waktu hari itu Bork tetap asik tak mau tahu tentang suara itu, dia, asik menikmati pemandangan Metropolis, kerlap-kerlip lampu-lampu dari atas jembatan layang. “Kau tak dengar ledakan itu. Tak melihat korban-korban itu”, kataku perlahan nyaris berbisik.

Bork tetap asik dengan pandangannya. Menerawang ke arah pandang matanya. Aku tepuk bahunya, tetap, dia asik sendiri, dengan kenikmatannya.  “Bork! Kau dengar suara ledakan itu. Lihat, korban bergelimpangan, di antara asap hitam itu, ada api menjilati udara. Bork, lihat para korban itu…”. Bork tetap asik dengan kenikmatan dirinya, pandangannya, perasaannya mungkin, juga pikirannya, mungkin.

Kedua manusia itu bernama Bork dan Berk, tampaknya mereka kembar identik, namun tak jelas juga. Malam purnama mereka kerap di jembatan itu. “Mereka mati? Biarkan saja. Apa ada, perduli, dengan hidup kita Berk?”. Suara Bork, keluar, seperti mengalir begitu saja tanpa beban. Lagi suara Bork. “Lihat pemandangan kota di bawah sana, indah, kerlap-kerlip lampunya. Desa, tersulap menjadi kota Metropolis, kini”.

“Ya”, jawab Berk singkat. “Apa kau tak perduli dengan ledakan bom tadi Bork?”. Lagi Bork tak menjawab pertanyaan itu. Hanya hela nafasnya terasa, Bork, menyimpan perasaan sesuatu. Berk melihat situasi nun di sana, tempat itu, mulai ramai berdatangan, para petugas berseragam, masyarakat bertahap berkerumun, di sekitar lokasi itu. Helikopter berseliweran, di udara, mobil bersirene, mengaum memecah waktu.

Mobil-mobil lapis baja anti bom berdatangan dengan pasukan elit berseragam merah darah, bertopi hitam, memakai masker putih. “Aneh, baru aku lihat pasukan elit itu”, suara hati Berk. Pasukan SAR tampak sebagian di terjunkan dari helikopter dengan tali-tali, cara itu cukup efektif mengalahkan kemacetan di kepadatan sepanjang waktu tak berdetak lagi di Metropolis, truk-truk besar berdatangan, tampaknya tim medis.

Berk melihat situasi hiruk pikuk itu di kejauhan pandangan dari tempatnya, seperti sebuah film, seru, penuh warna. Berk, ingin berlari ke tempat itu, tapi, tak mungkin meninggalkan Bork dalam situasi sekompleks perasaan Bork, pada situasi kini. Bork tetap dengan pandangannya, di tempatnya, tak bergeming, bahkan tampaknya mata Bork tak berkedip sedikitpun. “Bork? Kelihatanya para korban sedang di evakuasi”.

“Berk, terbayangkah olehmu, jika, di luar diri kita sekarang, mereka juga sedang sekarat, tak bisa makan, tak mampu memberi nutrisi pada tubuhnya sendiri”, suara Bork datar. “Berk, kau paham mengapa Kant tak pernah punya jawaban pada ranah filosofi ke metaannya”. Suara Bork tetap datar. “Karena dia tak mengenal zat tak seumpama apapun. Itu dugaanku”, kata Berk. “Itu jawaban orang-orang standart, Berk”, jawab Bork datar.

“Kau lihat aku baru saja melempar upilku kebawah jembatan sana, menukik cepat tanpa melayang seperti kertas. Kau paham maksudku”. Suara Bork datar. “No, abstraksimu terlalu jauh. Bagaimana kau tahu, upilmu menukik dengan cepat, tanpa kau dapat melihatnya”. Berk, sebel, selalu merasa terdesak, selalu merasa dikalahkan. “Logika padat, meski kedua benda itu berbeda kepadatannya”. Suara Bork datar.

“Seperti cinta maksudmu. Lihat Bork, semakin banyak orang berkerumun, SAR, para medis, dan pasukan elit keamanan negara, juga sudah berdatangan, meski, ada pasukan elit aneh berseragam merah darah”. Bork, tetap asik dengan pandangannya. “Berk, kau obsesif. Coba kau tinjau lagi pandanganmu dari peristiwa itu. Arahkan pada kerlap-kerlip lampu Metropolis, di sana, di balik kultur itu, ada cinta”.

“Ha ha ha ha”, keduanya tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal. Lalu keduanya saling menunjuk, tawa mereka semakin seru. “Seperti cinta murahan, dijual lewat slogan tanpa air mata ha ha ha. Lalu, ha ha ha, lalu, basa-basi, ha ha hah, di bawah kemarau, karena hujan, bertubuh bulat, malu tak berbusana, dilihat matahari ha ha ha”. Tawa keduanya pada diam. Waktu tetap berhenti berdetak. Suara, di kepala mereka, seperti berita simpang siur.

Bork, mendadak menghilang, sekelebat Berk melihat Bork bergerak amat cepat. “Loh kok, bagaiman dia bisa begitu, gila. Kalau kau bisa aku juga pasti bisa”. Suara hati Berk. Dia mencoba melompatkan tubuhnya. Bum! Tubuhnya melesat ke atas. Bam! Tubuhnya mendarat lagi. “Ha ha ha aku sakti! Tunggu Bork!”, Berk, melesat bagai anak panah menyusul Bork, keduanya terbang menuju tempat ledakan itu, tampaknya.

Keduanya berhenti, berpapasan dengan Deen dan Bien, langsung keempatnya berpelukan. Terdengar suara Deen dan Bien, terisak tangis tertahan. Bork dan Berk merasakan kesedihan. Masing-masing berbicara pada pasangannya, Bork berbicara pada Deen, Berk berbicara pada Bien, dengan kalimat sama, serentak. “Ada apa sayang…”, Deen dan Bien, tangisnya semakin manjadi, meraung sejadinya. Serentak berteriak kesal pada Bork dan Berk.

“Aduhhh, kalian tak paham kenapa kita bisa terbang. Gila”. Suara Deen dan Bien serentak. “Kepala kalian dimana”, suara Deen dan Bien, lagi serentak, masing-masing melepaskan pelukan dari Bork dan Berk, meski Bork dan Berk, tetap tak paham, menjawab serentak “Enggak tuh. Apa kita terbang. Kita cuma berjalan cepat my dear”. Deen dan Bien, masing-masing serentak menempeleng pasangannya. “Terasa nggak”

Bork dan Berk, serentak menjawab “Tidak terasa apapun. Puas”. “Kalian kutu buku sih, sok filsuf, sok analisis, sok logis, sombong pada alam!”, kata Deen dengan suara keras pada Bork dan Berk. “Sekarang, detik ini, tak merasakan perubahan apapun. Kutu buku! Macet otaknya!”, suara Bien lebih keras berteriak. Bork dan Berk, tetap tak paham, meski mereka mulai merasakan keanehan, seperti melayang pada kosong.

“Kalkulus melulu sih, X tak pernah kuadrat kalau tak di tambah angka dua, tahu!”, kata Deen, menyusul suara Bien lebih lantang. “Quantum! Ini bukti kalian bisa bertemu Einstein, Tan Malaka atau Hamingway, bla bla bla sekarang! Kita sudah menjadi seperti nol di kali di tambah nol sama dengan nol, plus X dua tambah satu sama dengan, begog!”. Lalu suara Deen dan Bien, melirih. “Cinta kita…”, terisak tertahan, menjauh, samar. Semuanya sirna.

Jakarta, Indonesia, September 3, 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun