Mohon tunggu...
Gondo Majit
Gondo Majit Mohon Tunggu... -

Ora popo!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengadili Buku "Mengadili Demokrasi"

9 Juni 2014   03:46 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:38 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi muslim adalah menjadi pemberontak. Bersyahadat adalah ikrar untuk mengabdikan hidup menjadi pemberontak. Segala laku hidup muslim haruslah dirumuskan pertama-tama dengan kata penolakan: "LAA!", tidak! Laa untuk makan, minum, tidur, menikah, berserikat, bernegara, dan ber-apapun juga karena apapun juga sangat berpotensi untuk menjadi ilaaha, sesuatu yang kita sembah, kita berhalakan.

Janji bernegasi itu harus kita tuntaskan dengan "illallaah" yang bermakna "kecuali atas kerelaan Allah". Muslim boleh makan, minum, tidur, menikah, berserikat, bernegara, dan ber-apapun juga bila Allah telah merelakannya. Ikrar pun berlajut dengan "Muhammadur rosuulullaah", bahwa kerelaan Allah telah dimandatkan pada kerelaan Nabi Muhammad saw. Hidup seorang yang mengaku muslim harus senantiasa berada dalam koridor panduan Nabi Muhammad saw.

Muslim sejati pastilah seorang pemberontak militan. Ia bisa saja sehari-hari adalah seorang tentara, polisi, businesman berdasi, tukang reparasi, ataupun kuli, tapi kemuslimannya tidak bisa dikenali dari parameter profesi melainkan dari seberapa kuat memegang "laa ilaaha illaallah". Pada dimensi ini, semua muslim adalah satu kesatuan mengatasi sekat-sekat pertalian darah keluarga, negara maupun bangsa.

Penggumpalan-penggumpalan jamaah terjadi ketika memasuki tahap "muhammadur rosuulullah". Terjadilah bermacam-macam tafsir tentang apa-apa yang direlakan dan tidak direlakan Allah karena panduan Nabi Muhammad saw tersampaikan pada umatnya melewati banyak jalur dan saringan-saringan.

Telah sampai ke tangan saya sebuah buku hadiah dari seorang saudara se-laa ilaaha illallaah berjudul "Mengadili Demokrasi". Buku itu pada intinya mengabarkan tentang betapa haramnya sistem demokrasi dalam bernegara karena berada di luar koridor panduan Nabi Muhammad saw. Negara demokrasi adalah sesuatu yang tidak direlakan Allah.

Hadiah buku itu tersambung benang merahnya dengan serial diskusi kami dalam beberapa kesempatan tentang demokrasi di mana saya memegang tafsir yang berbeda. Sejauh pemahaman saya, paling tidak dalam kontek Indonesia kini, tidak ada masalah dengan demokrasi dalam bernegara.

Sesuatu yang cukup fatal konsekuensinya dalam buku itu adalah pengindentifikasian demokrasi sebagai identik dengan isme sekular, liberal dan kapitalis. Padahal ketiganya bisa dikatakan "binatang" yang berbeda meskipun dalam praktiknya sangat mungkin untuk dikawinkan. Dalam konteks mengadili, buku itu menjadi kurang imbang karena hanya menyoal keburukan-keburukan demokrasi tanpa memberi ruang pembelaan.

Isu demokrasi pada dasarnya tidaklah segawat itu. Saya pribadi tidak dalam posisi mengagungkan demokrasi, tapi untuk mengharamkannya adalah titik ekstrim yang lain yang saya hindari. Sesuatu yang berlebihan selalu tidak baik, bahkan secara akhlak adalah haram.

Demokrasi adalah tentang kedaulatan atau kekuasaan setiap anggota komunitas untuk berhak ikut menentukan arah gerak sosial komunitas itu. Tentu itu masuk akal karena apa-apa keputusan yang disepakati komunitas akhirnya wajib dipatuhi setiap anggotanya. Maka setiap anggota berhak punya kendali sesuai kapasitasnya. Dari pintu inilah segala isme bisa masuk.

Bila komunitas itu berisi orang-orang sekular dan kapitalis, yang lahir adalah keputusan-keputusan sekularis dan kapitalis. Bila komunitas itu berisi para muslim, bagaimana mungkin melahirkan keputusan-keputusan sekularis dan kapitalis? Kalaupun mungkin, hanya ada satu penjelasan bahwa mereka sebenarnya muslim abal-abal yang mengkhianati prinsip "laa ilaaha illallah".

Demokrasi bisa dikategorikan alat bebas nilai, menjadi baik atau buruk tergantung pelakunya. Dan demokrasi digemari para bandit peradaban karena memang demokrasi sangat rentan untuk disalahgunakan. Tapi menghukumi sesuatu hanya atas dasar penyalahgunaannya adalah tidak adil. Jatuhnya jadi fatwa haramnya infotainmen karena telah disalahgunakan menjadi ajang menggunjing.

Bukankah pengajian yang penceramahnya suka melempar humor pun adalah infotainmen (ada info, ada entertainmen)? Gunjingannya haram, acaranya tidak. Sekularisme, liberalisme dan kapitalisme haram, demokrasinya tidak.

Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad saw memegang tampuk kekuasaan memang tidak melalui proses demokratis. Tapi model seperti itu tidak bisa serta merta kita teladani karena ada syarat yang tidak akan mungkin bisa kita penuhi yaitu wahyu kenabian. Seorang nabi sudah otomatis adalah kepala negara karena kenabian adalah himpunan besar dari segala otoritas aktifitas muslim. Nabi tidak butuh pengakuan ummatnya, justru ummat yang butuh mengakuinya.

Sepeninggal Nabi Muhammad saw, geger politik memang langsung tersulut dan menjalar hingga kini. Ummat terbagi menjadi dua tafsir utama yaitu golongan sunni dan syiah. Sunni meyakini bahwa sepeninggal nabi, pemimpin ummat cukup dipilih melalui ihktiar ummat sendiri. Ummat berkumpul, bermusyawarah dan bermufakat menentukan pemimpin baru. Sedang syiah meyakini bahwa Islam adalah jamaah ilahiah dan hanya bisa dipimpin oleh manusia pilihan Allah langsung karena yang tahu kualitas ruhani hanyalah Allah. Syiah meyakini Sang Imam pun telah terpilih melalui penunjukan langsung Nabi Muhammad saw sebagai wakil Allah di Bumi yaitu ketika pidato haji wada'.

Sunni menganulirnya, atau tidak menafsirkan pidato itu sedemikian, lalu melangsungkan demokrasi ala Arab untuk memilih pemimpin baru. Syiah pun tetap berlanjut dengan keyakinannya tentang imam pilihan Tuhan dan sebagaimana pemimpin ruhani sebelumnya, imam tidak butuh pengakuan ummat karena ia melampaui urusan kekhalifahan atau administrasi duniawi apapun.

Sistem baiat yang lalu memunculkan kholifah adalah demokrasi ala Arab itu. Disebut demokrasi karena pemimpinnya dipilih dengan pemberian "suara". Pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, hanya saja "oleh rakyat"-nya dimodifkasi menjadi "oleh kholifah". Kalau tidak mau disebut demokrasi versi Arab, entah bagaimana menyebutnya.

Berdirinya suatu otoritas pasti didasarkan karena suatu mandat atau amanah. Pemerintahan Islam yang sejati tidak demokratis karena tidak membutuhkan mandat dari ummat. Di masa Nabi, baiat ditawarkan Nabi pada ummatnya karena beliau memegang mandat berupa wahyu. Tawaran itu pun bersifat suka rela karena kedaulatan ummat dihormati. Tidak ada paksaan dalam agama. Entah kenapa sepeninggalnya kemudian dikembangkan menjadi bersifat hegemonial karena yang menolak berbaiat akan dikejar-kejar dengan ancaman pedang.

Jadi, kalau baiat disebut bukan versi lain demokrasi, disebut versi Islam pun belum cukup valid karena syarat vital berupa wahyu tidak terpenuhi.Setidaknya ada tiga sistem pemerintahan di dunia yaitu:

1.   Pemerintahan ilahiah: cirinya adalah adanya seorang pemimpin yang mengabarkan tentang mandat dari Tuhan yang diperolehnya lalu mengajak orang-orang masuk dalam kepemimpinannya secara suka rela. Pemimpin ini tidak membutuhkan pengakuan dari rakyatnya.

2.   Pemerintahan kerajaan: cirinya adalah adanya seorang yang memaksakan hegemoninya secara fisik/militer maupun spiritual untuk diakui menjadi pemimpin. Rakyat jadi hak milik hasil taklukan.

3.   Pemerintahan demokrasi: cirinya pemimpin dipilih melalui musyawarah rakyat karena setiap rakyat diakui hak urun rembugnya.

Dalam hal mengharamkan demokrasi, ternyata orang-orang sesat syiah telah merintisnya sejak zaman pancaroba Islam dan sebagaimana para penentang demokrasi hingga kini, nasibnya pasti jadi incaran para bandit peradaban. Tapi kini komunitas syiah Iran menjadi para pelaku demokrasi dengan berdirinya Republik Iran karena mereka yakin pemimpin ruhani zaman kini yaitu Imam ke-12 masih dalam masa kegaiban besar hingga urusan-urusan sosial perlu dimusyawarahkan bersama.

Demokrasinya pun ala Iran dengan dibentuknya dua institusi yaitu dewan tertinggi berupa dewan ulama yang menjamin berlakunya hukum syara' dan pemerintahan negara yang bertugas memastikan rutinitas sosial berjalan lancar. Pemerintahan negara dipilih secara demokratis, tapi dewan ulama punya otoritas penuh untuk memvetonya bila dirasa menyimpang dari agama.

Ketika demokrasi disebut sebagai komoditas ekspor Amerika paling mematikan, yang dimaksud adalah demokrasi ala Amerika. Dibentuknya tiga kekuatan eksekutif, legislatif, yudikatif, lalu didirikan partai-partai politik adalah salah satu metode dalam mengakomodasi kedaulatan rakyat tapi itu bukan metode satu-satunya. Metode yang diadopsi dari sejarah kuno yang dari sananya pun terbukti gagal.

Demokrasi menjadi alat mematikan ketika tafsir tunggal diberlakukan bahwa tidak ada metode lain untuk menerapkan kedaulatan rakyat selain metode Amerika. Padahal di Amerika sendiri metode mereka itu kedodoran sampai kemudian diplesetkan menjadi plutokrasi.

Titik mematikan demokrasi tidak terletak pada demokrasi itu sendiri melainkan pada ketikdaksiapan rakyat untuk berdemokrasi. Seperti pisau tajam menjadi bahaya ketika dipegang anak balita. Rakyat belum memiliki cukup kedewasaan untuk berdemokrasi dan para bandit peradaban mati-matian mencegahnya agar tidak menjadi dewasa sampai kapanpun. Pencegahan inilah "ekspor mematikan" Amerika.

Dalam kontek kekinian Indonesia, aktif berdemokrasi menjadi wajib bagi muslim dalam rangka menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kita perlu sadari bahwa Islam datang ke nusantara bukanlah seperti mendatangi lahan kosong lalu membentuk komunitas baru dari nol. Nusantara telah ada dalam bentuk sesuai zamannya. Di masa kini, Indonesia adalah metamorfosisnya, tapi kewajiban muslim tidak akan pernah berubah: amar ma'ruf nahi munkar. Muslim wajib melebur dalam masyarakat dengan tetap teguh memegang karakter "laa ilaaha illallah".

Nusantara kini adalah Indonesia yang latah berdemokrasi. Maka baiklah, ayo kita ikut terjun berdemokrasi. Bukan terutama karena kita bersetuju dengan demokrasi model ini, tapi inilah kenyataan medan dakwah yang harus kita olah menuju model ideal. Tidak terseret arus, tapi juga tidak perlu menentang arus.

Dalam meramaikan demokrasi ala Indonesia ini, tidak ada secuil akidah pun yang berlu kita korbankan untuk dikompromikan. Yang kita tahu hanyalah berdakwah dan mendapati fakta ada sekelompok orang jahat di senayan yang mengacaukan dakwah kita dengan menyusun UU jungkir balik. Maka kita datangi senayan untuk membereskan pusat kekacauan ini semua.

Untuk bisa urun rembug di gedung itu, ternyata disepakati harus mengumpulkan suara dukungan dulu. Kita kumpulkan saja suaranya. Tidak ada satu proses pun yang menyalahi syara': mengumpulkan suara, masuk gedung, ikut rembugan, mengusulkan, menyetujui dan menolak usulan dengan prinsip "laa ilaaha illallah".

Ada kekhawatiran yang memang telah banyak terbukti bahwa dengan masuk ke lingkaran senayan akan menyeret seseorang menjadi "orang senayan". Tapi itu tentu tidak bisa menjadi dasar keharaman masuk senayan. Partai Islam yang terbukti korupsi sudah tentu batal klaim keislamannya. Ada benarnya bila seseorang menolak masuk senayan karena takut tak kuasa mengatasi godaannya, tapi menjadi tidak benar kalau menolak masuk ke sana karena haram masuk ke sana.  Bila seseorang telah mendapat anugerah dari Allah berupa kapasitas energi fisik, mental dan ekonomi untuk berkecimpung di sana, ia pun menjadi wajib untuk terjun ke sana.

Ketika keluar undang-undang yang merusak sendi-sendi sosial, kita mengutuk-ngutuknya tapi kita menolak masuk ke sumbernya untuk mebereskannya. Kita sebut orang-orang senayan itu kaum dholim dalam institusi haram, tapi pada orang-orang dholim dan institusi haram itu kita berharap undang-undang yang merusak itu akan diperbaiki. Kita tawarkan pemikiran-pemikiran, membangun opini Islam, tapi ketika datang serangan bertubi-tubi, kita hanya berharap pada keajaiban. Kita berusaha meniru peri laku Nabi sepersis-persisnya dan yakin bahwa segala situasi dan kondisi pun bisa kita duplikasi kapan saja di mana saja. Kita mengharamkan demokrasi tapi bersamaan dengan itu memperjuangkan demokrasi versi yang lain.

Laa ilaaha illallah, Muhammadur rosuulullaah. Semua muslim pasti rindu akan tegaknya pemerintahan Islam dan wajib memperjuangkannya. Tapi perjuangan ini dihargai Allah bukan dari seberapa hasil yang kita capai karena Allah mustahil membutuhkan segala hasil usaha kita. Perjuangan ini dihargai dari seberapa sungguh-sungguh kita mengusahakannya. Kesungguhan dalam berolah pikir adalah dasar dari setiap olah gerak selanjutnya. Mengharamkan sesuatu yang mubah tidak kurang fatalnya dari memubahkan sesuatu yang haram.

Berbuat adil adalah berbuat sesuai standar perbuatannya. Menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Dalam hal ini standar yang kita pakai adalah standar Islam. Dan demikianlah pemahaman saya tentang bagaimana mengadili demokrasi.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun