Mohon tunggu...
Gondo Majit
Gondo Majit Mohon Tunggu... -

Ora popo!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengadili Buku "Mengadili Demokrasi"

9 Juni 2014   03:46 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:38 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasinya pun ala Iran dengan dibentuknya dua institusi yaitu dewan tertinggi berupa dewan ulama yang menjamin berlakunya hukum syara' dan pemerintahan negara yang bertugas memastikan rutinitas sosial berjalan lancar. Pemerintahan negara dipilih secara demokratis, tapi dewan ulama punya otoritas penuh untuk memvetonya bila dirasa menyimpang dari agama.

Ketika demokrasi disebut sebagai komoditas ekspor Amerika paling mematikan, yang dimaksud adalah demokrasi ala Amerika. Dibentuknya tiga kekuatan eksekutif, legislatif, yudikatif, lalu didirikan partai-partai politik adalah salah satu metode dalam mengakomodasi kedaulatan rakyat tapi itu bukan metode satu-satunya. Metode yang diadopsi dari sejarah kuno yang dari sananya pun terbukti gagal.

Demokrasi menjadi alat mematikan ketika tafsir tunggal diberlakukan bahwa tidak ada metode lain untuk menerapkan kedaulatan rakyat selain metode Amerika. Padahal di Amerika sendiri metode mereka itu kedodoran sampai kemudian diplesetkan menjadi plutokrasi.

Titik mematikan demokrasi tidak terletak pada demokrasi itu sendiri melainkan pada ketikdaksiapan rakyat untuk berdemokrasi. Seperti pisau tajam menjadi bahaya ketika dipegang anak balita. Rakyat belum memiliki cukup kedewasaan untuk berdemokrasi dan para bandit peradaban mati-matian mencegahnya agar tidak menjadi dewasa sampai kapanpun. Pencegahan inilah "ekspor mematikan" Amerika.

Dalam kontek kekinian Indonesia, aktif berdemokrasi menjadi wajib bagi muslim dalam rangka menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kita perlu sadari bahwa Islam datang ke nusantara bukanlah seperti mendatangi lahan kosong lalu membentuk komunitas baru dari nol. Nusantara telah ada dalam bentuk sesuai zamannya. Di masa kini, Indonesia adalah metamorfosisnya, tapi kewajiban muslim tidak akan pernah berubah: amar ma'ruf nahi munkar. Muslim wajib melebur dalam masyarakat dengan tetap teguh memegang karakter "laa ilaaha illallah".

Nusantara kini adalah Indonesia yang latah berdemokrasi. Maka baiklah, ayo kita ikut terjun berdemokrasi. Bukan terutama karena kita bersetuju dengan demokrasi model ini, tapi inilah kenyataan medan dakwah yang harus kita olah menuju model ideal. Tidak terseret arus, tapi juga tidak perlu menentang arus.

Dalam meramaikan demokrasi ala Indonesia ini, tidak ada secuil akidah pun yang berlu kita korbankan untuk dikompromikan. Yang kita tahu hanyalah berdakwah dan mendapati fakta ada sekelompok orang jahat di senayan yang mengacaukan dakwah kita dengan menyusun UU jungkir balik. Maka kita datangi senayan untuk membereskan pusat kekacauan ini semua.

Untuk bisa urun rembug di gedung itu, ternyata disepakati harus mengumpulkan suara dukungan dulu. Kita kumpulkan saja suaranya. Tidak ada satu proses pun yang menyalahi syara': mengumpulkan suara, masuk gedung, ikut rembugan, mengusulkan, menyetujui dan menolak usulan dengan prinsip "laa ilaaha illallah".

Ada kekhawatiran yang memang telah banyak terbukti bahwa dengan masuk ke lingkaran senayan akan menyeret seseorang menjadi "orang senayan". Tapi itu tentu tidak bisa menjadi dasar keharaman masuk senayan. Partai Islam yang terbukti korupsi sudah tentu batal klaim keislamannya. Ada benarnya bila seseorang menolak masuk senayan karena takut tak kuasa mengatasi godaannya, tapi menjadi tidak benar kalau menolak masuk ke sana karena haram masuk ke sana.  Bila seseorang telah mendapat anugerah dari Allah berupa kapasitas energi fisik, mental dan ekonomi untuk berkecimpung di sana, ia pun menjadi wajib untuk terjun ke sana.

Ketika keluar undang-undang yang merusak sendi-sendi sosial, kita mengutuk-ngutuknya tapi kita menolak masuk ke sumbernya untuk mebereskannya. Kita sebut orang-orang senayan itu kaum dholim dalam institusi haram, tapi pada orang-orang dholim dan institusi haram itu kita berharap undang-undang yang merusak itu akan diperbaiki. Kita tawarkan pemikiran-pemikiran, membangun opini Islam, tapi ketika datang serangan bertubi-tubi, kita hanya berharap pada keajaiban. Kita berusaha meniru peri laku Nabi sepersis-persisnya dan yakin bahwa segala situasi dan kondisi pun bisa kita duplikasi kapan saja di mana saja. Kita mengharamkan demokrasi tapi bersamaan dengan itu memperjuangkan demokrasi versi yang lain.

Laa ilaaha illallah, Muhammadur rosuulullaah. Semua muslim pasti rindu akan tegaknya pemerintahan Islam dan wajib memperjuangkannya. Tapi perjuangan ini dihargai Allah bukan dari seberapa hasil yang kita capai karena Allah mustahil membutuhkan segala hasil usaha kita. Perjuangan ini dihargai dari seberapa sungguh-sungguh kita mengusahakannya. Kesungguhan dalam berolah pikir adalah dasar dari setiap olah gerak selanjutnya. Mengharamkan sesuatu yang mubah tidak kurang fatalnya dari memubahkan sesuatu yang haram.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun