Undang-Undang (UU) anti-perundungan di Indonesia membawa dampak yang signifikan bagi upaya penegakan hak asasi serta perlindungan bagi korban kekerasan dan pelecehan. Di satu sisi, kehadiran UU ini menjadi payung pelindung bagi korban yang rentan dan menjadi dasar hukum yang jelas bagi pihak berwenang untuk mengambil tindakan tegas terhadap pelaku.Â
Dengan UU tersebut, masyarakat memiliki pegangan yang pasti untuk mencari keadilan, dan perundungan yang mungkin selama ini dianggap biasa menjadi sebuah pelanggaran serius yang dapat ditindak.Â
Namun, di sisi lain, tak bisa dimungkiri bahwa UU ini dapat berpotensi menumbuhkan mental pengecut pada generasi muda. Ketergantungan pada hukum yang terlalu tinggi untuk menyelesaikan masalah pribadi, terutama konflik kecil, dapat melemahkan daya juang serta ketahanan mental individu.
Memang, dalam hidup, kata-kata orang lain dan perlakuan mereka kepada kita adalah hal-hal yang sering di luar kendali. Mulut orang tak bisa kita atur, begitu juga tindakan mereka terhadap kita. Karena itulah, yang pertama dan utama perlu kita siapkan adalah mental dan kesiapan diri.Â
Bukan berarti kita mengabaikan pentingnya regulasi, namun ada batas yang harus dipahami: tidak semua tindakan keras adalah perundungan. Mengajarkan peserta didik untuk menyikapi hal ini adalah cara untuk menguatkan diri mereka, sehingga saat menghadapi tekanan atau konflik, mereka bisa bertahan dan mencari solusi dengan matang, bukan langsung menyerah dan bergantung pada perlindungan eksternal.
Beberapa contoh menunjukkan bagaimana penerapan UU ini kadang menyentuh ranah yang sebenarnya bukan termasuk perundungan. Kasus di mana seorang anak melaporkan ibunya sendiri setelah mendapat teguran fisik dengan gesper ikat pinggang menggarisbawahi hal ini. Dalam situasi tersebut, tindakan sang ibu sebenarnya lebih kepada bentuk pendisiplinan, sebuah upaya untuk mendidik anak, bukan untuk mengintimidasi atau merundungnya.Â
Ketika prinsip hukum ini tidak diimbangi dengan pemahaman yang kuat akan batas antara perundungan dan pendisiplinan, maka bisa saja terjadi salah kaprah yang akhirnya justru memengaruhi mental generasi muda, membuat mereka sulit menerima koreksi atau pembelajaran dalam bentuk apapun yang terasa keras.
Kunci dari semua ini adalah kekuatan mental diri yang perlu dikembangkan sejak dini. Kecerdasan individu, termasuk peserta didik, dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan memainkan peran besar dalam menentukan ketahanan mereka. Hal ini tidak hanya meliputi kecerdasan akademis, tetapi juga emosional dan sosial.Â
Mengajari peserta didik cara menghadapi masalah, mengembangkan empati, dan mengasah ketahanan diri adalah investasi jangka panjang bagi pembentukan karakter yang kokoh. Dengan demikian, mereka tidak hanya bertumpu pada regulasi hukum untuk melindungi diri, tetapi juga memiliki kapasitas untuk berdiri sendiri dan mengatasi tantangan dengan penuh keberanian dan kebijaksanaan.
Tentunya, pandangan ini bukanlah upaya untuk melegalkan perundungan atau menganggapnya sepele. Semua bentuk kekerasan dan intimidasi tetaplah hal yang perlu dicegah dan ditindak tegas. Namun, ada hal yang lebih urgen untuk diperhatikan: pendidikan mental bagi peserta didik.Â
Penguatan mental ini melibatkan proses yang konsisten, yang tidak bisa hanya bergantung pada hukum semata. Regulasi adalah benteng yang diperlukan, namun tak boleh mengesampingkan pentingnya fondasi mental yang kuat. Tanpa fondasi ini, generasi muda berpotensi menjadi rapuh dan mudah jatuh ketika menghadapi kritik atau tekanan.Â