Santri Ar-Raudhatul Hasanah Islamic sedang membaca Alquran. (thejakartapost.com)
Untuk Hari Santri Nasional
Pesantren itu kolot.
Sederhana sekali rumusan itu! Seperti membuat teh celup saja, asal air sudah panas, masukkan teh celup, tambahkan gula, jadilah teh celup! Sesederhana itukah perumusan kata HASANAL sebagai singkatan Hari Santri Nasional?
Teks-teks kajian tentang pesantren dan santri telah banyak ditulis. Ada banyak rumusan di situ. Di antara rumusan yang paling saya suka adalah rumusan yang dikemukakan oleh Kang Marzuki Wahid:
“Pesantren adalah wacana yang hidup. Selagi mau, memperbincangkan pesantren senantiasa menarik, segar, aktual, dan—perlu dicatat tidak mudah … pesantren memiliki banyak dimensi terkait … tetapi ia sangat percaya diri (self-convident) dan penuh pertahanan (self-defensive) dalam menghadapi tantangan di luar dirinya. Karenanya, orang kesulitan mencari sebuah definisi yang tepat tentang pesantren … kelihatan berpola seragam, tetapi beragam; tampak konservatif, tetapi diam-diam atau terang-terangan mengubah diri dan mengimbangi denyut perkembangan zamannya. Ambisi merumuskan entitas pesantren secara tunggal, apalagi coba-coba memaksakan suatu konsep tertentu untuk pesantren, tampaknya tidak mungkin berhasil.”[1]
Memang aneh: kiprah dan keterlibatannya dalam mendidik bangsa Indonesia sudah berabad-abad namun jasa-jasa santri tidak—atau boleh Anda bilang, belum—terlembagakan dalam bentuk hari. Apakah penetapan hari nasional itu adalah bentuk mutlak apa yang disebut sebagai penghargaan? Tidak pernah ditanyakan apakah santri dan pesantren membutuhkan pelembagaan semacam itu. Atau, apakah perlu pelembagaan semacam itu?
Mengapa pesantren mendadak kerasukan perasaan penting memiliki ijazah yang bisa diakui di perguruan tinggi formal?
Empat tahun lalu, tiba-tiba saya merasa bangga dan terpanggil untuk mendaftarkan diri sebagai mahasiswa beasiswa Program Peningkatan Guru Madrasah Diniyyah, saat-saat saya baru pertama kali mendengar kata ‘sertifikasi’, bahwa sertifikasi adalah uang. (Bahasa Suroboyoannya, keno dinggo golek duit gae mbadok, iso entuk sertipikasi guru, yen S1 duwet sertipikasine tambah akeh).
Angan-angan saya melambung. Setelah S1, nanti cari beasiswa S2, lalu S3, lalu S4 (Pasca Doktoral). Melayang-layang di udara, mengikuti semilir angin, hilang kesadaran, hingga kepala saya kejedot kenyataan. Baru tersadar, tiga tahun kemudian, ketika nilai empat mata kuliah saya adalah E. (Maksudnya, entek dan empty). Seolah menjadi representasi bahwa santri itu kolot, tapi saya tidak mempercayainya.
Semester pertama dan kedua, materi kuliah masih wajar. Mulai semester tiga hingga tujuh, tak wajar. Kawan saya, Ahmad Faruq, yang motivasi kuliahnya hanya ingin tahu bagaimana rasa kuliah, menggerutu: “Jare peningkatan Guru Madrasah Diniyyah, tapi meteri kuliahe ora enek sing mambu pondokan!” Awalnya saya tidak menyadarinya, tetapi begitu saya kegencet pengalaman kuliah, saya menulis:
ANEKA MAKAN POKOK
--- menu spesial guru dan calon guru
PP-PAI
SKL
SKKMP
SK & KD
KKM
KP
RPE / APE
Prota
Prosem
Promes
Silabus
(Nggedabrus)
(MIE REBUS)
RPP
PP
PERMENAG
KEMENAG
KurLok
SSN
SBI
Paikem
Pakemi
tiba-tiba
perutku mules
lalu mencari WC
sudah ketemu
pintunya dikunci
aku berak
di celana
akibatnya
aku diasingkan
anehnya
aku merasa terhormat
Stain, 02 februari 2013
He he, dasar sayanya saja yang bodoh. Saya sama sekali tidak ingat materi kuliah model begitu. Satu hal yang berguna yang saya ingat dari materi kuliah ialah materi (saya lupa namanya) membuat Daftar Isi dengan menggunakan menu tabs pada aplikasi Microsoft Office Word.
Sejak terbangun dari angan-angan itu, saya kuliah hanya berangkat kuliah. Itu pun jika bensin saya cukup untuk PP. Untung jika ada sahabat yang merasa penting berterimakasih dalam bentuk uang bensin, karena telah membuatkan makalah. Berjalan dataaar saja. Mengikuti karepe jurusan. Tetapi mendadak dongkol hati saya ketika disalah-salahkan karena nilai tidak mencukupi SKL. Sudah KHS diberikan ropel, dari semester 3 hingga 7, masih diancam disuruh bayar semester jika tidak lulus tahun ini. Padahala saya rajin. Saya itu selalu hadir kuliah, setiap kali berangkat. Saya tidak masuk kuliah, hanya ketika saya tidak berangkat.
Jika sudah tahu santri dan pesantren selalu di luar arus keformalan, mengapa mereka harus diformalkan dalam kuliahan. Terus terang, saya tidak paham maksud Pemprov mengkuliahkan Guru Madin.
Agar ada peningkatan, katanya.
Peningkatan dari mana? Dari non-formal ke formal? Dari bawah ke atas? Jika demikian, berarti madrasah diniyah, pesantren, dan santri itu di bawah, dan keformalan itu di atas? Lantas, mengapa ada hari santri? Orang bawahan saja kok pakai diperingati segala? Biar kayak hari buruh, begitu? Biar orang bawahan dekat dengan orang atasan yang tidak pakai bawahan, begitu?
Coba lihat! Kolot kan pemikiran saya?! Sempit kan pemikiran saya? Sangat tidak komprehensif kan pemikiran saya?! Ngaco kan? Coba, kurang amburadul bagaimana kecerdasan saya ini?
Kang Marzuki Wahid sudah mengingatkan, pesantren adalah wacana yang hidup. Selagi mau, memperbincangkan pesantren senantiasa menarik, segar, aktual, dan—perlu dicatat—tidak mudah … Ambisi merumuskan entitas pesantren secara tunggal, apalagi coba-coba memaksakan suatu konsep tertentu untuk pesantren, tampaknya tidak mungkin berhasil.
Silahkan saja pihak pengelola program Madin di sekolah tinggi tempat saya dan teman-teman saya tercatat sebagai mahasiswa (kalau tercatat, sih) menyalahkan guru-guru Madin atas kekurangajaran mereka karena tidak masuk kuliah, tetapi kenyataan akan menyalahkan pengelola atas ketidakbecusannya mengurus lagu gelagat kebiasaan orang-orang madrasah diniyah.
Dalam tulisan ini, saya tidak ingin menyalahkan siapa pun dan apa pun. Termasuk Hari Santri Nasional, pengelola program madin, dan guru madin. Sebab, yang bersalah biasanya ya tidak benar. Saya hanya ingin sampaikan, saya setuju hari santri, saya setuju ada peningkatan, tetapi harus tetap dalam koridornya. Jika madrasah diniyah bagian dari pesantren, biarkan ia diolah dengan cita rasa khas pesantren. Jangan dipaksa diolah disesuaikan dengan cita rasa formalisme macam kuliahan. Mosok cita rasa terong gosong diukur, dinilai, dan diolah, dengan standar pretchiken Eropa. Yo gak mathuk, Blooog!!!
Wis. Lek dituruti, iki tulisan ga’ mari-mari. Saya ingin menutup tulisan ini dengat jepretan kenangan di alun-alun Jember.
SEORANG DOSEN
rambut disisir rapi
jika tidak berkerudung
muka dihiasi senyum berwibawa
berkemeja batik khas nasional
jika tidak pakai baju kurung
seringkali kemejanya berwarna putih
dimasukkan kedalam celana hitam panjang
lengkap dengan ikat pinggang
jika tidak mengenakan rok panjang
menampilkan kedisiplinan
dalam kerapian dandanan
datang bersepatu kulit hitam
kalau menapak di lantai keramik
bunyinya bergaung di dinding-dinding harapan
seolah-olah masa depan bangsa
dialah yang menentukan
menyanggul tas berisi laptop di bahu kanan
sempurnalah segala penampilan
ilmu yang mendalam dan luaaaaaas
dari pendapat sampai buat-buat
menurut ini dan menurut itu
mengkritik sana dan mengkritik sini
simbol-simbol kemajuan peradaban
mendakwahkan teori-teori
ingin menciptakan sesuatu yang pasti
menjungkirkan khayalan jadi kenyataan
menyulap kenyataan jadi ilusi
digugu oleh mahasiswa
dibanggakan oleh keluarga
diagungkan oleh zaman
dijauhi oleh kemenyan
dikukuhkan oleh teori
di alun-alun ada badut
menyanggul tas di bahu kanannya;
saat menyaksikan pertunjukan itu
aku teringat kenangan di kampus
Stain, 10 maret 2013
(“Terbuat dari apakah kenangan itu?” by Seno Gumira Adji Darma dalam cerpen Kyotomonogotari)
I.G. Jali__Bedengan-Tegalsari, 24 Oktober 2015
[1] Marzuki Wahid, “Pesantren di Lautan Pembangunanisme: Mencari Kinerja Pemberdayaan”, dalam Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Trensformasi Pesantren, Said Aqil Siradj, et al. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 145.