Agar ada peningkatan, katanya.
Peningkatan dari mana? Dari non-formal ke formal? Dari bawah ke atas? Jika demikian, berarti madrasah diniyah, pesantren, dan santri itu di bawah, dan keformalan itu di atas? Lantas, mengapa ada hari santri? Orang bawahan saja kok pakai diperingati segala? Biar kayak hari buruh, begitu? Biar orang bawahan dekat dengan orang atasan yang tidak pakai bawahan, begitu?
Coba lihat! Kolot kan pemikiran saya?! Sempit kan pemikiran saya? Sangat tidak komprehensif kan pemikiran saya?! Ngaco kan? Coba, kurang amburadul bagaimana kecerdasan saya ini?
Kang Marzuki Wahid sudah mengingatkan, pesantren adalah wacana yang hidup. Selagi mau, memperbincangkan pesantren senantiasa menarik, segar, aktual, dan—perlu dicatat—tidak mudah … Ambisi merumuskan entitas pesantren secara tunggal, apalagi coba-coba memaksakan suatu konsep tertentu untuk pesantren, tampaknya tidak mungkin berhasil.
Silahkan saja pihak pengelola program Madin di sekolah tinggi tempat saya dan teman-teman saya tercatat sebagai mahasiswa (kalau tercatat, sih) menyalahkan guru-guru Madin atas kekurangajaran mereka karena tidak masuk kuliah, tetapi kenyataan akan menyalahkan pengelola atas ketidakbecusannya mengurus lagu gelagat kebiasaan orang-orang madrasah diniyah.
Dalam tulisan ini, saya tidak ingin menyalahkan siapa pun dan apa pun. Termasuk Hari Santri Nasional, pengelola program madin, dan guru madin. Sebab, yang bersalah biasanya ya tidak benar. Saya hanya ingin sampaikan, saya setuju hari santri, saya setuju ada peningkatan, tetapi harus tetap dalam koridornya. Jika madrasah diniyah bagian dari pesantren, biarkan ia diolah dengan cita rasa khas pesantren. Jangan dipaksa diolah disesuaikan dengan cita rasa formalisme macam kuliahan. Mosok cita rasa terong gosong diukur, dinilai, dan diolah, dengan standar pretchiken Eropa. Yo gak mathuk, Blooog!!!
Wis. Lek dituruti, iki tulisan ga’ mari-mari. Saya ingin menutup tulisan ini dengat jepretan kenangan di alun-alun Jember.
Â
SEORANG DOSEN
rambut disisir rapi
jika tidak berkerudung