Mohon tunggu...
I.G. Jali
I.G. Jali Mohon Tunggu... Guru - penikmat nasi goreng, literasi, dan kopi

jika tak mampu nambah pemasukan, kendalikan pengeluaran

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Madin Mengadu (H)

23 Oktober 2015   00:27 Diperbarui: 23 Oktober 2015   00:57 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggapan kepada Mas Moch Eksan

Waduh, Mas Eksan. Di hari yang baru saja diresmikan, saya harus menelan kecewa. Mentah-mentah. Lagi-lagi, santri dibuat 'mainan' oleh oknum sebuah program peningkatan guru madrasah diniyyah.

Saya setuju dengan gagasan Mas Eksan. Terutama soal pengakuan pemerintah yang baru tahun 2003, untuk kenyataan yang--menurut sejumlah data--sudah ada sejak abad ke 7 masehi itu. Terlalu terlambat. Karena, menurut Sponbob, "Terlambat itu tidak sehat! tetapi lebih baik dari pada tidak sama sekali!"

Di sini saya hendak berkeluh-kesah, terkait MADIN. Tepatnya, Prodi MADIN 3 Jurusan Tarbiyah IAIN Jember (dahulu, STAIN Jember).

Permasalahan terjadi ketika saya--dan teman-teman sekelas saya--menerima KHS Semester 3, 4, 5, 6, dan 7, satu bendel. Senin, 5 Oktober 2015, dua minggu kemarin, Mas. Nilai hancur, disuruh mengurus ke dosen masing-masing mata kuliah; padahal tanggal 23 Okt 2015 (besok), kabarnya, adalah penutupan pendaftaran ujian skripsi; jika kami tidak dapat menyelesaikan hingga 2016, maka kami dikenakan biaya.

Kesalahan dan kejanggalan yang kami jumpai adalah: 1) KHS tidak diberikan per semester (melainkan satu bendel [KHS semester 3, 4, 5, 6, dan 7]); sehingga jika ada komplain nilai ke dosen yang mustinya harus kami lakukan setiap akhir semester, harus mundur; 2) di KHS tidak disebutkan tanggal penetapan KHS tersebut dikeluarkan, sehingga memungkinkan pembaca mengetahui bahwa semester 3 selesai pada tanggal sekian, misalnya; dan 3) di KHS tidak diterangkan nilai IPK dan tak ada SKS Komulatif.

Kalau saja KHS diberikan per semester, mungkin--sekali lagi, mungki--akan lain cerita. Karena, kami selalu komplain ketika mendapati KHS tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan dan langsung bisa ngomong ke dosen, seperti telah terjadi di KHS Semester I dan II. Ini sangat berbeda dengan kabar bahwa KHS program-program lain, selain MADIN, lancar diberikan setiap selesai semesteran.

Dugaan kami: ada nilai ganda di pihak STAIN Jember. Artinya, satu nilai untuk laporan per semester kepada Pemprov Jawatimur; satu nilai lagi untuk diketahui oleh kami. Sebab, jika absensi MADIN 3 (atau MADIN angkata lain) dilaporkan seadanya ke Pemprov, saya yakin tahun berikutnya, STAIN Jember tidak akan mendapatkan kepercayaan dari Pemprov untuk menyelenggarakan MADIN, yang sebelumnya 'proyek' ini digarap oleh UIJ. Nyatanya, hingga sekarang kontrak itu tetap berjalan, dan setiap tahun MADIN dibuka; tetapi semoga tidak setiap tahun ada kejanggalan ini.

(Ini adalah hipotesa saya: salah dan benarnya tidak dapat dipastikan, kecuali jika telah diperbandingkan dengan data laporan pihak STAIN Jember kepada PEMPROV tentang hasil kerja mereka mengurus MADIN--dan sampai sekarang, saya belum bisa menemukan data saya pribadi di http://forlap.dikti.go.id/mahasiswa: apakah saya tercata sebagai mahasiswa atau tidak; apakah MADIN ini hanya proyek sampingan, yang bisa dipakai jika diperlukan dan bisa dibuang kapan saja jika sudah tak perlu. Saya masih menyimpan data pengumpulan nilai dosen, meski hanya foto kopi; dan sudah saya scan, kalau-kalau diperlukan untuk dikirimkan ke Pemprov sebagai bahan perbandingan)

Kejadian ini, ternyata, bukan hanya di angkatan kami. Sebelumnya, MADIN 1 dan 2. Juga MADIN 4 dan 5: banyak yang belum selesai. Alasannya banyak, yakni banyak alasan. Oke, itu saya akui. Tetapi tidak semua.

Sungguh sayang, telah menjadi buah bibir bahwa mahasiswa MADIN itu kardiman (seenak perut sendiri), sok-sok-an, tidak disiplin, dan tak taat aturan. "Orang-orang pesantren memang begitu ya," ketus salah seoran Dosen saat mengajar. Image mahasiswa MADIN di kalangan IAIN Jember sudah pun pudar, tak bertaring, keruh, dan kumal.

Kami sudah mencoba membicarakan hal ini dengan pihak pengelola MADIN, tapi tidak menemukan jalan keluar kecuali harus 'mengemis' nilai kepada masing-masing dosen yang bersangkutan. Sudah pula kami melaporkan ke Rektor IAIN Jember, Bapak Babun Suharto. Tetapi jawabanya: "Sistem yang dijalankan itu sudah benar. Coba diurusin lagi, pasti bisa!"

Maka dengan sangat terpaksa, saya memberani-beranikan diri untuk mempermalukan diri saya sendiri, karena harus berburuk sangka kepada STAIN Jember: bahwa program GPAI, PERGUNU, SD, MI, MADIN, dan program-program lain-lain adalah sebuah strategi ampuh untuk mengubah diri, dari S-T-A-I menjadi I-A-I-N.

Singkat kata, kisah Madin (Madrasah Diniyah) masih sama: keberadaannya baru diakui dalam UU setelah 3 abad ia berbakti. Kini ia masih menjadi alat untuk menaikkan rating prestasi supaya suatu perguruan tinggi naik kelas. Tutup kata saya: jika boleh minta saran, kelanjutan cerita Prodi MADIN 3 Jurusan Tarbiyah IAIN Jember ini bagaimana? (Kirim jawaban Anda ke komentar ini; selesai tidak selesai, kumpulkan. Kuliah tiga bulan, lulus mendapat gelar S.Ng.Ps [Sarjana Ngapusi])

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun