Mohon tunggu...
Imron Maulana
Imron Maulana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa yang gemar menarikan jari ~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Four Leaf Clover

9 April 2013   17:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:27 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam kesunyiannya ia terus memperlihatkan tatapan kosong mengarah langit biru. Siang ini hendak kelabu. Burung kecil tertawa akan langit runtuh. Hampir gelap dengan temaram lampu. Cynara berdiri tepat melihat keluar jendela. Rambut coklatnya terhempas oleh angin. tak lama setelah itu, ketenangannya buyar. Seseorang mengetuk pintunya. Lantas ia melihat ke arah pintu coklatnya.

“Ms. Agatha, saya Louis. Teman anda telah datang. Saya harap anda mau mengijinkan kami masuk.” Kata louis –pelayan pribadi Cynara. Cynara lantas memalingkan mukanya menghadap keluar jendela lagi dan berkata “Masuklah.”

Seraya suara gagang pintu terbuka Louis masuk ke dalam kamar yang di ikuti oleh Axel. Sudut mulut Cynara terlihat bergerak yang bermaksud tersenyum. Setelah Louis menutup pintu kayu tersebut, Axel dengan rambut pirangnya melangkah menuju Cynara yang ada di dekat jendela. Mereka berbincang.

“Hai, kemana kau kemarin? Tahukah kau semua orang mencarimu. Mereka khawatir.” Dengan tangan terbuka ia menyisir rambutnya dengan tangan.

“Tak perlu kau mengetahuinya.” Tatapan Cynara berpaling melihat kembali gumpalan kapas yang melayang-layang di langit biru.

Tarikan nafas Axel terdengar lembut. Ia membalikkan tubuh tegap yang di lapisi oleh baju putih dengan jaket coklatnya. Ia menunduk. “Jika terjadi sesuatu janganlah membawanya sendiri. Libatkan aku.”

“Ya.”

Axel melangkah pergi. Cynara yang mendengar dentuman kecil pintunya menutup. Ia mendesah kecil. Aku tak akan pernah mau melibatkan dirimu dalam hal ini. Cynara dengan muram dan geramnya ia langsung menyambar komputernya dan bermain game. Game yang selalu membuatnya tertawa, riang, terlepas dari semua beban, dan yang pasti membuat dirinya bebas seperti diangkasa.

Menyingsingnya sang fajar membuatnya lelah untuk terus memberikan cahaya. Hari semakin gelap, dan Cynara tetap bermain game hingga makanannya dingin dan tak tersentuh sedikitpun. Matanya sayup. Tubuhnya gemetar karena lapar. Setelah sejam kemudian tangannya menggapai sebatang roti dengan sup krim asparagus yang telah dingin dan pinggirnya mengeras. Ia bangkit dari kursinya. Ia segera melangkah maju menuju kamar mandi mengingat hari telah malam dan ia belum sedikitpun tersentuh oleh air. Desingan pancuran air yang keluar menimpa tubuh putihnya. Tanpa rasa beban ia membersihkan diri. Tak lama kemudian, ketika ia hendak tidur, dering handphone-nya membelah suasana sepi yang menyelimutinya. Ia menjawab

“Hallo.”

“Hallo. Cynara, apa kau sudah menyelesaikan semuanya?”

“Landra?”

“Ya.”

“Aku rasa baru setengahnya. Kenapa?”

“Aku membutuhkannya esok hari. Bisakah kau menyelesaikan misinya? Item itu sangat berharga untukku.”

“Hmmm baiklah. Kita lihat besok.” Cynara menutup teleponnya. Ia duduk di tempat tidurnya. Ia memandangi bingkai foto keluarganya, dan dirinya dengan Axel sedang makan es cream. dengan tanpa ekspresi ia menutup kedua bingkai tersebut. Menutup sisa-sisa masa lalunya. Dalam ketenangannya ia kembali duduk di kursi hitam dengan monitor yang terus menatapnya. Jari-jarinya kembali menari di atas keyboard hitam dengan sigapnya bola mata coklatnya mengikuti alur-alur gerak karakter utamanya. Dengan melewati malam, tubuhnya beristirahat dalam tabu. Otaknya terus menguras tenaga dalam tubuh rampingnya, namun tak menghalangi keakuratannya dalam bermain game dengan misi yang hanya bisa diselesaikan 3 hari berturut-turut itu.

Keeseokan paginya, ia mendapati dirinya masih bermain game dengan reward yang cukup menjanjikan jika berhasil. Dalam lemahnya tubuh, seseorang mengetuk pintu. Dilihatnya Louis masuk dengan makanan yang cukup banyak. Ia menaruh makanan itu diatas tempat tidur Cynara. Membawa makanan yang kemarin telah usang itu. Louis menatap Cynara dalam, matanya dengan kaca-kaca kecil mengalir melewati pipinya. Cynara menoleh dengan herannya berkata “Kenapa?”

“Tidak..” Louis beranjak keluar dengan papan makanan di tangannya. Dengan cepat ia menutup pintu dan pergi.

Cynara kembali membuat dirinya tenggelam dalam dunia yang hanya bisa di lihatnya melalui jendela monitor hitamnya. Ia tak menghiraukan tubuhnya yang telah berteriak-teriak meminta agar berhenti berkerja dalam kesenangannya. Telah 23 jam ia bermain game semenjak dirinya ditinggal pergi oleh Axel. Namun karena tujuan yang harus ia dapatkan ia bersikeras untuk menutup telinga hatinya untuk mendengarkan lolongan tubuh indahnya itu.

Keesokan harinya. Didepan pagar seorang pak pos tua yang telah tak berujung kerutnya memberikan suatu amplop coklat dengan lambang yang pasti membuat Louis berdebar-debar. Kathryn. Sebuah rumah sakit di tengah kota yang cukup besar untuk menampung seluruh orang dalam radius 5 kilometer. Ia kembali kedalam, ia duduk di ruang tamu dengan sofa kuning  yang empuk. Ia perlahan membuka ujung surat tersebut. Semakin lama semakin berdebar jantungnya. Seperti derap langkah para prajurit yang hendak datang ke medan tempur. Dilihatnya lembaran putih. Dalam remangnya cahaya ia mulai membacanya dalam hati. Cynara Agatha Leonora. Umur 16 tahun. Permasalahan : radang paru, komplikasi dengan asma, penumpukan asam lambung, kinerja otak yang lemah.

Melihat itu semua, Louis ketakutan. Ia meneruskan bacanya hingga pada ujung surat putih tersebut ada catatan dari dokter Gandalf yang berisi bahwa Cynara tak akan bisa bertahan jika pola hidupnya tak di ubah dari sekarang. Tingkat kematiannya meningkat menjadi 68 persen. Kami harap anda mau membantunya.

Detik itu juga, serasa mati jantung Louis. Serasa jiwanya telah sampai di tenggorokan, serasa semua kenangan menghilang begitu saja. Seseorang yang telah ia rawat hingga kini, akan pergi mendahului dirinya. Ia lantas berlari menyusuri anak tangga, ia langsung menuju kamar Cynara. Namun ketika di depan pintu ia berpijak, ia melihat darah mengalir keluar dari bawah pintu dengan sela yang cukup untuk menampikkan sejumlah cahaya kecil.

Matanya terbelalak. Tangannya gemetar, tapi ia berusaha untuk menggapai gagang pintu yang bulat kecoklat-coklatan itu. Setelah terbuka, ia melihat sesosok tubuh meringkuk di lantai yang berlumur darah, makanannya tak tersentuh. Masih rapi, dengan tempat tidur yang tak lusuh sama sekali. Rambut coklat panjangnya menjadi merah akibat darah. Dan ia menyadari kalau itu adalah Cynara. Ia lantas gemetar seluruh tubuh. Seakan-akan ia melihat hantu yang baru saja menoleh kepadanya. Ribuan kaca cair tumpah melintasi pipi merahnya. Mukanya masam tak percaya kalau suatu hal yang benar-benar ia takutkan telah terjadi. Bahkan beberapa menit kemudian. Ia langsung menyambar Cynara, di pegangnya tubuh yang telah dingin itu. Didapatinya dada yang lemah mengembang kempiskan udara. Ia berteriak, melolong jauh memecah keheningannya malam. Ia segera berdiri dan berlari menuju telepon yang menggantung di samping monitor Cynara. Mulutnya tergagap-gagap berbicara memanggil ambulance, dan mereka berjanji akan datang 5 menit lagi. Ia menutup teleponnya dan kembali mengangkat telepon itu dan menekan beberapa tombol untuk menghubungi Axel.

“A-xel, ini Louis. Cynara. Cynara Axel!” Panik Louis

“Cynara? Kenapa dia?”

“Datanglah ke rumah sakit Kathryn! Aku menuggumu!”

“Untuk apa?!” jantung Axel menebar kencang, pikirannya mengambang melesat jauh dalam benaknya tak mungkin..

“Datanglah... untuk yang terakhir kalinya.” Lemah suara Louis. Matanya tak kuasa menatap Cynara, tubuhnya lemas, ia menutup teleponnya. Meninggalkan Axel dalam ketakutan serta keraguan. Ia terduduk menyender di dinding. Matanya terus menatap Cynara lemah.

Axel yang dengan kagetnya Sontak langsung pergi dan detak jantungnya berdegup kencang. Seraya memacu darah ke anggota tubuhnya terutama otaknya. Sedikit pusing ia merasa. Ia menyalakan mesin motornya. Ia segera melampaui lampu yang masih merah, menuju rumah Cynara. Dengan kecepatan tinggi ia melaju, melawan desakan angin yang menusuk tiap sudut sisi tubuhnya. Berharap Cynara akan baik-baik saja. Ia melesat.

Setelah tiba di rumah sakit, ia melihat sekelilingnya mencari Louis. Ditengah kerumunan banyak orang, tiba-tiba seseorang menarik tangannya. Ia langsung menoleh. Itu Louis. Muka yang sembab menyebabkan dirinya tak dapat berbicara dengan jelas dan baik.

“Dimana Cynara?”

Louis berlari diikuti oleh Axel, menuju salah satu lorong. Cahaya yang kurang menyebabkan suasana menjadi semakin kacau dalam pikiran Axel. Ia tetap memasang wajah yang cukup khawatir. Jaket coklatnya melayang-layang menghempaskan diri karena lesat jauhnya Axel berlari. Sedangkan Louis dengan baju hitam ala maid-nya terus menebarkan keindahan dalam balutannya. Louis berhenti di depan pintu dengan nomor 320.

“Dengarkan apapun yang ia katakan. Dan temani ia untuk detik yang menegangkan ini.” Suram suara Louis. Langkahnya melaju cepat seakan-akan ia kabur dari sesuatu yang mengejarnya.

Axel segera masuk ke ruangan Cynara. Ia melihat tubuh pucat dengan bantuan selang oksigen ia bernafas. Dan dengan mata sayup ia berusaha untuk melihat dunia. Cahaya mentari seakan redup dari hadapannya. Axel duduk di sampingnya. Dengan memegangi tangan Cynara yang dingin. Detik itu juga serasa diri mereka menyatu. Dapat merasakan kesedihan satu sama lain. Axel menunjukkan senyumnya. Cynara hanya melihatnya tanpa gerakkan dari mulutnya. Kemudian setelah bermenit-menit meraka terdiam, Cynara mulai membuka mulutnya dan berkata dengan terbata-bata “Tolong sembunyikan kematianku demi ke-tenanganku.”

“Jangan bodoh! Berhenti bicaralah! Aku akan ada disini. Tenanglah.”

Cynara tersenyum dan berkata “Terima kasih. Tapi aku minta maaf. Karena tak melibatkan dirimu. Aku telah mendapatkan gelarku.”

“Gelar?”

“Ya. Cukup menyenangkan setelah berhasil menyandangnya.”

“Maksudmu?”

“Lupakan. Perlahan kau akan mengetahuinya.”

“Beristirahatlah. Aku akan berada disampingmu selalu.”

“Ya. Tentu saja. Untuk selamanya. Kau tahu.. sesuatu yang ingin aku ucapkan kepadamu?”

“Apa?”

“Ketika kau kita tak pernah kalah karena mencintai seseorang, namun kita selalu kalah karena tidak berterus terang.  Barbara DeAngelis.” Seraya kaca-kaca putih menghiasi mata Axel yang berwarna biru. Dengan rambut blondenya ia tertunduk. Ia perlahan-lahan melihat Cynara. Matanya tertutup perlahan. Membutakan semua pikiran Axel. Tanpa ragu ia mencium kening dingin nan kaku Cynara. “iya. Sayangku.”  Ia pergi untuk selamanya.

Beberapa hari kemudian. Setelah kematian Cynara, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan. Ia masih bingung dengan apa yang disebutkan Cynara. Gelar? Gelar apa? Maksudnya apa? Aku harus tahu. Aku mulai dengan siapa yang terakhir ia telepon. Axel bermaksud datang kerumah Cynara. Ia ingin mendapatkan barang-barang Cynara. Setelah tiba disana ia bertemu dengan Louis yang kini tak banyak bicara lagi. Ia mengijin Axel masuk kekamar Cynara. Dalam sunyinya keadaan pikirannya menyatu dengan kesepian dirinya. Puluhan anak tangga mereka pijaki, dentuman halus merayap memenuhi dinding dan seisi ruangan. Setelah tiba di depan pintu, Louis menunduk, menitikkan air mata. Axel dengan lemahnya merangkul Louis dan berkata “Waktu tak dapat kembali terulang. Sebaiknya kau relakan gadis kecilmu itu.”

“Ya.” Louis pergi meninggalkan Axel sendiri. Dalam isak tangisnya ia terus berusaha menahannya untuk keluar—airmata.

Axel menatap Louis sebentar. Lalu ia memegangi gagang pintu dan kemudian masuk kedalam. Ditemukannya tempat tidur yang rapi, komputer yang membisu, belaian hordeng mengibar-ngibar berusaha menggapai dirinya yang telah terhempas angin lewat jendela. Matanya menuju handphone di atas meja komputer tersebut. Ia mengambilnya. Membuka siapa saja yang terakhir menghubungi Cynara. Ia dapati Landra yang terakhir. Kemudian sebelum landra ada Anora. Jika Landra yang menelepon aku tahu tapi... Anora? Siapa dia? Aku harus tahu. Axel melanjutkan dengan membaca semua pesan. Ia terkejut, ternyata hari ini Cynara akan bertemu dengan Anora. Tepat tengah siang di suatu taman mereka akan bertemu. Seraya Axel segera pergi dari ruangan dan menuju tempat tersebut mengingat 30 menit tersisa dari janji yang harus ditepati.

Dalam perjalanan pikiran terus melayang berputar-putar penasaran. Hingga tiba di taman itu pula dirinya mendapati taman penuh dengan orang-orang berlalu-lalang. Ia mulai mencari dengan menanyakan semua orang tentang Anora. Terik mentari menyinarinya. Beberapa orang pedagang menawarkan dagangannya kepadanya. Tetesan keringat yang lelah menghiasi wajah nya, rambutnyapun basah karenanya. Ia berdiri di tengah taman, kepalanya berputar-putar, matanya mengikuti pikirannya. Ternyata keberuntungan telah membuatnya dapat melangkah maju dan terbebas dari kegelapan jiwa. Axel melihat seorang gadis duduk manis di ujung taman dan mengalungkan sebuah kalung yang bertuliskan Anora Arabella. Ia langsung berlari menuju wanita tersebut. Dengan herannya wanita tersebut bertanya “Ada apa?”

“Saya Axel Antonio. Saya.. sahabat dari Cynara. Illene.”

“Lalu kemana Cynara? Kenapa kau yang datang?”

Axel terdiam. Ia mendengus lemah. “Cynara telah meninggal.”

“A-apa?!” Wajah Anora terkejut jelas terukir disana. Ia bisu dan menampikkan muka tidak percaya. Ia menunduk.

“Aku membutuhkanmu. Aku mau semua informasi tentang Cynara yang kau ketahui, kita ke rumahku sekarang.” Axel menarik tangan Anora. Dan berjalan menuju parkiran. Setelah tiba di rumah Axel, ia menyilahkan Anora untuk duduk. Dan ia mengambil minum. Anora melihat foto-foto yang terpajang di dinding. Ia lihat Axel kecil yang tertawa dengan girangnya.

“Baiklah kita mulai sekarang.” Kata Axel sambil menaruh segelas minuman yang ditaruhnya di hadapan Anora. Mereka saling menatap.

“Apa yang harus aku katakan?”

“Semuanya. Mulai dari bagaimana kau bertemu Cynara dan segalanya yang kau ketahui.”

“Baiklah. Aku seorang moderator dalam game yang dimainkan oleh Cynara. Aku kenal ia ketika ia berada dalam game dan mengajukan diri untuk mengikuti kontes.”

“Kontes?”

“Ya. Kontes untuk bisa menjadi moderator dalam game. Istilahnya GM. Ia menginginkan itu, ia anak yang cukup ambisius. Tapi ia memberikan alasan yang cukup menarik untuk itu semua. Ia ingin menjadikan gaji pertamanya untuk menggantikan kalung seseorang yang pernah ia patahkan.”

“Itu aku.”

“Benarkah? Kau seharusnya tahu kalau ia sangat menyesal.”

“Ya, tapi itu semua telah lama berlalu. Itu adalah kalung dari ibuku. Sewaktu Cynara memakainya, ia tak sengaja menjatuhkannya. Dan itu.. terbelah.”

“Aku lanjutkan. Untuk menyelesaikan kontes itu kami memberikan waktu seminggu, namun bagi peserta yang terlebih dulu memberikan laporannya, maka ia akan menang. Dan aku melihat Cynara terus berusaha menyelesaikan misi tersebut. Hampir seharian penuh.”

“Kau mengetahui telah berapa lama ia masuk dalam game?”

“Sekitar 37 jam tanpa henti.”

Axel merebahkan badannya di sofa, kepalanya terasa berat.

“Ia sakit. Demi hal tersebut ia berani. Kau tahu alasan utamanya?”

Anora merogoh tas kuningnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak hitam kecil berpita dan memberikannya kepada Axel. Axel memandanginya sejenak. Ia membukanya. Didapatinya sebuah kalung Four leaf Clover—kalung yang pernah dipatahkan oleh Cynara- dan secarik kertas pada belakang tutupnya bertuliskan ‘selamat ulang tahun maaf aku telah menghancurkannya. Salam manis Cynara’ Axel menutupnya. Ia menangis dalam, tanpa suara ia lakukan. Anora hanya bisa terdiam. Ia beranjak pergi.

“Aku akan selalu mengenangnya. Ia adalah GM yang sangat hebat. Ia mampu bertahan dalam derita panjangnya. Aku bangga dapat berkenalan dengannya. Illene si pembawa cahaya agung. Itu arti dari namanya. Aku pergi.” Anora pergi meninggalkan Axel dalam kesendirian serta kesediahannya.

Esok harinya. Axel mencoba memainkan game yang sama dengan Cynara. Ketika di tengah kota-dalam game- ia mendapati ribuan bunga memenuhi jalanan. Sebuah board menuliskan ‘Turut berduka cita atas meninggalnya Dewi Agung pembawa cahaya surga. Semoga dirinya tenang disana kami semua mengenang namamu Cynara dalam Illene.

Axel hanya tersenyum, ternyata kematianmu tak bisa disembunyikan. Maafkan aku. Tapi.. kau tak perlu khawatir. Kalung yang kau berikan itu, aku simpan dengan baik. Ditempat yang tak kau bisa bayangkan. Aku.. menyayangimu. Cynara. Mungkin beginilah akhir dari semua. Seseorang yang selalu diingat karena perbuatannya. Seseorang yang terdiam dan tertawa dalam keterbatasan. Kini demi menghormati kematiannya Anora membentuk sebuah Game dengan nama ILLENE.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun