Mohon tunggu...
Genoveva Tersiandini
Genoveva Tersiandini Mohon Tunggu... Lainnya - penggemar wisata dan kuliner

Pensiunan pengajar di sebuah sekolah internasional.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Wae Rebo: Terwujud Sudah Impian untuk Mengunjunginya

21 Desember 2022   22:52 Diperbarui: 22 Desember 2022   09:53 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan di sepanjang jalan menuju Lembor (dokpri)

Berkunjung ke Wae Rebo merupakan salah satu impian saya. Sudah lama saya ingin mengunjunginya, dan setelah sekian lama akhirnya kesempatan tersebut datang juga. Selama ini saya hanya bisa mendapatkan informasinya dari internet, namun sekarang saya bisa melihatnya dari dekat dan berinterkasi dengan penduduknya secara langsung. Sebuah kesempatan yang harus disyukuri.

Sebelum kami mengunjungi Wae Rebo, seperti yang sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya, kami berhenti di Cancar terlebih dahulu. Sebelum menuju Denge, kami berhenti dahulu di Dintor untuk makan siang. Perjalanan dari Cancar ke Dintor memakan waktu sekitar dua jam sampai tiga jam. Jalanan yang kami lalui sempit dan berkelok-kelok, selain itu jalanannya sangat rusak. Jika jalannya mulus kemungkinan besar kita tidak memerlukan waktu yang demikian lama untuk mencapai Dintor. Walaupun demikian, pemandangan di sepanjang perjalanan sangat indah. Kami menyusuri pantai berbatu yang unik.

Sekitar jam setengah satu siang kami tiba di Dintor dan kami makan siang di sebuah resoran yang terletak di tengah persawahan dan tidak jauh dari pantai. Cuaca di Dintor cukup cerah ketika kami tiba di sana. Saat kami tiba di restoran, di sana sudah ada beberapa kelompok pengunjung dengan pemandu mereka masing-masing. Suasana restoran itu sangat nyaman, tenang dan udaranya segar. Sayangnya kami harus menunggu lama sampai makanan kami tiba. Setelah hampir satu jam menunggu dengan perut yang sudah keroncongan, akhirnya makanan yang kami pesan pun tiba. Kami pun melahap makanan yang kami pesan dan untungnya rasa makanannya enak, jadi kami tidak menunggu dengan sia-sia. Langit yang tadinya cerah mulai berubah menjadi abu-abu, sepertinya tidak lama lagi hujan akan segera turun.

Setelah makan kami kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan ke desa Denge. Sebelumnya kami memesan beberapa ojek yang akan membawa kami ke ujung desa Denge sebelum kami hiking ke Wae Rebo. Kami akan menitipkan mobil di rumah salah satu pengemudi ojek. Ketika di rumahnya gerimis mulai turun dan lama kelamaan semakin deras. Kami berempat pun naik ojek di bawah guyuran hujan. Ketika sampai di tempat parkir ojek sebelum kami memulai pendakian, saya menyewa tongkat karena jalanan pasti akan licin karena hujan.

Kami pun mendaki di bawah guyuran hujan. Kami melewati beberapa air terjun kecil dan jalan setapak yang cukup terjal. Pemandu saya dan saya berjalan agak lebih cepat dibandingkan teman saya dan pemandunya. Mereka agak tertinggal jauh. Selama di perjalanan pemandu saya bolak balik melihat kakinya. Awalnya saya tidak mengerti kenapa dia melakukan hal tersebut. Rupanya dia takut lintah dan ternyata di sana banyak sekali lintah. Untungnya selama perjalanan ke sana lintah tidak mendekati saya maupun pemandu saya.

Air terjun kecil yang kami lewati (dokpri)
Air terjun kecil yang kami lewati (dokpri)

Jalanan becek dan licin (dokpri)
Jalanan becek dan licin (dokpri)

Kami terus mendaki bukit dan hujan pun mulai reda, namun ketika jalanan menurun dan hampir mendekati Wae Rebo, hujan deras kembali turun. Jas hujan harus kami kenakan lagi. Sebelum memasuki Wae Rebo, kami berhenti dulu di sebuah warung tepat dekat jalan masuk Wae Rebo. Kami memutuskan untuk menunggu teman saya di situ. Setengah jam kemudian mereka tiba dan kami bersama-sama berjalan menuju desa Wae Rebo. Di desa tersebut terdapat tujuh buah rumah besar berbentuk kerucut dan unik dan disebut Mbaru Niang. Selain ketujuh rumah tersebut, di bagian kanan (kalau kita melihat dari atas) terdapat dua bangunan yang lebih kecil dan berbentuk kerucut juga. 

Desa Wae Rebo saat berkabut (dokpri)
Desa Wae Rebo saat berkabut (dokpri)

Saat kabut mulai menepi (dokpri)
Saat kabut mulai menepi (dokpri)

Setibanya di sana, kami harus melapor dahulu ke ketua adat. Kami pun memasuki rumah utama. Ketua adat sudah duduk di tengah rumah. Kami duduk berhadapan dan wejangan-wejangan dan pantangan yang harus kami patuhi  diberikannya dalam bahasa daerah setempat. Tentu saja kami tidak paham apa yang dikatakannya, sehingga pemandu kami harus menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Kami kemudian memberikan sumbangan ala kadarnya, lalu dipersilakan untuk menuju ke salah satu mbaru Ngiang yang akan menjadi tempat bermalam kami.

Ketika tiba di depan mbaru ngiang tersebut, saya melihat sepatu-sepatu berjejer di tangga. Semua dalam keadaan basah. Setelah melepas sepatu, kami pun naik ke rumah. Ruangan di rumah itu sangat luas dan dipenuhi kasur-kasur. Kami sempat bingung akan tidur di mana, karena semua kasur sudah ditempati. Kami kemudian diminta untuk menuju ke belakang. Rupanya di belakang ada sebuah ruangan yang cukup besar dengan kasur-kasur berjejer di lantai. Ruangan ini yang akan menjadi tempat kami tidur. Ketika kami tiba, di ruangan tersebut sudah ada seorang wisatawan dari Norwegia dan tiga lainnya dari Spanyol. Hanya kami yang menempati ruangan tersebut karena sampai malam tidak ada lagi pengunjung yang datang.

Tempat kami menginap (dokpri)
Tempat kami menginap (dokpri)

Ruangan ini bersebelahan dengan dapur dan asap dari kayu bakar yang mereka gunakan masuk ke dalam ruangan kami. Walaupun pintu yang menghubungkan dapur dan ruangan tempat kami tidur ditutup, asap dari kayu bakar itu masih merembes dari dinding kayu dan tercium dengan kuat di ruangan kami.

Suasana di dapur (dokpri)
Suasana di dapur (dokpri)

Setelah meletakkan barang bawaan saya, saya pun memutuskan untuk mandi dan berganti baju. Kebetulan ada kamar mandi yang kosong, sehingga saya segera menuju tempat tersebut. Tentu saja kita harus mandi dengan air dingin ... dan airnya dingin sekali. Selesai mandi, saat akan berpakaian di dinding terdapat tamu tak diundang ... seekor lintah sedang berjingkat-jingkat mencari mangsa. Segera saya berpakaian dan keluar. Saya periksa baju saya untuk memastikan tidak ada lintah yang menempel, dan aman. Rupanya tidak demikian dengan teman saya, karena di antara kedua jari tangannya ada lintah yang sempat menggitnya. Darah masih mengucur saat dia menunjukkan bekas gigitan lintah keparat tersebut.

Setelah mandi, kami kemudian pergi ke ruangan tengah di bangunan yang lebih besar dan di situ sudah disediakan teh dan kopi hangat. Kami bergabung dengan beberapa wisatawan yang berbagi ruangan dengan kami. Awalnya percakapan berjalan agak kaku, namun lama kelamaan kami menjadi semakin akrab. Kami bercerita tentang banyak hal, bahkan saling mempelajari frasa-frasa penting. 

Makan malam pun segera disiapkan dan kami pun menyantap makanan tersebut. Saat sedang makan rupanya ada tamu tak diundang yang berjingkat-jingkat di tikar. Rupanya ada lintah yang ingin bergabung dengan kami. Lintah tersebut kemudian diambil oleh salah seorang penduduk yang menyiapkan makan malam kami. Dia mengatakan jika kita digigit lintah, sebaiknya kita diamkan saja dan jangan ditekan bagian yang digigit, nanti darah akan kering dengan sendirinya. Wah ... mereka adalah ahlinya karena mereka sudah biasa dengan hal-hal seperti ini, jadi tidak ada salahnya jika saran itu kita ikuti.

Suasana makan malam (dokpri)
Suasana makan malam (dokpri)

Saat sedang bercanda dengan orang-orang yang berada di dekat kami, tiba-tiba seorang wisatawan yang duduk di kelompok lain menyentuh pundak teman saya dan berkata : your friend is here. Rupanya di lantai dekat saya ada lintah kecil yang sedang berjungkit-jungkit. Mungkin mencari mangsa. Segera lintah itu diambil oleh teman saya dan dibuang.

Rasa kantuk pun mulai menghinggapi kami, dan beberapa pengunjung sudah mulai menaiki kasur mereka. Kami pun segera kembali ke ruangan kami. Saya segera ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Pada saat akan ke kamar mandi, seorang pengunjung wanita berteriak ke luar dan minta tolong agar lintah yang menempel di lengannya diusir. Mungkin karena dia belum sempat menggigit, ketika disentil lintah itu dengan mudah lepas dari lengan wanita tersebut. Namun, rupanya si lintah mendarat di lengan wanita lain yang kebetulan sedang duduk di situ. Tentu saja dia berteriak. Lucu sekali suasana saat itu. 

Ketika di kamar mandi untuk menggosok gigi, mata ini dengan awas mengamati setiap sudut dinding. Untungnya tidak ada lintah yang sedang bermain-main di situ. Kembali ke ruangan, saya kembali memeriksa celana, baju dan juga kasur untuk memastikan tidak ada lintah yang mengikuti.

Saya bangun cukup pagi karena suara-suara dan bau asap yang berasal dari dapur cukup mengganggu. Saya pun segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Pagi itu di luar masih sepi, semua masih tidur karena gerimis masih mengguyur dari semalam dan udaranya pun sejuk, nikmat untuk meneruskan tidur. Namun, saya justru ingin melihat-lihat di luar. Saya pun segera berjalan ke luar untuk melihat-lihat pemandangan yang unik di desa tersebut. 

Saya hanya melihat tiga orang di sana, mereka sibuk berfoto dan ada yang menerbangkan drone. Karena masih sepi, kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk mengabadikan pemandangan yang ada di hadapan saya. Sebuah kemewahan karena bisa mengambil foto tanpa terganggu oleh kehadiran pengunjung lain di situ. Ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh, saya pun kembali ke tempat kami menginap. Rupanya sarapan sudah disiapkan dan kami segera menyantap makanan yang tersedia.

Foto dulu mumpung masih sepi (dokpri)
Foto dulu mumpung masih sepi (dokpri)

Foto dulu sebelum turun bukit (dokpri)
Foto dulu sebelum turun bukit (dokpri)

Setelah sarapan, teman saya mengajak saya untuk keluar. Di luar sudah ada beberapa orang yang berfoto-foto. Kami pun ikut mengambil beberapa foto bersama dengan pengunjung yang lain. Semakin lama semakin banyak pengunjung yang berada di lapangan . Ada yang sudah membawa barang-barang mereka karena mereka langsung akan turun dan melanjutkan perjalanan ke tempat yang lain. Saya sempat berbincang dengan beberapa pengunjung, dan ternyata ada dua pasang pengantin baru yang sedang berbulan madu di situ. Wow ...

Cukup lama kami berada di lapangan. Di depan beberapa rumah ada yang berjualan kaus Wae Rebo dan kain tenun. Saya ikut membantu bapak yang sedang mempersiapkan barang jualannya. Kami juga sempat berfoto dengan tetua adat dan kakaknya yang kebetulan sedang ada di depan rumahnya. Saat sedang berfoto-foto, di sebelah rumah tetua adat ada seorang mama yang memerhatikan kami. Kami langsung minta izin untuk masuk ke dalam rumahnya. Rupanya mama tersebut memiliki nama depan yang sama dengan saya. Begitu tahu bahwa nama kami sama, saya langsung dirangkul dan dipeluk-peluk.

Bersama opa tetua adat (dokpri)
Bersama opa tetua adat (dokpri)

Berfoto bersama Oma (dokpri)
Berfoto bersama Oma (dokpri)

Menyiapkan barang dagangan (dokpri)
Menyiapkan barang dagangan (dokpri)

Nama depan kami sama lho ... (dokpri)
Nama depan kami sama lho ... (dokpri)

Ketika jam sudah menunjukkan pukul sembilan, kami pun segera mengambil barang-barang kami dan meninggalkan desa tersebut. Saya berjalan ditemani oleh pemandu yang menemani saya ketika naik. Seperti saat dia naik, sebentar-sebentar dia memeriksa kakinya karena takut terkena lintah. Saya yang berjalan di belakangnya memastikan bahwa tidak ada lintah yang menyentuhnya. Ketika saya iseng melihat kaki saya, ternyata ada dua ekor lintah yang menempel di kaki saya. Satu lintah sudah berhasil menghisap darah saya karena dia sudah terlihat agak gemuk, sementara yang satunya masih berusaha menentukan bagian mana yang akan digigitnya. Segera saya sentil lintah yang masih berjingkat-jingkat tersebut, sementara yang sudah menggemuk saya tarik. Tentu saja bekas gigitannya mengeluarkan darah, dan saya biarkan saja karena nanti dia akan berhenti sendiri. Seharusnya saya diamkan saja dia menghisap darah saya hingga kenyang dan dia akan lepas dengan sendirinya, tetapi mana mungkin saya diamkan dia menghisap darah saya.

lukanya ngga seberapa tapi kok darahnya banyak ya??? (dokpri)
lukanya ngga seberapa tapi kok darahnya banyak ya??? (dokpri)

Perjalanan turun terasa cepat karena kami mengambil jalan pintas melalui jalan setapak (jalan lama). Kami tiba di Denge lebih cepat dari perkiraan kami. Kami pun beristirahat sambil menunggu  teman saya sampai di bawah. Sekitar setengah jam kemudian, teman saya sampai di bawah. Kami kemudian kembali ke rumah bapak ojek untuk mengambil mobil. Sementara pemandu kami berbasa basi sejenak dengan pemilik rumah, saya bercanda dengan anak-anak yang ada di sana.

Bersama anak-anak di Denge (dokpri)
Bersama anak-anak di Denge (dokpri)

Dari Denge kami melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo. Kali ini kami mengambil jalur yang berbeda dari saat kami berangkat. Kami menyusuri pantai berbatu dengan pemandangan yang indah.  Namun sayang, jalanan yang kami lalui sangat-sangat buruk. Ada batu besar yang menghalangi jalan, kemudian ada jembatan yang putus, jalan yang tergenang air karena permukaanya lebih rendah dari permukaan air, lubang di sana sini, dll. Tidakkah pemda tahu akan hal ini dan berniat untuk memperbaiki akses jalan ke Wae Rebo? Mudah-mudahan dalam waktu dekat jalan-jalan yang rusak tersebut segera diperbaiki.

Pemandangan di sepanjang jalan menuju Lembor (dokpri)
Pemandangan di sepanjang jalan menuju Lembor (dokpri)

Menyusuri pantai berbatu (dokpri)
Menyusuri pantai berbatu (dokpri)

Jalanan yang rusak parah (dokpri)
Jalanan yang rusak parah (dokpri)

tak perlu caption (dokpri)
tak perlu caption (dokpri)

Akhirnya kami tiba di Lembor dan rehat sejenak untuk makan siang. Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju Labuan Bajo dan tiba di sana sekitar jam setengah lima sore, lalu segera menuju hotel. Kami akan tinggal dua malam di Labuan Bajo. Perjalanan ke Wae Rebo sangat berkesan bagi saya dan salah satu pengalaman indah yang tak mudah untuk dilupakan.

sumber foto: koleksi pribadi (dokpri)

gmt 21/12/22

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun