"Oh, tidak! Bagaimana nasib kita nanti? Jika benar demikian, kita pasti akan digusur!" keluh Eclipta.
"Hei, hei! Itu tidak akan terjadi! Kenapa mereka harus menyingkirkan kita? Apa mereka tidak tahu kegunaan kita? Di antara semua, aku yang paling cantik! Dengan adanya diriku di sekitar sini, lingkungan menjadi lebih asri, kan? Lalu kamu, Eclipta! Kamu urang-aring yang banyak manfaatnya. Ibu-ibu sering mengambil batangmu untuk mempercantik diri. Dan kamu, Acacia, kamu berguna untuk pembuatan sampo tradisional. Apa mereka punya alasan yang lebih masuk akal untuk menyingkirkan kita?" tanyaku.
"Tapi... kita tidak bisa melawan manusia....," keluh Eclipta lagi. Kali ini ia terisak. Lalu menangis tersedu-sedu.
Malamnya, aku tidak bisa tidur karena memikirkan nasib yang akan menimpaku dan teman-temanku. Eclipta benar. Namun, aku tetap yakin jalan baru tidak akan jadi dibuat. Mereka tidak bisa semena-mena seperti itu! Tidak boleh!
Keesokan paginya, kulihat seorang pria membawa tas ransel besar dan sebuah besi yang panjang. Ia lalu mengeluarkan sepotong besi tajam dari dalam ranselnya. Kemudian ada alat lain seperti motor penggerak.
"Oh, tidak! Penebas rumput!!" jerit Acacia.
"Ah, matilah kita!!" Eclipta ikut menjerit.
"Tidak! Tidak mungkin! Orang itu tidak akan menebas kita! Pasti ia bekerja di rumah penduduk sekitar sini!" seruku.
Tak lama kemudian orang itu menyalakan mesin yang dibawanya di punggung. Suara berderum terdengar. Gesekan antara besi pemotong dan tanaman-tanaman mulai terdengar. Sungguh memekakkan telinga.Â
"Tidak! Kau tidak boleh menyingkirkanku!!!" teriakku.
Namun apa daya... Mesin pemotong rumput menebas tubuhku. Serpihan tubuhku berjatuhan di tanah. Begitupula dengan teman-temanku yang lain. Mesin itu menebas apapun tanpa ampun. Tak peduli dengan teriakan-teriakan kami. Habislah semua. Rata dengan tanah.