Aku menatap wajahmu, namun tak berani menatapmu lekat-lekat. Entah mengapa aku merasa wajahku panas. Apakah karena kita lama tak bertemu? Apakah karena perasaan itu masih ada? Jujur aku menyesali kelakuanku dulu yang kekanak-kanakan. Aku menyesal karena dulu aku sangat emosian dan cemburuan. Aku menyesal tidak meminta penjelasan darimu. Sungguh... Aku sangat menyesalinya.
Setelah itu kau pamit untuk berkumpul bersama keluargamu. Tak lama kemudian kulihat kau sibuk dengan kameramu. Sementara itu, Nadia asyik berceloteh tentang status jomblomu. Namun aku tak menggubrisnya karena aku sibuk memperhatikan gerak-gerikmu.
Malam hari sebelum tidur, aku membuka blokiran nomor ponselmu. Lalu aku masuk ke akun media sosialku untuk mencari namamu. Kulihat bagian informasi tentangmu. Single. Dan, tak ada nama perempuan itu di setiap gambar maupun statusmu. Beberapa temanmu berkomentar di fotomu dan mendoakanmu supaya cepat dapat jodoh. Melihat itu, akupun memberanikan diri mengirimkan pesan untukmu.Â
"Hai, Bang. Apakah kau baik-baik saja? Kulihat penampilanmu berubah. Kapan kamu pulang ke kost-anmu?" begitu tulisku.
Kau membalas pesanku keesokan sorenya. "Ya aku baik-baik saja. Masa, sih penampilanku berubah? Kayaknya biasa-biasa saja. Maaf baru membalas pesanmu. Aku baru saja tiba di kost. Rasanya capek sekali."
"Oh, ya sudah kalau begitu. Baguslah sudah sampai di sana dengan selamat. Istirahatlah, Bang," tulisku lagi.
Jadi... Bisakah aku berharap kembali? Bolehkah aku berharap kita akan bersatu kembali? Satu senyuman... Satu jabat tangan... Kau sukses gagalkan move-on empat tahunku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H