Kamu tak pernah mengunjungiku sekalipun sejak kita putus. Juga tak ada telepon darimu yang menggunakan nomor ponsel temanmu. Diam-diam aku merasa kecewa. Mungkin kamu sudah bersama perempuan itu. Tapi... Aku tak mau tahu. Aku tak ingin kepo dengan mengecek akun media sosial kalian. Segala hal tentangmu bukan urusanku lagi.
Empat tahun berlalu. Suatu ketika, aku mendapat undangan pernikahan dari teman seangkatanku. Dia adikmu. Aku tak begitu akrab dengannya. Tapi entah mengapa ia mengundangku. Karena sudah diundang, mau tak mau aku hadir di pesta pernikahannya dengan mengajak seorang teman, Nadia, yang juga seangkatan denganku. Kuharap kau sangat sibuk sebagai panitia di pesta itu hingga kita tidak bertemu. Namun takdir berkata lain.
"Lis, bukannya itu mantanmu?" tanya Nadia, temanku.
"Eh, apa?" jawabku, pura-pura tak kedengaran.
"Itu lho!" katanya lagi sambil menunjuk dirimu. Nadia tiba-tiba saja menghampirimu, mengobrol sebentar denganmu lalu menarik lenganmu, membawamu kepadaku.
"Kamu nggak lupa sama Bang Petrus, kan?" tanya Nadia sambil menyuruhmu berjabat tangan denganmu.
"Hai, Lis!" katamu sambil menjabat tanganku.
"Oh... Iya. Hai! Apa kabarmu, Bang?" tanyaku dengan canggung.
"Kabarku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?" tanyamu. Kau melemparkan seulas semyuman padaku.
"Aku juga baik," jawabku.
"Eh, Lis, tahu nggak, Bang Petrus masih single, lho!" ujar Nadia dengan bersemangat. Entah apa maksud kawanku yang satu ini. Yang pasti kulihat wajahmu bersemu merah. Ada senyum yang dikulum dan kau sedikit tertunduk.