Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mungkinkah Kita Hanya Iri Pada Luhut Binsar Pandjaitan?

10 April 2022   23:52 Diperbarui: 11 April 2022   11:03 1307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber data: Temuan MOSI.ID

Awal tahun ini sebuah grafis melintas dalam feed Instagram saya. Awalnya, saya kira ini adalah buku terbaru untuk Seri Tokoh Dunia. Maklum, saya adalah generasi yang tumbuh dengan komik 'Seri Tokoh Dunia', yang kisah-kisahnya sukses membuat saya mengagumi; Thomas Alva Edison, Florence Nightingale, Marie Curie and Pierre Curie, Wright Bersaudara, serta tentunya Sidharta Gautama.

Sumber Foto: Infografis Bersihkan Indonesia/2022
Sumber Foto: Infografis Bersihkan Indonesia/2022

Nyatanya, grafis ini adalah sebuah 'meme' untuk menyindir salah satu tokoh pemerintahan saat ini, siapa lagi jika bukan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Spontan saya kaget, tertawa satir, sebagian lagi kesal. "Ah, serial favorit dipelesetin jadi tokoh ini."

Sudah banyak tulisan kritis maupun pendukung yang berkeliaran di dunia maya menyoal sosok yang satu ini. Anda bisa menemukannya, bahkan melalui ruang chat personal WhatsApp Anda. Tak tanggung-tanggung, sosok satu ini pun termasuk populer sebagai stiker untuk bahan hiburan di grup-grup WhatsApp.

Nama Luhut kerap diasosiasikan dengan oligarki, perusahaan batu bara, tes PCR yang sempat heboh karena memiliki relasi bisnis dengannya, ujaran untuk memperpanjang waktu jabatan presiden, big data soal penundaan Pemilu 2024, sampai baru-baru ini adalah ramai sosok Luhut yang ternyata memegang sekitar 8 jabatan fungsional dalam pemerintahan. 

Dilansir dari Kompas.com dengan artikel berjudul 8 Jabatan Luhut Selama Masa Pemerintahan Jokowi, Luhut ternyata memiliki banyak jabatan yang sangat krusial bagi kelangsungan hidup masyarakat di Indonesia. Sebut saja di antaranya ada; Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional, Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Koordinator PPKM Jawa-Bali, sampai Ketua Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Rentetan jabatan Luhut, seperti mengafirmasi bahwa dia adalah salah satu tiang penyangga untuk langgengnya oligarki. Apa itu oligarki? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang dari kelompok atau golongan tertentu. Artinya, dalam bahasa sederhana oligarki adalah jaringan pemerintahan dengan sosok yang 4L alias loe lagi, loe lagi.

Hal menarik lainnya yang ikut mengafirmasi Luhut adalah seorang oligark adalah kontroversi kekayaan beliau yang bahkan menjadi sorotan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dikutip dari artikel Kompas.com yang berjudul Kala Sri Mulyani Sebut Luhut Menteri Paling Tajir yang Kena Tarif Pajak Penghasilan 35 Persen, Sri Mulyani selaku bendahra negara berseloroh Luhut merupakan menteri terkaya di antara jajaran Kabinet Indonesia Maju. Dia beralasan, Luhut memiliki latar belakang sebagai pengusaha. Saat ini lini usaha Luhut yang bergerak di sektor tambang batu bara memang sedang diuntungkan dengan kenaikan harga batu bara di pasar global. Oleh sebab itu, penghasilan Luhut pun diprediksi meningkat seiring dengan lonjakan harga berbagai komoditas dunia. Kondisi tersebut disebut Sri Mulyani dapat membuat PPh yang dikenakan pada Luhut menjadi lebih besar.

Agar semakin sahih, Kompas.com juga memuat artikel berjudul Pengusaha Tambang hingga Juragan Tanah, Ini Profil Kekayaan Luhut, mengungkapkan berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Luhut terakhir kali melaporkan kekayaannya pada 13 Mei 2018 dengan total sebesar 665.438.752.423. Jika dirinci, hartanya paling besar ditempatkan pada aset tanah dan bangunan sebesar Rp 175.661.024.063.

Adapun lima belas bidang tanah milik Luhut banyak tersebar di Jakarta, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten Toba Samosir. Pasalnya, tak semua tanahnya tersebut merupakan hasil sendiri, sebagian aset propertinya merupakan warisan. Saat membaca fenomena ini tentu saya terperangah dan ingin bertanya pada orang tua saya, adakah harta warisan tanah sebanyak Luhut yang bisa dihibahkan kepada saya? Hahaha, canda, biar tidak tegang.

Selanjutnya, artikel yang sama menyebur terkair aset kendaraan, Luhut melaporkan kendaraan termewahnya yakni Lexus Jeep tahun 2014 senilai Rp 2.300.000.000. Mobil mewah lainnya berupa kendaraan Lexus LS 460 AT seharga Rp 1.500.000.000. Untuk kendaraan lainnya misalya; Isuzu Panther LM 25, motor Honda, dan Toyota Alphard. Luhut juga menempatkan hartanya pada aset berharga yang dilaporkannya senilai Rp 94.163.815.050, kas dan setara kas Rp 151.464.770.653, harta bergerak lainnya Rp 1.690.194.000, dan harta lainnya Rp 227.608.998.657.

Fakta kekayaan akibat bisnis batu bara memang paling mudah membakar kesadaran kita mengingat bisnis tersebut tidak termasuk dalam kelompok bisnis yang ramah lingkungan. Dampak ekologis sampai dampak kesehatan mengintai masyarakat khususnya yang tinggal di wilayah ekstraksi batu bara.

Dalam sebuah kesempatan, saya pun pernah menuliskan persoalan dinamika batu bara spesifik di Kalimantan Timur melalui artikel Menilik Bara Tepian Mahakam Tanpa Kacamata Kuda, sebuah pengalaman singkat saat tinggal dan meliput di provinsi yang telah dinobatkan sebagai bakal ibu kota baru Republik Indonesia. Dalam pengalaman saya saat itu, saya jadi paham betapa bisnis ini juga menciptakan masalah kesenjangan sehingga tak mengherankan ketika orang terdampak melakukan aksi penolakan, demonstrasi, dan menyuarakan kerugiannya.

Berangkat dari pengalaman itu pula saya kerap menanyakan kembali kepada diri saya, jika saya hendak mengkritik pemerintahan saat ini oligarki, apa saja kerugian yang sudah saya alami sebagai warga negara?

Apakah motivasi saya mengkritik karena saya sadar penuh dengan empati atas penderitaan masyarakat lain?

Ataukah saya hanya ikut-ikutan saja?

SEBUAH TEMUAN YANG EMPIRIS

Guna menguji tingkat kemarahan masyarakat pada kelompok 'oligark' dalam pemerintahan kabinet Indonesia Maju, akhir tahun 2021 lalu, saya bersama tim MOSI: Termometer Sosial Masa Kini menggelar kegiatan "CEK SUHU MASSAL" berupa "Rating Kabinet". Konten Cek Suhu Massal adalah konten utama dari MOSI, kegiatan sosial, politik, bagi masyarakat yang kami coba ajukan untuk menghibur, bukan untuk membuat Anda stres apalagi apatis terhadap media massa dan kondisi sosial, politik, ekonomi saat ini.

Hasilnya cukup mencengangkan dari 95 responden selama lebih dari dua bulan disebarkan kuesioner, ternyata tingkat kemarahan publik pada tercermin dari hasil bahwa dalam jangka 1 sampai 5, menteri dengan suhu terpanas atau '5' alias gawat darurat dalam Luhut Binsar Pandjaitan.

Sumber data: Temuan survei MOSI.ID 
Sumber data: Temuan survei MOSI.ID 

Selain Luhut, ada dua menteri lain yang mendapatkan suhu cukup panas yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati karena sempat mengeluarkan wacana-wacana perpajakan yang mencekik leher masyarakat. Ada pula Menteri Komunikasi dan Informatika yaitu Johnny Plate karena dianggap tidak banyak menonjolkan prestasi dalam bidang tersebut. Posisi yang 'agak hangat' dengan persentase yang sama. Mereka adalah; Airlangga Hartato selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian karena dianggap hanya sebagai kader partai yang menerima jatah besar dalam kabinet, lalu Teten Masduki karena sebagai Menteri Koperasi, Usaha Mikto Kecil dan Menengah tidak terlihat memiliki prestasi dan pemahaman, diikuti Menteri Sosial Tri Rismaharini yang terlalu sering marah-marah namun tidak memiliki kepekaan dalam berkomunikasi.

Agar berimbang, tentu saja kami dalam MOSI mencoba menanyakan juga kepada responden yang biasa kami sebut 'Sobat MOSI' siapa saja menteri dalam susunan kabinet Indonesia Maju yang termasuk menteri bagus dalam bekerja, alias paling 'adem'? Berikut hasilnya.

Sumber data: Temuan MOSI.ID
Sumber data: Temuan MOSI.ID

Ternyata, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono termasuk dalam menteri dengan predikat 'adem' karena tidak banyak masalah, tidak ada kontroversi, dan hasil kerjanya terlihat secara fisik khususnya pembangunan infrastruktur. Menteri lainnya memiliki posisi yang adem adalah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno,  disusul Menteri Keuangan Sri Mulyani yang bagi sebagian responden sudah bekerja dengan baik, dan ada pula Menteri Agama Yaqut Cholil Qomas. 

Temuan MOSI.ID mungkin tidak mencakup semua suara masyarakat Indonesia. Tentu, satu-satunya cara untuk mengakomodasi suara masyarakat Indonesia adalah dengan perhelatan Pemilu yang rencananya akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024, bertepataan dengan Hari Kasih Sayang. Namun setidaknya temuan MOSI.ID yang sederhana ini merepresentasikan bahwa suhu masyarakat terhadap pemerintahan saat ini dalam kondisi 'panas' dan tidak baik-baik saja. 

Berangkat dari temuan ini pula, saya mendapat jawab atas pertanyaan saya dalam naskah ini.

Jika saya hendak mengkritik pemerintahan saat ini oligarki, apa saja kerugian yang sudah saya alami sebagai warga negara?

Apakah motivasi saya mengkritik karena saya sadar penuh dengan empati atas penderitaan masyarakat lain?

Ataukah saya hanya ikut-ikutan saja?

Maka jawabannya adalah; terlalu naif dan buang-buang waktu ikut-ikutan mengkritik pemerintah. Beberapa motivasi yang cukup pasti.

Pertama, saya cukup iri karena entah sampai kapan keluarga saya, bapak-ibu, maupun saya harus bekerja membanting tulang, penghasilan kami tidak akan pernah sama atau bahkan mendekati kekayaan Pak Luhut. Artinya, ada ketidakadilan yang saya rasakan dalam konstelasi ini, dan entah salahnya dimana. Bisakah saya atau Anda menyalahkan nasib? 

Kedua, secara material saya mungkin tidak terdampak sebagai korban bisnis batu bara. Namun dalam jangka panjang, permasalahan ekologis akan selalu menimbulkan konflik baru. Artinya, saya lagi yang harus menghadapi masalah krisis lahan, krisis air, sampai masalah kesehatan akibat polusi udara.

Akhir kata, kondisi-kondisi tersebut sebaiknya perlu menjadi pertimbangan Pak Luhut dan segenap kelompok oligark. Artinya, kecemburuan sosial dan keresahan sosial yang sederhana saya akui ini memicu banyak hal jika tidak bisa menemukan solusinya.

Jangan sampai, bercandaan dari pundak, Luhut lagi, Luhut lagi, tak lagi jadi lelucon yang bisa membuat masyarakat tertawa. Sejatinya, masalah kesenjangan bukan masalah yang bisa diabaikan mengingat kesejahteraan sosial adalah visi yang sudah tertera dari level UUD 1945 sampai Pancasila.

Bener kan? Eh, dapat sepeda gak nih?

Salamku yang menanti dan menghargai Pemilu 2024, akhirnya, tidak jadi ditunda. Semoga, kecemburuan dan keresahan sosial ini akhirnya bisa terobati lewat pesta demokrasi nanti. Semoga. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun