Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ketika Publik Butuh Trust Dibandingkan Truth

9 Februari 2021   16:47 Diperbarui: 9 Februari 2021   16:52 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era revolusi digital 4.0 yang juga mendorong disrupsi dalam beberapa tahun terakhir telah membuat ekosistem media yang tidak adil khususnya dalam persaingan usaha dan daya pikat membangun relasi dengan publik.

Namun apakah persaingan usaha adalah satu-satunya permasalahan utama pada ekosistem media di Indonesia? Dalam diskusi Road to Congress Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Senin 8 Februari 2021 lalu, Direktur Remotivi Yovantra Arief mengatakan saat ini media massa di Indonesia masih menghadapi periode ketidakpercayaan publik. Kondisi ini semakin terlihat dengan tingginya sentimen kepercayaan publik pada buzzer ketimbang media massa.

Ihwal dari ketidakpercayaan publik sebenarnya adalah proses panjang yang tidak teratasi dan tak dicegah dengan baik. Pesimisme publik terhadap media mencuat sekitar tahun 2013-2014 dimana masa itu sejumlah media massa arus utama, sebut saja contohnya TV merah dan TV biru sangat terang-terangan menunjukkan keberpihakan politik dan menanggalkan independensi.

Siapa yang tidak gerah dengan kondisi tersebut? Masyarakat yang mengonsumsi media arus utama tentu lambat laun akan merasa dirugikan karena hak-hak pembaca kian tergerus. Beberapa kesalahan lain yang menurut Yovantra kerap berulang adalah kurangnya kesadaran melakukan ralat dan permintaan maaf secara terbuka ketika media mempublikasikan atau menyiarkan konten yang salah. Padahal kesalahan sekecil apapun itu tetaplah merugikan publik selaku konsumen. Jika kita membayangkan dalam konteks pacaran atau rumah tangga saja, meminta maaf itu sangat penting menjaga hubungan. Hal ini termasuk pula jika kita berbicara dalam konteks media massa dan publik.

Kondisi inilah yang kian meruncing dengan kehadiran buzzer pada Pemilu 2019 lalu. Dalam argumen post modernisme, fenomena ini dianggap sebagai salah satu konsekuensi ketika seseorang hanya akan menelan informasi yang sejalan dengan keyakinannya terlepas dari benar atau salah informasi tersebut.

Oleh sebab itu, Yovantra menawarkan sebuah ide yang menggelitik bagi saya pada momentum webinar tersebut adalah jurnalisme mulai mengadaptasi cara buzzer. Secara lebih rinci, Yovantra menyebut media arus utama yang sedang berjibaku menghadapi infodemi perlu juga melakukan revitalisasi dalam membina relasi kepada publik. Misalnya, dia mengusulkan, apakah media arus utama bisa menyontek teknik para buzzer, atau teknik  marketing secara umum ke dalam jurnalisme.

Salah satu yang menurut Yovantra saat ini bisa menjadi contoh adalah Narasi TV karena populer dengan pengemasan konten. Dia beralasan, "Ini menarik dicoba, jurnalisme dan buzzer berbeda tipis karena kedua ini punya bisnis informasi dan influence, tujuan media supaya masyarakat menghasilkan pilihan yang benar," ungkap Yovantra.

"Trust itu dibangun dari relasi sosial, sementara truth terbangun bukan dari relasi sosial. Jadi bagaimana mengemas truth dalam bentuk yang orang lebih trust," ujarnya.

Ujaran Yovantra adalah bagian dari kegelisahan saya, hanya saja, dalam praktik media massa arus utama ide tersebut belum bisa teradaptasi sepenuhnya. Mengapa demikian? Saya bisa memberikan beberapa argumentasi dari hasil pengamatan saya sendiri.

Pertama, lambat dalam mengadaptasi inovasi digital. Perusahaan media arus utama menghabiskan energi untuk menyelamatkan kapal bisnis dan keuangan ketimbang memikirkan inovasi. Artinya, kelambatan dalam menjajal inovasi konten bukan semata karena ketidakmampuan pelaku media melakukan terobosan, tetapi lebih kepada sulitnya perusahaan media arus utama berjibaku dengan ekosistem yang tidak seimbang di pasar bebas saat ini.

Dikutip dari Harian Kompas, Selasa 9 Februari 2021 dalam berita berjudul 'Jaga Ekosistem Media Nasional' dimana terjabarkan disrupsi digital tak hanya menghasilkan buzzer tetapi juga mencederai media arus utama. Monopoli distribusi konten oleh platform digital global menciptakan pula monopoli periklanan digital. Ketika Google, Facebook, Amazon, menguasai 56 persen dari belanja iklan, media arus utama justru tak mendapatkan keuntungan ekonomi. Artinya, monopoli pasar ini juga telah menciptakan pengabaian terhadap hak cipta karya jurnalistik. Seharusnya, Indonesia melalui Dewan Pers, bisa merumuskan dan menciptakan peraturan yang mengurangi monopoli berlebihan. Atau, cara yang bisa diambil dengan menciptakan iklim bagi hasil yang adil bagi media arus utama agar bertahan di era digital. Dengan demikian, manajemen organisasi media tentu bisa bernafas lebih lega dan fokus melakukan inovasi konten yang membangun dan menjaga relasi sosial publik demi menciptakan trust dan loyalty.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan juga Inisiator CekFakta.com, Wahyu Dhyatmika dalam sesi webinar yang sama pun menyatakan saat ini segenap perusahaan media arus utama berbasis daring, TV, maupun cetak tengah mencari solusi dalam membenahi kondisi ketidakpercayaan publik. Salah satunya dengan menciptakan Trust Indicator, dengan merumuskan sejumlah indikator untuk membuat publik percaya kepada media. Standar verifikasi ini harus dibuat secara transparan terutama sebagai senjata dalam masa pandemi Covid-19 yang juga merupakan momen infodemi bagi para pelaku media.

 

Kedua, belum ada kehendak lepas bebas pelaku usaha media arus utama membagi kepemilikan. Jika argumen pertama adalah cara menyelamatkan jurnalisme melalui penyelamatan bisnis media, maka ide argumen berikutnya adalah menyelamatkan jurnalisme ketimbang perusahaan. Dalam salah satu diskusi publik dan opini, Roy Thaniago, eks direktur Remotivi justru menawarkan mekanisme public service journalism.

Metode public service journalism seperti yang saya kutip dari situs roythaniago.com, secara sederhana menawarkan mekanisme pembiayaan media massa oleh rakyat, misalnya melalui crowdfunding. Cara ini menurut Roy akan lebih transparan dan harmless bagi keuangan negara dan hak warga negara jika dipaksa membuat aturan apalagi menebar insentif pajak bagi perusahaan.

Secara umum, Roy menawarkan untuk mengubah perusahaan media bisa berubah dari yang berorientasi laba menjadi nirlaba. Roy mungkin bisa mengambil contoh hal itu sudah sukses dilakukan di Amerika Serikat oleh The Salt Lake Tribun pada 2019. Hasilnya,  bahkan menerima donasi dari pembayar pajak. Sayangnya saya pribadi menilai cara ini agak sulit diterapkan oleh media massa arus utama di Indonesia.  Alasannya, dalam media arus utama ada tumpang tindih beragam kepentingan khususnya pemilik modal. Kondisi ini tentu tidak akan banyak membantu mekanisme perubahan tersebut. Istilah sederhana, tidak semua pemilik modal mau membagi kue kekuasaan dengan semudah membalik telapak tangan.

Ketiga, membina trust dengan media baru berbasis advokasi. Berdasarkan dua argumen sebelumnya di atas maka saya menilai selain krisis bisnis media krisis jurnalisme juga harus menjadi bahan pertimbangan utamanya dalam menciptakan trust ketimbang hanya menyajikan truth. Artinya, dalam menyelamatkan publik yang dibutuhkan saat ini adalah jurnalisme yang sehat. Dalam konteks tersebut jurnalisme yang sehat adalah jurnalisme yang bisa memberikan arahan dan punya relasi spesial dengan publik sehingga mengantongi trust.

Selain mengupayakan inovasi konten dan menjaga independensi, penting untuk menghadirkan ekosistem media baru yang punya kemampuan unik dan atraktif dalam membangun relasi. Idealnya dalam teori menjaga relasi, harus ada hubungan setara, saling menguntungkan, saling menjaga, antara konsumen konten dan produsen konten. Dengan demikian jurnalisme yang spesifik dengan kemampuan advokasi akan memiliki tempat tersendiri di hati publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun