Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Percepat Revisi UU Keanekaragaman Hayati...

16 Februari 2019   21:07 Diperbarui: 20 Februari 2019   08:01 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakapolres Cirebon, Kompol Jarot Sungkowo menunjukan salah satu hewan lindung yang diamankan satuan reskrim dari pasar ayam weru, Sabtu (3/11/2018). Hewan lindung lainya adalah: dua ekor kukang jawa, dua ekor elang tikus dewasa, tiga ekor elang bondol anak, dan satu ekor elang hitam. (Kompas.com/ MUHAMAD SYAHRI ROMDHON)

Isu soal kenekaragaman hayati memang masih menjadi salah satu agenda besar pemerintah dan wakil rakyat Indonesia. Pada akhir 2018 lalu, saya berkesempatan meliput salah satu acara terkait keanekaragaman hayati dari Kelompok Kerja Konservasi atau POKJA Konservasi.

Berdasarkan data dari Wildlife Crime Unit WCS IP, jumlah kasus kejahatan satwa liar dilindungi tercatat meningkat tajam dari 106 kasus pada 2015 menjadi 225 kasus pada 2017. Sampai Oktober 2018, WCS IP baru mendata ada 169 kasus satwa di Indonesia.

Dari 2015-2017, tercatat ada 451 total kasus kejahatan terhadap satwa liar dengan 657 pelaku. Adapun kasus yang mendominasi adalah perdagangan liar ada 37% atau 166 kasus, dan penyelundupan satwa liar 33% atau 149 kasus. Sisanya adalah perdagangan maya satwa liar sebanyak 12,6%, disusul lalu kepemilikan satwa liar sebanyak 7,8%, dengan perburuan 5,1%, dan ilegal fishing 1,8%.

Memang Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK memiliki banyak instrumen kebijakan untuk mengatasi kejahatan konservasi. Misalnya saja; Permen LHK No. P. 83/MENLHK.SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. 

Adapula Permen LHK No. P.2/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2018 tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik Spesies Liar dan Pembagian Keuntungan atas Pemanfaatannya. Aturan ini dianggap belum kuat selama perangkat hukum utama yakni Undang-Undang No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem belum melalui proses revisi.

Menurut POKJA Konservasi, rencana revisi UU Nomor 5/1990 sudah pernah dibicarakan sejak 2015. Namun wacana itu tidak ditindaklanjuti kembali sampai sekarang. Salah satu anggota POKJA Konservasi, Raynaldo Sembiring dari Indonesia Center for Environment Law (ICEL) menyebut UU ini perlu direvisi karena belum mengakomodasi pemidanaan terhadap korporasi. Padahal ada beberapa kasus kejahatan konservasi melibatkan korporasi. Misalnya; penyelundupan sirip ikan hiu keluar negeri oleh CV yang bergerak pada bidang usaha perdagangan hasil laut. Kasus ini sempat menjadi pembicaraan media asing pada 2016.

"Soal Kehati ini harus diperbaiki, karena ada value ekonomi yang tinggi dalam Kehati. Ada pula value pendidikan yang tinggi, value estetika yang tinggi," jelas Raynaldo.

Permasalahan ini mungkin sekilas nampak tidak penting bagi parlemen. Oleh sebab itu revisi UU Nomor 5/1990 terus tertunda hingga memasuki waktu jelang pergantian kepemimpinan. 

Padahal revisi aturan itu sangat penting untuk melindungi sumber daya alam hayati atau sumber daya genetik Indonesia dari biopiracy yang merugikan. Biopiracy kerap terjadi ketika peneliti atau organisasi penelitian mengambil sumber daya biologis tanpa izin dan sanksi.

Samedi dari Yayasan KEHATI juga membenarkan bahwa parlemen saat ini tidak melihat peluang besar dari revisi UU No.5/1990. Samedi beralasan, meskipun sudah ada Nagoya Protocol, soal akses dan pembagian manfaat sumber daya genetik serta pengetahuan tradisional namun hal itu belum cukup. Samedi menyebut pemerintah belum ada aturan nasional yang bisa mengakomodasi soal sumber daya genetik. 

Terutama untuk mencegah pencurian sumber daya genetik. Apalagi ke depannya perlu ada mekanisme industrialisasi yang mesti dijalankan, dari penelitian riset terapan sampai pengembangan, hingga bisa dikomersialisasi.

"Misalnya saja obat, kita banyak sumber daya yang punya khasiat untuk cancer depressant, namun belum diteliti sejauh mana kita bisa mengkomersialisasikan sumber daya ini, sampai jadi obat yang bisa dipasarkan," ujar Samedi.

Dikutip dari TEMPO, dalam artikel berjudul "RUU Konservasi Mandek, Posisi Indonesia Lemah di KTT Biodiversity," pasalnya revisi UU itu mandek akibat masalah klasik birokrasi di Indonesia yaitu ego sektoral antar-kementerian. Penasehat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Efransjah, mengatakan aturan pemanfaatan sumber daya alam hayati sudah mendesak. Isu ini menurut dia sama pentingnya dengan perubahan iklim sehingga perlu kesadaran kuat di tingkat politik nasional.

Efransjah mengatakan Indonesia tidak berdaya ketika biodiversitasnya diambil dan tidak mendapatkan nilai ekonomi sepeserpun. Konferensi ini juga memiliki ketentutan yang meminta negara-negara peserta konferensi memiliki kebijakan atau aturan nasional ihwal pemanfaatan sumber daya genetik. Nah, Indonesia tercatat masih belum punya payung hukum akibat UU No.5/1990 yang revisinya menggantung.

TEMPO menyebut, konferensi "UN Biodiversity Conference" yang berlangsung pada 13-29 November 2018 di Sharm El Sheikh, Mesir melibatkan 196 negara yang punya tujuan utama untuk konservasi, pemanfaatan sumber daya genetik, dan pembagian manfaat sumber daya genetik. Hingga konferensi berakhir, perdebatan keras terjadi pada bagian pembagian manfaat sumber daya genetik atau di forum itu dikenal dengan Acces and Benefit Sharing (ABS). Pasalnya, ada dua blok yang bertarung habis-habisan perihal pembagian manfaat.

Indonesia berada dalam kubu Like-Minded Megadiverse Countries atau LMMC, yakni kelompok negara-negara kaya keanekaragaman hayati. Beberapa negara LMMC lainnya, yaitu Malaysia, Filipina, negara-negara kawasan Amerika Latin, dan negara-negara di Afrika. 

Sementara golongan negara kaya teknologi seperti Jepang, Korea Selatan, Swiss, dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa berkeberatan memberikan pembagian manfaat penggunaan sumber daya genetik. Pada titik itulah Indonesia melalui perjuangan yang berat untuk bisa mendapatkan pembagian manfaat yang adil.

 Hal penting lain dalam konferensi ini adalah negosiasi tentang Digital Sequence Information (DSI) yang mana membahas dengan a lot terkait hasil pengembangan bioteknologi. 

DSI berbicara pemanfaatan Deoxyribo Nucleic Acid atau DNA makhluk hidup, contohnya seperti; mikroba, virus, tanaman, binatang. Selain itu, penelitian biologi sintetis untuk menciptakan organisme hidup buatan di laboratorium juga memicu kontroversi.

Dalam salah satu wawancara saya dengan Asisten Deputi Pelestarian Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera potensi ekonomi sumber daya genetik di Indonesia sebenarnya sangat dinamis. Seperti yang sudah pernah dimuat dalam Harian Bisnis Indonesia, potensi ekonomi itu sebesar US$19,4 miliar bahkan  berpotensi lebih besar lagi.

Indonesia sebagai negara megabiodiversitas karena memiliki 552 unit kawasan konservasi dengan total 27,12 juta hektare. Terkait dengan landasan hukum keanekaragaman hayati, yakni UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Dida mengaku memang perlu direvisi tetapi secara konsep masih valid. Sejumlah masukan untuk revisisebenarnya sudah masuk ke DPR, sehingga perombakan UU diprediksi signifikan. 

Dida juga menerangkan pentingnya revisi UU Nomor 5/1990 ini bertujuan agar lebih hati-hati dalam merumuskan industrialisasi atas sumber daya genetik. Dia ingin aturan itu nantinya tetap mengedepankan konservasi tanpa melupakan manfaat bagi ekonomi.

"Jadi, prinsip utama kelestarian dijaga, sumber daya genetik kalau diambil itu tidak akan habis. Ini yang dikembangkan. Kalau selama ini semuanya ada di kita, negara maju masuk ke kita jadi obat padahal bahan baku di kita. Tantangannya itu benefit sharing dibagi ke masyarakat," tuturnya.

Menjadi sangat menarik kembali membaca masalah soal tertundanya revisi UU Keanekaragaman Hayati sembari menanti-nanti dimana keseriusan wakil rakyat berikutnya dan pemimpin terpilih dalam penyusunan UU ini. 

Apalagi masih sangat berelasi dengan isu penelitian dan teknologi yang belakangan ramai di Twitter. Sehingga, siapapun yang terpilih menjadi pemimpin dan wakil rakyat di DPR bisa mendorong pemerintah mengucurkan anggaran yang tepat sasaran untuk keanekaragaman hayati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun