Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat Baduy Tolak Dana Desa, Kok Bisa?

15 Februari 2019   14:58 Diperbarui: 15 Februari 2019   15:35 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: travel.tribunnews.

Sangat menarik menonton karya Watchdog soal Baduy yang rilis pada Mei 2015, empat tahun silam.

Dilansir dari Antaranews, masyarakat suku Baduy menolak dana desa tahun ini. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Pemkab Lebak Rusit menyatakan bahwa penolakan itu karena pembangunan dikhawatirkan merusak kelestarian adat. Penolakan ini juga merupakan keputusan pemangku adat dan masyarakat.

Disini, makna pembangunan yang dimaksudkan adalah pembangunan fisik, atau infrastruktur. Adapun pengalokasian bantuan dana desa tahun 2019 untuk masyarakat Baduy sebesar Rp2,5 miliar. Besar sekali menurut kacamata saya. Memangnya buat apa sih?

Tahun lalu, dalam pemberitaan Antaranews menyebut masyarakat Baduy masih menerima dana desa. Ini menarik. Masih dilansir dari Antaranews, masyarakat komunitas Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, ini memperoleh bantuan pembangunan desa sebesar Rp2,1 miliar tahun 2018. Angka ini meningkat dari 2017, namun entah mengapa tidak disebutkan tahun sebelumnya berapa anggaran yang digelontorkan.

Beberapa keterbatasan informasi lain juga bisa mengakibatkan gagal logika pembaca. Salah satunya kalimat ini:

"Pengalakosian dana pembangunan desa khususnya masyarakat Baduy tahun ini mengalami peningkatan cukup tajam dibandingkan tahun sebelumnya.

Peningkatan dana tersebut karena wilayah Baduy masuk kriteria daerah tertinggal juga warganya banyak kalangan keluarga pra sejahtera.

Menurut dia, selama ini masyarakat Baduy menolak pembangunan infrastuktur jalan, jembatan, penerangan listrik, kesehatan, pendidikan, penyedian air bersih dan sanitasi MCK."

Ada deskripsi bahwa masyarakat Baduy adalah masyarakat tertinggal. Ada jarak identitas yang menurut saya menjadikan Baduy sebagai alien, dan si jurnalis adalah pengamatnya. Lalu si jurnalis yang memberi identitas "mereka itu tertinggal loh". Ada juga kesan bahwa mereka hidup prasejahtera. Lantas seperti apa definisi hidup sejahtera bagi masyarakat adat?

Uniknya lagi, semua penelusuran saya terkait pemberitaan selalu memakai pernyataan dan mengutip pejabat publik.

Saya jadi membatin "Dimana omongan masyarakat Baduy?" Maaf jika saya jadi terkesan menggurui. Sejatinya saya pun sedang belajar menjadi jurnalis yang adil dalam berpikir. Menurut saya, anda perlu bertanya langsung kepada masyarakat Baduy, mereka butuh apa, wahai jurnalis ibukota.

Omongan-omongan pejabat publik soal penggunaan dana desa tahun lalu sebesar Rp2,1 miliar yang waw besar sekali, menurut Pemda terkait adalah untuk pagar pembatas wilayah tanah hak ulayat Baduy.

Selain itu juga dana desa digunakan untuk pembangunan selasar atau jalan dari Terminal Ciboleger menuju gerbang pintu kawasan masyarakat Baduy. Dana juga akan dialokasikan untuk pembangunan rumah singgah dan pembelian benang yang nantinya dibagikan kepada perajin tenun Baduy.

"Kami berharap dana pembangunan desa masyarakat Baduy dapat meningkatkan kesejahteraan mereka," kata si pejabat publik yang sama.

Ada beberapa missing link dari sejumlah artikel yang ada di Antaranews.

Pertama. Dana desa sebesar Rp2,1 miliar yang tahun lalu diberikan, itu sudah jadi apa saja? Bukankah perlu evaluasi penggunaan anggaran yang menamakan entitas "desa tertinggal itu?"

Kedua. Apa benar dia sudah digunakan untuk membangun pagar pembatas hak ulayat? Apakah memang masyarakat Baduy perlu pagar pembatas, mengingat mereka mewarisi filosofi hidup, "tidak perlu pintar karena nanti bisa memperdayakan orang lain." Rasanya kasus perebutan hak ulayat akan sangat minim terjadi.

Ketiga. Apakah benar dana sudah dialokasikan untuk pembangunan rumah singgah dan pembelian benang yang nantinya dibagikan kepada perajin tenun Baduy? Kalau konteks ini mungkin perlu dilakukan karena masyarakat Baduy Luar sudah mulai melepas diri dan tidak sepenuhnya terikat pada cara hidup Baduy Dalam. 

Saya pikir untuk usaha mereka seperti produksi gula aren dan tenun jelas butuh dana dan pengembangan. Hal itu jelas merupakan hak mereka juga sebagai bagian dari warga negara Indonesia untuk mendapatkannya.

Keempat. Apakah benar sudah ada jalan dari Terminal Ciboleger menuju gerbang pintu kawasan masyarakat Baduy? Nah yang mana ini sebenarnya bukan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat Baduy, tapi para wisatawan yang hanya ingin kepo dengan "keprimitifan Baduy".

Dari upaya mengkaji setiap paragraf dalam berita, membaca literatur dan menonton Watchdog, saya pun tersadarkan bahwa ada salah kaprah dari penulisan berita ini. Sejatinya, dana desa ini digunakan bukan untuk atau atas nama masyarakat Baduy, apalagi Baduy Dalam. 

Dana itu digunakan lebih tepatnya bagi Dinas Pariwisata Pemda setempat. Tujuannya memudahkan akses bagi pendatang mengunjungi Baduy. Itu akan menjadi pemasukan bagi Pemda, ya, dan saya tak naif bahwa Pemda jelas butuh pemasukan.

Jika tak percaya sebut saja misalnya rumah singgah, dan jalan dari Terminal Ciboleger menuju gerbang pintu kawasan masyarakat Baduy. Tentunya infrastruktur itu untuk diprioritaskan untuk pendatang atau wisatawan, kemudian barulah untuk masyarakat Baduy jika pergi keluar untuk menjual madu. 

Padahal umumnya mereka berjalan kaki jadi model jalan seperti apa yang dimaksudkan itu juga perlu dikaji. Misalnya lagi dana untuk membeli benang tenun Baduy juga tidak utamanya bagi masyarakat setempat membuat pakaian mereka. Ada tujuan produksi dan kapitalisasi atau membangun kegiatan ekonomi. Nantinya representasi tenun sebagai kehadiran fisik adalah cinderamata bagi pendatang atau wisatawan. 

Meski saya menyadari rantai ekonomi dari dana desa ini, sesungguhnya saya jujur bingung dan sayang dengan keputusan masyarakat Baduy menolak dana desa. Menurut hemat saya itu adalah hak mereka. Ini adalah jaminan sosial dari pemerintah yang secara konseptual sudah tepat. Meskipun penamaan "dana desa" kerap ambigu. Lagi-lagi ada jarak antara desa dan kota. 

Hingga akhirnya saya sadari pengucuran dana dari negara akan selalu memerlukan identitas. Sebuah entitas untuk dipertanggungjawabkan jaminan sosialnya, sehingga dipakailah entitas desa untuk jaminan sosial ini. Dengan informasi yang tidak transparan soal penggunaan anggaran selama ini, saya hanya mencemaskan dana itu jatuh ke tangan-tangan tikus kecil.

Jaminan sosial itu sangat banyak ragamnya. Untuk memperkuat pemahaman saya, dari karya Dandhy dan Watchodog saya mengerti bahwa filosofi hidup orang Baduy yang dideskripsikan "tertinggal" oleh media itu sebenarnya salah kaprah. Dalam pembacaan saya cara hidup mereka selama ini sudah cukup memanusiakan mereka. Tidak kekurangan di perut. 

Namun juga tidak kelebihan. Hanya saja saya belum menemukan bagaimana cara masyarakat Baduy ini kalau sakit, dan tidak ada dana untuk berobat? Aspek-aspek krusial jaminan sosial untuk kesehatan misalnya. Disitu dana desa bisa mengambil peran langsung sebagai jaminan sosial, bukan dana suntikan untuk geliat ekonomi. Jaminan sosial dan investasi itu berbeda loh meski keduanya sama-sama uang.

Dana desa seharusnya jangan selalu dimaknai identik dengan pembangunan infrastruktur dan pembangunan fisik. Bisa jadi pemaknaan terhadap hasil fisik berakhir dengan contoh; Kepala Desa punya laptop baru, Kepala Desa punya motor dan mobil baru. 

Alhasil dana yang bisa jadi modal pemberdayaan masyarakat berakhir dalam bentuk deskripsi fisik semata. Atau mungkin bisa juga dana desa dikelola untuk membuka jalan dan sumber air. Memang seru melihat mengapa dana desa harus berbentuk fisik? Ada saja kecurigaa. dari beberapa kalangan bahwa ada tekanan atau represi dari si pemberi dana hasil dana desa harus terlihat dan terukur.

Sialnya, yang terlihat dan terukur saat ini bagi masyarakat kita secara umum berbentuk "fisik". Berbentuk "barang" sehingga bisa diprofilkan. 

Maka perlu ada perspektif baru dalam merumuskan definisi dan kegunaan dana desa kepada masyarakat. Menurut saya sejenis edukasi dimulai dari media massa dengan headline bahwa dana desa berfungsi sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Bukan hanya terlena karena keseksian angkanya. Wow Rp2,5 miliar, bombastis, lalu jadi headline pemberitaan.

Saya teringat pembicaraan dengan Chris, teman dan guru saya orang Inggris. Dia cerdas dan sudah lulus S2 jurusan Hubungan Internasional di London. Kala itu kami sedang membuat rencana jalan bersama ke tempat wisata, salah satunya Baduy. Chris mengaku bersama pacarnya sudah pernah ke Baduy. Dia bilang begini kepada saya kurang lebihnya;

"Kalian itu orang Indonesia, bego ya, maaf. Jahat sekali. Saya sangat kesal ketika pergi ke Baduy, sesama pendatang seperti saya, orang Indonesia, dia menolak makanan yang dibuat orang Baduy. Entah apa alasannya. Dia lalu minta mie instant. Kalian itu tak bisa menghargai budaya sendiri ya! Sementara saya dan pacar saya tidak meminta apapun. Kami makan dan menikmati apapun yang disajikan tuan rumah." Chris bercerita dengan nada emosi loh! Saya jadi super malu kala itu.

Berangkat dari cerita Chris dulu itulah sukses membawa saya terlempar jauh pada diskusi hari ini soal dana desa. Pembangunan sebenarnya bukan masalah awal. Namun pembangunan terjadi karena ada demand, alias permintaan, harus A. B. Dan C. 

Konsep-konsep demand itulah yang bahkan mempengaruhi anak-anak desa Baduy Dalam keluar, berganti baju menjadi Baduy Luar. Hidup mulai semi modern. Dengan modernisme itulah mereka mulai masuk juga dalam rantai kebutuhan pada jaminan sosial. Padahal bisa jadi, kalau mereka tetap di dalam, segala kebutuhan mereka sudah terpenuhi.

"Saya pengen coba naik mobil." Kata si anak Baduy Luar setelah keluar dari Baduy Dalam yang saya tonton dalam video Watchdog. Sedih. Entah mengapa. Di saat ayah dan kakeknya dulu sampai sekarang khatam jalan kaki tanpa alas ratusan kilometer.

Apalagi saya semakin sedih karena sadar mengetahui nilai hidup, falsafah hidup, sebuah komunitas, dikapitalisasi.

Semua kembali ke hak individu. Dana desa juga sebuah jaminan sosial. Dia hak yang bisa digunakan dan sebaiknya digunakan. Namun ketika hak ditolak, seperti logika orang golput saja, menolak memilih padahal punya hak maka ada banyak indikasi.

Bentuk perlawanan. Mungkin?
Kecewa pada realisasi. Mungkin?
Merasa hanya dijadikan "alat". Mungkin?
Sejatinya, dia merasa semua sudah cukup. Mungkin?

Apa yang menjadi hak saya bisa saya berikan kepada yang lain yang mungkin masih berkekurangan. Pemberiaan ikhlas adalah bentuk hak bukan?

Narasi di atas memang masih sangat lemah dan bisa jadi adalah sebuah asumsi. Argumen ini juga bisa saja dikritik sebagai sebuah argumen 'kaum fetish' yang hanya mengekalkan Baduy sakral dengan budaya, dan jika keluar dari budayanya, dia dianggap telah merusak tatanan budaya. Sejatinya ini bukan narasi orang fetish, ini adalah asumsi saya bahwa ada banyak faktor seseorang soal melepaskan dana desa.

Namun tulisan ini juga menjadi alarm, jangan main-main dengan anggaran negara, apalagi dana desa. Gunakanlah sebaik-baiknya dan seefektif mungkin untuk kebutuhan rakyat Indonesia.

Selamat menonton buat yang penasaran. Saya melampirkan link video sekaligus membantu Watchdog karena sudah lama tak lihat di TV.

Sejatinya adil dalam berpikir itu sangat sulit. Sebagian hanya bisa mengutip namun implementasinya kosong.

Terlampir link berita kalau mau membaca soal dana desa bagi suku Baduy.

Masyarakat Baduy tolak dana desa

Masyarakat Adat Baduy Tolak Dana Desa Jokowi Rp2,5 Miliar

Masyarakat Baduy peroleh dana pembangunan desa Rp2,1 Miliar

Link video Ekspedisi Baduy terlampir.

Baduy (Ekspedisi Indonesia Biru)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun