Jika tak percaya sebut saja misalnya rumah singgah, dan jalan dari Terminal Ciboleger menuju gerbang pintu kawasan masyarakat Baduy. Tentunya infrastruktur itu untuk diprioritaskan untuk pendatang atau wisatawan, kemudian barulah untuk masyarakat Baduy jika pergi keluar untuk menjual madu.Â
Padahal umumnya mereka berjalan kaki jadi model jalan seperti apa yang dimaksudkan itu juga perlu dikaji. Misalnya lagi dana untuk membeli benang tenun Baduy juga tidak utamanya bagi masyarakat setempat membuat pakaian mereka. Ada tujuan produksi dan kapitalisasi atau membangun kegiatan ekonomi. Nantinya representasi tenun sebagai kehadiran fisik adalah cinderamata bagi pendatang atau wisatawan.Â
Meski saya menyadari rantai ekonomi dari dana desa ini, sesungguhnya saya jujur bingung dan sayang dengan keputusan masyarakat Baduy menolak dana desa. Menurut hemat saya itu adalah hak mereka. Ini adalah jaminan sosial dari pemerintah yang secara konseptual sudah tepat. Meskipun penamaan "dana desa" kerap ambigu. Lagi-lagi ada jarak antara desa dan kota.Â
Hingga akhirnya saya sadari pengucuran dana dari negara akan selalu memerlukan identitas. Sebuah entitas untuk dipertanggungjawabkan jaminan sosialnya, sehingga dipakailah entitas desa untuk jaminan sosial ini. Dengan informasi yang tidak transparan soal penggunaan anggaran selama ini, saya hanya mencemaskan dana itu jatuh ke tangan-tangan tikus kecil.
Jaminan sosial itu sangat banyak ragamnya. Untuk memperkuat pemahaman saya, dari karya Dandhy dan Watchodog saya mengerti bahwa filosofi hidup orang Baduy yang dideskripsikan "tertinggal" oleh media itu sebenarnya salah kaprah. Dalam pembacaan saya cara hidup mereka selama ini sudah cukup memanusiakan mereka. Tidak kekurangan di perut.Â
Namun juga tidak kelebihan. Hanya saja saya belum menemukan bagaimana cara masyarakat Baduy ini kalau sakit, dan tidak ada dana untuk berobat? Aspek-aspek krusial jaminan sosial untuk kesehatan misalnya. Disitu dana desa bisa mengambil peran langsung sebagai jaminan sosial, bukan dana suntikan untuk geliat ekonomi. Jaminan sosial dan investasi itu berbeda loh meski keduanya sama-sama uang.
Dana desa seharusnya jangan selalu dimaknai identik dengan pembangunan infrastruktur dan pembangunan fisik. Bisa jadi pemaknaan terhadap hasil fisik berakhir dengan contoh; Kepala Desa punya laptop baru, Kepala Desa punya motor dan mobil baru.Â
Alhasil dana yang bisa jadi modal pemberdayaan masyarakat berakhir dalam bentuk deskripsi fisik semata. Atau mungkin bisa juga dana desa dikelola untuk membuka jalan dan sumber air. Memang seru melihat mengapa dana desa harus berbentuk fisik? Ada saja kecurigaa. dari beberapa kalangan bahwa ada tekanan atau represi dari si pemberi dana hasil dana desa harus terlihat dan terukur.
Sialnya, yang terlihat dan terukur saat ini bagi masyarakat kita secara umum berbentuk "fisik". Berbentuk "barang" sehingga bisa diprofilkan.Â
Maka perlu ada perspektif baru dalam merumuskan definisi dan kegunaan dana desa kepada masyarakat. Menurut saya sejenis edukasi dimulai dari media massa dengan headline bahwa dana desa berfungsi sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Bukan hanya terlena karena keseksian angkanya. Wow Rp2,5 miliar, bombastis, lalu jadi headline pemberitaan.
Saya teringat pembicaraan dengan Chris, teman dan guru saya orang Inggris. Dia cerdas dan sudah lulus S2 jurusan Hubungan Internasional di London. Kala itu kami sedang membuat rencana jalan bersama ke tempat wisata, salah satunya Baduy. Chris mengaku bersama pacarnya sudah pernah ke Baduy. Dia bilang begini kepada saya kurang lebihnya;