Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Polarisasi dalam "Social Movement", Mengapa Bisa Terjadi?

26 Januari 2019   19:39 Diperbarui: 26 Januari 2019   19:54 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerakan ini berkembang dalam dua golongan. Serius menolak memilih hanya karena malas dengan kekisruhan, dan golongan yang serius menolak memilih karena punya komitmen. Keduanya punya kesamaan yakni memiliki nilai sosial soal kebebasan berpikir.

Gerakan ini juga sebenarnya jika kita tarik ke golongan yang serius berpikir, bukan hanya lelucon konyol di media sosial, mereka punya tujuan sosial mengubah struktur sosial yakni menghapus oligarki ekonomi-politik yang ada saat ini. 

Menurut golongan ini, ada kondisi kritis dan vital mengancam demokrasi Indonesia dengan munculnya kandidat yang sama, arus modal yang sama, tidak ada alternatif dari golongan non elit, atau masyarakat sipil dalam jajaran pemerintahan selanjutnya. Rantai inilah yang menurut mereka perlu dilawan.

Salah seorang kawan saya yang memutuskan untuk menjadi bagian dari irisan ini berkilah ketika saya mengatakan asal saja untuk membuat dia tersudutkan, "orang golput tidak punya tanggung jawab sosial kepada rezim terpilih, karena dia pun tidak pernah memutuskan untuk bertarung pada satu pijakan tertentu."

Golongan ini banyak dikritik sebagai golongan naif dalam berpolitik. Golongan ini menepis konsep menimbang yang terbaik di antara yang terburuk. Jika kita mencoba menyelami alam pikirannya, para penganut gerakan social movement yang tetap berada di pihak oposisi atas dua kandidat dalam konteks Pilpres saat ini dipastikan akan tetap jadi golongan kritis siapapun presidennya. Meskipun tidak memilih mereka tetap punya hak sebagai warga negara untuk mengkritik. Itu yang disebut sebagai hak dasariah warga negara terlepas dari apapun aksi politik yang dia lakukan.

Kawan saya itu bahkan mencoba mencerahkan pemahaman saya dengan mengutip The Guardian yang berjudul, "Blank Voters Reform Democracy." Tulisan ini mencoba menyatakan bahwa sesungguhnya dengan golput, anda telah melakukan perlawanan dan mereformasi demokrasi. 


Hanya saja, saya belum memahami, jika golput bisa mereformasi demokrasi apa saja rangkaian perlawanan yang bisa dilakukan? Bukankah dengan menolak memilih -yang juga merupakan bagian dari demokrasi yakni hak dan kebebasan- tetapi pilihan itu bisa memberi peluang kepada yang terburuk untuk berkuasa? Menurut hemat saya, mencegah masih jauh lebih murah daripada mengobati. Sebab, dengan membiarkan yang terburuk berkuasa, biaya untuk mempertahankan demokrasi bisa menjadi lebih mahal lagi.

Kembali ke soal social movement, gerakan ini meski cenderung lebih terbuka terhadap entitas apapun, namun sebenarnya dia tetap mengusung identitas dengan me-liyan-kan golongan elit dari struktur sosial. Pada titik ini lagi saya termenung, apa ada demokrasi bebas nilai dan bebas biaya?

Selain itu, seberapa besar 'biaya politik' yang harus dihasilkan untuk sebuah perlawanan yang konsisten? Bagaimana dengan resikonya? Apakah ada target kepastian untuk memutuskan rantai oligarki ekonomi-politik yang dimasudkan? Sebab, dari rangkaian bacaan dan argumen itu malah saya tidak menemukan titik terang selain awan gelap yang bisa menurunkan hujan kapan saja.

Dalam kekalutan itulah saya melihat dinamika yang terjadi sekarang adalah polarisasi mahadahsyat setiap kubu dengan ruang geraknya di media sosial maupun dunia nyata. 

Masing-masing kubu keras kepala dengan pendiriannya. Masing-masing kubu menghakimi satu dengan yang lain. Dalam kondisi super ramai ini, saya malah jadi tercenung sendiri, dengan lantunan irama...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun