Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Polarisasi dalam "Social Movement", Mengapa Bisa Terjadi?

26 Januari 2019   19:39 Diperbarui: 26 Januari 2019   19:54 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Polarisasi yang terjadi selama kampanye Pilpres 2019, antara pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin, Prabowo-Sandiaga, dan Nurhadi-Aldo, membuat saya bertanya-tanya. Apa yang memicu sebuah polarisasi terjadi? Mengapa social movement bisa menyebabkan polarisasi? Apa yang terjadi dengan demokrasi nantinya?

Pernahkah kita mencoba merenungkan apa saja pencapaian kita dalam demokrasi selama ini? Ataukah semua yang kita lakukan sungguh tidak ada kemajuan? Apa benar demokrasi Indonesia sedemikian bobrok?

Pada 12 Desember 2018 saya menonton debat Indonesia Lawyers Club (ILC) antara Boni Hargens dan Fadli Zon yang sungguh menarik. Pernyataan Boni Hargens tentang politik identitas dan radikalisme yang dia beri label melalui gerakan Reuni 212 memang saya nilai cukup arogan. 

Logika berpikir Boni sebenarnya tidak salah, argumentasi dia juga tidak salah menurut saya. Namun, cara dia mengemas narasi itu memperkuat keyakinan dia bukan lagi pengamat yang objektif. Jelas saja argumen Boni diserang lagi oleh Fadli Zon.

Singkat cerita, Fadli lagi-lagi mengkritik media yang tidak meliput Reuni 212 karena tidak independen. Namun yang paling menggelitik ketika Fadli menyebut Reuni 212 adalah gerakan social movement. Saya tersentak, bukan karena Fadli berkelakar. Menurut saya kali ini Fadli telah menyentuh croc brain saya dengan menyebut Reuni 212 sebagai social movement ketimbang ajang kampanye politik.

Boni dan Fadli pun memperdebatkan seputar definisi politik identitas di layar kaca, yang andai mereka tahu, sesungguhnya banyak jurnalis zaman now yang bahkan tak tahu apa itu politik identitas. Namun pada sisi lain kita perlu memaklumkan adu argument dua orang ini, sekiranya ilmu pengetahuan membuat mereka bisa cukup pongah untuk saling serang pisau analisis.

"REUNI 212"

Kembali ke soal social movement, saya pun jadi berintrospeksi apa itu social movement? Status Facebook saya soal hal ini pun mendapat respon menarik dari seorang kawan, Arlandy Ghiffari, dia menyatakan, "Apakah social movement mesti bersandar pada sebuah isu atau cukup kesamaan identitas, atau keduanya?" 

Ada lagi respon dari Mbak Sri Maryati yang menyatakan, "Kalau tidak salah ciri-ciri gerakan sosial antara lain: tindakan tersebut dilakukan oleh sekelompok orang secara bersama-sama, memiliki tujuan jelas yang ingin dicapai, dan dilakukan secara terus-menerus. Misalnya gerakan mengirim bunga untuk Ahok, seberapa pun besar guncangan yang dihasilkan tetapi kalau tidak ada keberlanjutan tidak bisa dikategorikan sebagai gerakan sosial, kecuali ada ada rangkaian tindakan yang menyusulinya secara terus-menerus."

Atau dua pernyataan itu, saya akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa Reuni 212 memang bisa saja disebut sebagai Social Movement karena berkemampuan menggerakan massa sebesar itu. 

Tanpa banyak mengutip para ahli, cukup dari Britannica.com, Social movement, loosely organized but sustained campaign in support of a social goal, typically either the implementation or the prevention of a change in society's structure or values. Definisi ini menandakan, bahwa sebuah social movement, atau pergerakan sosial, memang adalah bentuk implementasi dan aksi preventif untuk mengubah struktur sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat.

Definisi ini kembali membawa gugatan, berarti, seperti yang diungkapkan oleh kawan saya Arlandy, social movement jelas harus bersandar pada sebuah isu, karena dia memiliki tujuan mengubah struktur sosial. Social movement jelas juga harus punya identitas, karena dia mengusung nilai tertentu. 

Rasa-rasanya, tidak ada nilai yang bebas identitas, bebas sumber. Ini menjadi sebuah jawaban, mengapa, dalam Reuni 212, tidak bisa seseorang dengan identitas yang berbeda, dalam hal ini identitas keagamaan, diterima masuk dalam Reuni 212. Perbedaan identitas ini tidak sejalan dalam tatanan dan struktur sosial yang ditawarkan oleh gerakan ini. Jadi, sekalipun saya punya keprihatinan yang sama seperti yang diungkapkan dalam aksi yang berkesinambungan dan tertata disiplin ini, saya tetap tidak bisa diterima masuk dalam gerakan itu.

Pertanyaannya, apakah social movement juga bergerak secara sukarela seperti relawan? Ataukah dia berkembang dengan dukungan dana? Saya punya dugaan yang belum tentu benar, bahwa kekuatan ada dalam diri setiap peserta didukung pula oleh kekuatan modal yang mendorong terealisasinya aksi itu. Tidak ada aksi apapun tanpa amunisi, betul?

"I STAND ON THE RIGHT SIDE"

Saya jadi terlempar pada Pemilu 2014 lalu, yang saya amati bentuk social movement dalam pesta demokrasi. Ramai orang yang memasang profile picture "I Stand On The Right Side". Sebagai bentuk pemberitahuan, "Saya memilih Nomor 2, Pak Jokowi, Right Side." Right, benar, dan Rights, hak. Dimana ini adalah kampanye untuk mengatakan kubu sebelah -dalam hal ini Prabowo- adalah seorang penjahat kemanusiaan yang melanggar hak kemanusiaan. Itu makna yang saya tangkap dari social movement "I Stand On The Right Side."

Pada Pemilu 2014 iklim pesta demokrasi kita pernah secemerlang itu. Demokrasi kita pernah membangkitkan gerakan sosial atas keprihatinan yang sama. Saya pun berkesimpulan, maka sebenarnya Reuni 212 tak lebih dari upaya mencontoh gerakan sosial yang sudah dikerjakan tim Pak Jokowi pada 2014 lalu.

Meski begitu, saya masih menggugat apa itu karakteristik social movement sebenarnya? Apakah dia lebih cocok dalam gerakan "I Stand On The Right Side" pada 2014 lalu, atau "Reuni 212"? Lalu apakah social movement adalah gerakan bebas identitas? Atau sebaliknya, dia membutuhkan identitas?

"NURHADI-ALDO"

Gelombang social movement berikutnya yang baru lahir belakangan ini adalah kritik dari milenial atas kekisruhan politik saat ini, baik itu politik identitas, korupsi, kandidatnya itu-itu lagi, dan debat kursir minim substansi. Nurhadi-Aldo meraup banyak pengikut dengan hanya mengandalkan media sosial.

Sekilas terlihat biaya yang dibutuhkan untuk mengakomodasi gerakan ini sangat kecil, namun dalam prediksi saya tidak semudah itu. Sebab, untuk mengorganisasikan sesuatu hal menjadi viral, pilihannya hanya dua. Pertama, sesuatu konten yang sungguh penting, populer, dan sensasional. Kedua, jaringan infrastruktur yang kuat untuk menembus lapisan akun semua orang. Tentunya untuk poin kedua, tidaklah murah dan mudah.

Gerakan social movement yang ini hadir sekilas tanpa tujuan jelas, sebagai autokritik yang tidak banyak menawarkan perubahan struktur sosial jangka panjang. Ini mungkin jenis gerakan sosial musiman jangka pendek yang mengakomodasi nilai-nilai yang sebelumnya tak mempunyai ruang, yakni nilai-nilai yang merasa tidak terwakili oleh dua kandidat yang ada. Sialnya, gerakan sosial inilah yang ternyata dirasa menjadi ancaman terbesar bagi dua gerakan sosial diatas, para penganut Reuni 212 maupun I Stand on the Right Side Jilid II.

Gerakan ini berkembang dalam dua golongan. Serius menolak memilih hanya karena malas dengan kekisruhan, dan golongan yang serius menolak memilih karena punya komitmen. Keduanya punya kesamaan yakni memiliki nilai sosial soal kebebasan berpikir.

Gerakan ini juga sebenarnya jika kita tarik ke golongan yang serius berpikir, bukan hanya lelucon konyol di media sosial, mereka punya tujuan sosial mengubah struktur sosial yakni menghapus oligarki ekonomi-politik yang ada saat ini. 

Menurut golongan ini, ada kondisi kritis dan vital mengancam demokrasi Indonesia dengan munculnya kandidat yang sama, arus modal yang sama, tidak ada alternatif dari golongan non elit, atau masyarakat sipil dalam jajaran pemerintahan selanjutnya. Rantai inilah yang menurut mereka perlu dilawan.

Salah seorang kawan saya yang memutuskan untuk menjadi bagian dari irisan ini berkilah ketika saya mengatakan asal saja untuk membuat dia tersudutkan, "orang golput tidak punya tanggung jawab sosial kepada rezim terpilih, karena dia pun tidak pernah memutuskan untuk bertarung pada satu pijakan tertentu."

Golongan ini banyak dikritik sebagai golongan naif dalam berpolitik. Golongan ini menepis konsep menimbang yang terbaik di antara yang terburuk. Jika kita mencoba menyelami alam pikirannya, para penganut gerakan social movement yang tetap berada di pihak oposisi atas dua kandidat dalam konteks Pilpres saat ini dipastikan akan tetap jadi golongan kritis siapapun presidennya. Meskipun tidak memilih mereka tetap punya hak sebagai warga negara untuk mengkritik. Itu yang disebut sebagai hak dasariah warga negara terlepas dari apapun aksi politik yang dia lakukan.

Kawan saya itu bahkan mencoba mencerahkan pemahaman saya dengan mengutip The Guardian yang berjudul, "Blank Voters Reform Democracy." Tulisan ini mencoba menyatakan bahwa sesungguhnya dengan golput, anda telah melakukan perlawanan dan mereformasi demokrasi. 

Hanya saja, saya belum memahami, jika golput bisa mereformasi demokrasi apa saja rangkaian perlawanan yang bisa dilakukan? Bukankah dengan menolak memilih -yang juga merupakan bagian dari demokrasi yakni hak dan kebebasan- tetapi pilihan itu bisa memberi peluang kepada yang terburuk untuk berkuasa? Menurut hemat saya, mencegah masih jauh lebih murah daripada mengobati. Sebab, dengan membiarkan yang terburuk berkuasa, biaya untuk mempertahankan demokrasi bisa menjadi lebih mahal lagi.

Kembali ke soal social movement, gerakan ini meski cenderung lebih terbuka terhadap entitas apapun, namun sebenarnya dia tetap mengusung identitas dengan me-liyan-kan golongan elit dari struktur sosial. Pada titik ini lagi saya termenung, apa ada demokrasi bebas nilai dan bebas biaya?

Selain itu, seberapa besar 'biaya politik' yang harus dihasilkan untuk sebuah perlawanan yang konsisten? Bagaimana dengan resikonya? Apakah ada target kepastian untuk memutuskan rantai oligarki ekonomi-politik yang dimasudkan? Sebab, dari rangkaian bacaan dan argumen itu malah saya tidak menemukan titik terang selain awan gelap yang bisa menurunkan hujan kapan saja.

Dalam kekalutan itulah saya melihat dinamika yang terjadi sekarang adalah polarisasi mahadahsyat setiap kubu dengan ruang geraknya di media sosial maupun dunia nyata. 

Masing-masing kubu keras kepala dengan pendiriannya. Masing-masing kubu menghakimi satu dengan yang lain. Dalam kondisi super ramai ini, saya malah jadi tercenung sendiri, dengan lantunan irama...

"Mau dibawaaa kemanaaaa demokrasi kitaaaa ~~~"

Mungkin yang lebih benar saat ini dalam refleksi saya adalah, bukan tentang masyarakat yang naif dalam berpolitik. Namun, sebagian dari masyarakat juga masih naif dalam menerima konsekuensi hidup berbangsa dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun