Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jangan Jadi Jurnalis, Kamu Takkan Kuat, Biar Aku Saja

29 Juli 2018   03:00 Diperbarui: 29 Juli 2018   03:33 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tak menyangka sih untuk ukuran pejabat redaksi punya pesimisme yang bahkan tidak saya miliki. Saya jadi mempertanyakan dalam batin saya sendiri, "Apa alasan kamu bertahan jadi jurnalis sih?" Diskusi singkat malam itu menyisakan tanda tanya besar ke dalam diri saya sendiri.

Pada akhirnya, saya tidak akan pernah menyamakan blogger dan vlogger dengan jurnalis. Sebagai seorang blogger dan vlogger, mereka tidak terikat dalam Kode Etik Jurnalistik, mereka mungkin hanya terikat dengan UU ITE. Soal objektivitas dan independensi keduanya dalam posisi yang setara, meski terkadang blogger/vlogger ini lebih jujur ketika tidak independen karena harus mengiklankan sesuatu ketimbang jurnalis yang tidak boleh alias haram hukumnya promosi (kecuali mengiklan loh ya hahahaha).

Omong-omong soal jualan menjadi jurnalis, akhirnya media-media banting setir dengan menjual produk yang sama seperti yang dijual blogger/vlogger. Media seperti kehilangan kendali untuk menciptakan tenaga kerja dan menciptakan pasarnya sendiri. Jualan utama menjadi jurnalis adalah keliling dunia, padahal itu bisa jadi adalah kebohongan yang hakiki.

Sebab dalam dinamika pekerjaan keliling dunia hanya diberikan kepada mereka yang bekerja lebih dari 5 tahun. Atau jualan berikutnya adalah ketemu pesohor. Hello? Blogger/vlogger saja dicari pesohor untuk mendongkrak popularitas pesohor.

Di tengah krisis kepercayaan itulah saya mengolah batin untuk percaya bahwa keunikan dari jurnalis adalah pilihan mereka yang bermesu diri, bukan sebaliknya yakni jalan-jalan, atau jadi populer. Itulah sebabnya saya jadi suka kesal jika ada teman yang berkata bahwa follower saya banyak sudah cocok jadi influencer. Hello? Situ nyindir ya? Hahahaha.

Jelas followers adalah teman-teman saya, kalau saya tak kenal juga tak akan saya follow. Artis saja saya tak follow kok hahahaha. Kembali ke soal mesu diri, ini adalah istilah yang saya temukan ketika memutuskan menjadi jurnalis sampai saat ini. Mesu diri adalah proses melatih diri disiplin dalam pencarian budi dan iman. Mesu diri adalah model pelatihan yang diberikan kepada ksatria-ksatria pada masa lampau khususnya di tanah Jawa.

Prinsip jurnalisme di era senja kala ini sesungguhnya semakin menuntut mereka yang terpanggil untuk mau bermesu diri, mendisiplinkan diri dengan tuntutan zaman yang baru. Misalnya kecepatan menulis berita, kecepatan mencari informasi, dan mungkin termasuk disiplin mencapai target berita. Jujur saja untuk poin pencapaian target berita saya tidak sepenuh hati ingin memasukkannya sebagai bagian dari mesu diri.

Menurut saya kuantitas produksi tidak mencerminkan kualitas mesu diri seseorang. Saya merasa mesu diri adalah disiplin dan taat pada kaidah etik jurnalistik yang harus selalu dipegang oleh setiap insan pers di tengah semua masalah lain di luar dirinya. Jurnalis harus hidup diantara semua masalah yang bukan masalahnya. 

Mesu diri tidak menawarkan kenikmatan apapun, oleh sebab itu, seorang calon jurnalis harus paham yang dia hadapi bukanlah kenikmatan apalagi kepopuleran. Kemanapun dia melangkah, dia akan selalu disangkut-pautkan dengan dari media mana dia berasal. Dia tidak independen sebagai individu, tetapi dia independen sebagai institusi. Pada bagian inilah seorang jurnalis harus siap mental ketika institusinya tidak independen, dia akan kecipratan stigma sebagai individu yang tidak independen alias tidak bebas.

Sampai sekarang, saya masih menampik omongan rekan saya, "Apa iya zaman sekarang masih ada orang yang mau jadi jurnalis?" Selama ada anak muda yang berbagi dengan saya dan mengatakan mau setia pada dunia kepenulisan saya yakin masih ada yang mau menjadi jurnalis. Namun sekali lagi, jangan tawarkan mereka kenikmatan, sebab sesungguhnya media sebagai industri sama sekali tidak menawarkan kenikmatan. Hentikan omong kosong itu, dan jujurlah pada tantangan bahwa calon jurnalis adalah individu yang siap dan atas kehendak bebas mau bermesu diri.

Sesungguhnya sangat tidak sulit mengatasi millennials, berilah mereka realita jujur dan tantangan, sebab mereka adalah individu yang kreatif dan memiliki daya serap tinggi ketimbang generasi sebelumnya. Mereka yang mungkin bersedia tidaklah banyak namun juga tidak sedikit. Saya rasa hukum Alkitab sangat berlaku disini, dia yang terpanggil sangat banyak. Namun yang terpilih sangat sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun