Mungkin kesalahan terbesar saya adalah menunda menuliskan curahan hati ini. Rencananya narasi ini hendak saya publikasikan pada 3 Mei 2018 tepat saat Hari Kebebasan Pers Sedunia. Penundaan yang cukup lama tidak lantas membuat tulisan ini basi, sebaliknya, saya justru tiba pada banyak penemuan dan berakhir dengan judul di atas. Jangan jadi jurnalis, kawan. Kamu pasti tidak akan kuat, biar aku saja.
Sudah tiga tahun saya menjadi jurnalis, mungkin boleh ditambah sejak masa magang kala kuliah sekitar 4 tahun. Begitu banyak pengalaman dan tuntutan yang mengubah pribadi saya. Namun justru tepat masuk tahun ketiga, keyakinan ini goyah. Saya jadi sering membaca ulang tulisan-tulisan saya soal panggilan hidup ini.
Menjadi jurnalis, salah satunya pernah saya tuliskan pada kompasiana dengan judul Sebuah Refleksi, Mengapa Saya Menjadi Jurnalis? Sebuah refleksi yang sangat polos dan sederhana, ditulis oleh perempuan dengan semangat muda berusia 23 tahun.
Saya baca kembali sebuah refleksi pada tahun lalu saya berusia 24 tahun. Judul tulisan ini adalah Bikin Berita Nggak Cukup Bermodal Idealisme, Yakin Masih Mau Jadi Jurnalis? Dalam tulisan itu saya menemukan sebuah realitas bahwa pada dasarnya media hanyalah alat menjadi jurnalis. Sebuah refleksi soal konvergensi media dan senjakala media cetak atau media konvensional. Ada sebuah pemahaman atas dinamika baru dan perubahan zaman yang membuat saya belajar mentoleransi segala prinsip-prinsip ideal yang saya kenal dan pegang sejak kuliah.
Perjalanan masih berlanjut hingga sekarang, dimana beberapa bulan lalu kerap kali saya menyendiri dan menoleh sedikit ke belakang tentang apa saja yang telah berubah dan apa saja yang saat ini mengganggu saya.
Ternyata benar kata beberapa senior saya pada saat saya masih kuliah bahwasanya menjadi jurnalis ekonomi adalah lahan yang basah. "Dijaga batinnya, Tita. Dijaga integritasnya. Ruang media ini sangat kecil, jangan sampai kamu dicap jelek."Â Ungkapan seorang senior saya itu selalu saya pegang sampai saat ini. Batin saya banyak bertarung sejak awal tahun ini menjadi jurnalis di sektor perumahan, lebih tepatnya properti.
Saya yang memosisikan diri seperti anak polos bau kencur baru menyadari betapa basahnya lahan isu ini. Seringkali saya marah mengapa saya dilemparkan ke dalam industri ini? Seringkali juga saya mengutuk teman-teman saya dan kantor saya. Seringkali saya juga mengutuk narasumber saya. Namun, lagi-lagi, semua hanya berdiam dalam nyaman dan sunyinya hati.
Namun saya terus berefleksi atas dinamika ketidakadilan yang bergema dalam batin saya. Menjadi pemarah bukanlah tipikal pribadi saya, kalau pribadi yang gagal move on, ya mungkin (biar jangan terlalu serius sebab cerita ini masih panjang, hihihi). Saya terus berpikir, membaca, berefleksi, mengapa ada orang-orang yang hidup hanya untuk mengeruk keuntungan materi?
Saya tersentak pada Januari 2018 lalu, ketika membaca Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengatakan upah layak jurnalis pemula untuk tahun 2018 harusnya mencapai Rp 7,96 juta. Menurut AJI upah ini diberikan untuk menciptakan profesi jurnalis yang bisa independen dan menciptakan karya jurnalistik yang baik. (Detik.com).
Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim mengatakan, besaran upah layak jurnalis pemula di Jakarta pada 2018 sebesar Rp 7.937.949. Jumlah ini meningkat dibanding upah layak 2016 sebesar Rp 7.540.000 dan 2015 sebesar Rp 6.510.40. Ada pun survei AJI ini dilakukan pada 29 media Indonesia dan 2 media asing yang terverifikasi sejak Desember 2017.
Angka yang dikeluarkan AJI Jakarta jujur saja bagi saya sangat bombastis. Tentu angka ini sangat menguntungkan jika dilihat sekilas saja, namun jika melihat detail kebutuhan yang dijadikan acuan ada beberapa poin yang tak saya sepakati. Namun tulisan ini tentunya tidak bertujuan mengkritik variabel kebutuhan jurnalis dari survei AJI Jakarta, sebab saya ingin mengatakan bahwa temuan AJI menjawab beberapa kemarahan saya.