Lantas bagaimana dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang-orang dalam anggota keluarga? Bukankah dalam masyarakat kita masih banyak permasalahan kekerasan seksual ayah kepada anak perempuannya?
Saya mencoba mengutip data dari Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2018 (CATAHU 2018) bahwa ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama 2017, yang terdiri dari 335.062 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama, serta 13.384 kasus yang ditangani oleh 237 lembaga mitra pengadalayanan, tersebar di 34 Provinsi.
Komnas Perempuan mengirimkan 751 lembar formulir kepada lembaga mitra pengadalayanan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian mencapai 32%, yaitu 237 formulir. Selain itu, setiap tahun, CATAHU selalu mencatat kekerasan terhadap perempuan dalam 3 ranah.
Pertama, pada ranah personal atau privat. Artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Kedua, ranah publik atau komunitas.Â
Jika pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, toko masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal.
Ketiga, pada ranah negara artinya pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian, namun tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut.
Berdasarkan data tersebut, Kang Maman menegaskan permasalahan ini muncul karena kecenderungan pada budaya paternalistik adalah ketika seorang ayah menjadikan anggota keluarga sebagai properti atau barang kepemilikan. Kondisi ini kerap menimbulkan rentannya anak perempuan sebagai korban pelecehan seksual dari sesama anggota keluarga seperti ayah, atau kakak laki-laki.Â
Kang Maman menceritakan, pengalamannya bertemu seorang korban pelecehan seksual pada salah satu RPTRA. Anak perempuan itu berani menyerukan kejahatan ayah dan kakaknya yang menidurinya. Awalnya adalah si ayah yang meniduri anak tersebut, lalu perilaku itu dicontoh oleh si kakak dalam memperlakukan adiknya. Dalam konteks permasalahan seperti inilah perempuan harus memiliki keberanian untuk bersuara baik secara lisan maupun tulisan.
Berbagai pengalaman, suka dan duka diceritakan Kang Maman dan Kak Monika soal relasi love-hate seorang ayah dengan anak, khususnya anak perempuan. Setiap keluarga memiliki cerita yang berbeda, ada yang karena orangtuanya bercerai, dan lain sebagainya.Â
Setiap luka-luka tersebut harus dikomunikasikan sebagai proses penyembuhan. Kang Maman dan Kak Monika sepaham bahwa menulis, seperti buku yang saya hasilkan dengan Inas dan Imelda adalah salah satu proses healing tersebut, karena tak semua yang kami ceritakan adalah apresiasi dan rasa cinta kepada ayah, tetapi juga rasa sedih, kecewa, marah, dan pemberontakan.
Uniknya, pada Minggu (24/6/2018) ketika saya menuliskan ini, saya terbersit untuk menelpon ayah saya, menanyakan kabarnya. Untuk sebuah alasan penting, akhirnya saya bisa menelepon dia menceritakan permasalahan saya dan perasaan saya selama ini.