Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sudah Tanya Kabar Bapakmu Hari Ini?

25 Juni 2018   10:10 Diperbarui: 26 Juni 2018   15:53 2849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul dengan tanda tanya ini memang ingin mengajak kita berdialog sebelum tenggelam lebih dalam pada buah pikiran saya. Ada seberkas cahaya yang saya dapat pada Sabtu lalu (23/6/2018) di Library Cafe John Dijkstra, Kota Lama, Semarang. Cahaya tentang Bapak dan Anaknya.

Hari itu adalah hari penting untuk saya, Inasshabihah, dan Imelda yang hendak meluncurkan buku dan membedahnya. Buku kami yang berjudul "Tiga Bapak dari Tiga Dara" yang diterbitkan oleh Ellunar Publisher pada Mei 2018 lalu. 

Sampul Buku
Sampul Buku
Kali ini, buku kami dibedah secara khusus oleh Kang Maman Suherman, penulis buku "Re: peREmpuan", "Bhinneka Tunggal Cinta", dan "Bapakku Indonesia". Nantinya, Kang Maman akan ditemani oleh seorang praktisi psikologi, Kak Monika W. Satyajati yang berkarya di Center for Trauma Recovery UNIKA Soegijapranata, Semarang.

Saya memang sudah mengharapkan dan membayangkan bahwa diskusi ini sungguh sangat menarik. Saya coba ingat-ingat lagi, apa ya alasan saya 3 tahun lalu menggelontorkan ide kepada Inas dan Imelda untuk membuat tulisan dan buku soal bapak?

Apakah semata-mata karena kami merasa ada kedekatan emosional dengan ayah kami? Apakah semata-mata karena kami ingin melepaskan trauma karena kami yakin bahwa menulis adalah proses healing yang terbaik?

Saya punya keyakinan, sejarah keluarga adalah sejarah bangsa. Keyakinan ini mendorong saya untuk memulai narasi kecil tentang keluarga, mengambil jarak, merenungkan masa lalu, berdamai dengan luka-luka orangtua saya agar itu tidak menjadi warisan pedih untuk saya dan keturunan selanjutnya. 

Dalam proses menulis buku ini, beberapa kali saya meneteskan air mata karena harus ada kejujuran dan keberanian yang saya pertaruhkan. Keberanian bukan hanya untuk mengakui orang lain yang salah, tetapi juga saya yang salah. Keberanian untuk mengakui saya terluka dan juga melukai orang lain.

Dalam diskusi buku kemarin, Kak Monika mengatakan, dalam kehidupan keluarga dengan kultur paternalistik seperti Indonesia, ayah memiliki pengaruh dalam pembentukan karakter sosial seorang anak. Sebaliknya, karakter pribadi dan ruang-ruang privat anak biasanya dipengaruhi oleh ibu. Bukan berarti figur Ibu dijebak dalam ruang-ruang domestik dan privat semata, hal ini menandakan bahwa kultur paternalistik terlanjur memberikan peran ayah sebagai pelindung keluarga dan anak.

Menurut Kak Monika, peran seorang bapak seharusnya sudah mulai dilakukan sejak si bayi masih dalam kandungan, bukan saat menunggu si bayi lahir. Alasannya, pola pengasuhan ayah sesuai peran adalah kunci menanamkan nilai-nilai kepada si anak dari mulai nilai menjaga dan karakter anak. 

Kehadiran secara fisik dan psikis memang sangat dibutuhkan oleh setiap anak. Setelah anak menjadi remaja, peran ayah tetap sangat dibutuhkan, karena awalnya menjadi penjaga dia pun mulai beralih peran. Anak remaja cenderung tidak ingin terlalu dilindungi oleh ayahnya. Dalam posisi itulah nilai-nilai tentang peran ayah tidak dilakukan secara langsung tetapi telah tertanam sebagai bentuk kepercayaan.

"Ketika Bapak tidak dekat secara emosional dengan anak perempuannya itu ada kendala. Umumnya saya bertemu orang di rehabilitasi yang punya masalah, ternyata mereka punya persepsi yang buruk soal ayah mereka," kata Kak Monika.

Ironisnya, dalam dunia psikologi sendiri, kajian tentang pengasuhan ibu jauh lebih banyak daripada kajian tentang pengasuhan ayah. Ibu selalu laku keras sebagai objek penelitian ketimbang ayah. Sementara persepsi buruk pada keluarga umumnya didapatkan pada figur ayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun