Saya menegaskan kepada adik kelas saya tersebut, apakah dengan menjadi jurnalis online lantas para jurnalis itu mengabaikan kode etik jurnalistik dan kaidah penulisan? Tentu saja tidak. Oleh sebab itu ada editor yang bertugas mengedit dan meralat. Jurnalis yang memproduksi berita per detik sekalipun harus bertarung meningkatkan kualitasnya kalau tidak ingin ditinggal pembaca. Jadi jangan pernah meng-understimate seseorang atau sesuatu sebelum kamu terlibat di dalamnya.
"Dunia kerja tidak sama dengan dunia ideal jurnalistik yang lo baca di buku, atau kritik LSM yang ada di seminar-seminar. Media juga adalah kapitalisme. That's why gue juga sedang berusaha merontokkan pemikiran bahwa kecepatan tidak akan menghasilkan karya jurnalistik yang bagus. Kenapa? Karena tuntutan zaman begitu. Kalau gue masih pengen anak-anak di masa depan baca karya gue, tahu karya gue, I've to do this,"
Tantangannya, dengan kecepatan yang tinggi anda harus bisa menghasilkan karya jurnalistik terbaik. Statement ini harusnya sudah mulai dicecoki ke pikiran anak kuliahan, apalagi anak jurnalistik supaya mereka bisa melakukan refleksi lebih mendalam, mengukur kapasitas diri dan panggilan hidup. Apa benar saya ingin jadi jurnalis? Yap, karena ada beberapa orang yang menjadikan profesi jurnalis sebagai jembatan untuk profesi-profesi lain, misalnya dosen, PR, atau bahkan Komisaris BUMN. Salah? Tidak. Kalau kata Bapak saya, setiap orang berhak melakukan pilihan bertahan hidup sepicik apapun itu asalkan tidak menjadi serigala bagi manusia lain.
Saya berharap, tulisan ini bisa memberikan pencerahan kepada adik kelas saya, adik-adik saya lainnya yang super banyak, kepada anda yang kebetulan singgah dan membaca ini. Bagus kalau anda bisa memberikan bantuan saran atau kritik.Â
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, satu hal yang saya pikirkan lagi. Jurnalis di masa depan juga harus dikasih pembekalan terkait hak-haknya. Dengan tuntutan kerja yang tinggi layaknya mesin, masih banyak yang gajinya kecil, atau berstatus sebagai honorer sampai dua atau tiga tahun. Well, menurut saya ini salah satu masalah yang serius. Agak jengah ketika membaca kritik orang terhadap konten media massa, tetapi mereka tidak pernah jadi jurnalis. Jengah juga dengan tuntutan tinggi, siap dilakukan, tetapi tidak mendapatkan reward yang layak dari perusahaan. Seorang lu dieksploitasi, diserap sebanyak-banyaknya energi lu seperti mesin. Itu adalah kritik saya terhadap kapitalisme.
Well, bukankah kapitalisme memang tidak bersahabat dengan proletar? Bapak saya sudah bilang sejak lama, 'This is the real capitalism. So enjoy it," Hahaha!
Natal 2016 kemarin yang diawali dengan berlibur ke Bali memberikan banyak renungan. Yakin Masih Mau Jurnalis? Itu buat saya, atau mungkin juga buat kamu yang masih ingin jadi jurnalis. So, enjoy it!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H