Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bikin Berita Nggak Cukup Bermodal Idealisme, Yakin Masih Mau Jadi Jurnalis?

4 Januari 2017   11:11 Diperbarui: 5 Januari 2017   15:28 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: regional.kompas.com

Isu itu spontan membawa banyak komentar dari teman-teman, intinya, mengapa kami anak cetak harus bekerja ekstra keras seperti anak online dan TV? Saya juga merasa demikian, apalagi, saya itu tidak punya kemampuan foto dan video yang bagus. Kemampuan saya pas-pasan banget, jangan-jangan Tuhan juga cuma hanya memberikan saya talenta menulis, sisanya pas-pasan. Hahahaha.

Saya pun berdiskusi dengan kakak perempuan ini. Dengan jabatannya dia sebagai seorang editor, dia memberikan perspektif berbeda.

"Ya, gimana ya, susah juga kalau lo cuma mau bertahan sebagai jurnalis media cetak. Lo aja yang media cetak susah banget adaptasi, apa kabar gue yang kantor Berita? Mana kita BUMN. Tantangannya mirip-mirip juga, makanya sekarang gue juga diminta menugaskan reporter gue untuk mulai belajar bukan hanya menulis berita tetapi mengambil gambar dan video," jelasnya.

Dia menjelaskan, zaman sekarang media cetak ini semakin sulit meraih pembaca muda. Saya pun teringat cerita salah seorang kawan saya yang sebelumnya sudah bekerja di media nomor satu K*MPAS. Menurut isu internal kantornya, dia pun akan ditugaskan juga untuk menulis berita online, mengambil gambar, membuat video. Persis seperti kata si kakak, tujuan video itu ternyata untuk di attachment ke akun-akun social media milik media massa. Kebayang gak, kalau kamu mau mengintegrasikan karya kamu, temuan kamu sebagai penjala informasi ke Instagram misalnya. Mau tak mau harus berbentuk gambar atau video dong. Mana mungkin tulisan kamu di screenshoot terus dimasukkan? Tidak muat!

Saya juga menyadari hal itu, coba, siapa di antara anak-anak angkatan saya membaca koran ekonomi, atau membaca tulisan saya di koran tersebut? Pasti bisa dihitung dengan jari. Atau hanya sesama wartawan saja. Sementara yang umumnya mengenal saya adalah generasi baby boomers, para pengusaha yang memang harus membaca berita ekonomi. Tetapi dengan adanya media online khusus ekonomi, nyatanya, saya pernah bertemu seseorang yang bilang, "Saya sudah gak baca koran kamu karena ada media online baru lebih bagus, ada grafisnya, datanya lengkap. Lebih ringkas." Atau ada pula yang bilang, "Saya sudah tidak baca koran kamu, soalnya koran kamu mahal. Saya lebih memilih baca koran sebelah [anak usaha media terbesar ini loh] soalnya saya langganan satu koran dapat dua plus koran ekonominya."

Well, kita berbicara soal bisnis saudara-saudariku, bukan sekadar soal kualitas pemberitaan. Selain itu, saya harus mengakui bahwa sekarang pembaca muda umumnya membaca berita dari akun facebook, akun twitter, akun akun Path, akun snapchat, dan akun-akun lainnya. Saya juga jadi merenung-renung kembali siapa yang benar-benar masuk ke dalam website dan mencari tahu seluk-beluk website media tersebut? Kalau tidak berkepentingan belum tentu.

Dia bercerita pertarungan media online zaman sekarang seringkali bukan hanya menyalahi aturan kode etik jurnalistik tetapi juga menyalahi aturan bisnis. Pernahkah kalian membayangkan sebagai media berstatus pelat merah, semua sumber berita bisa diambil dari lapak Kantor Berita ANTARA. Lucunya, sangat banyak media online yang mengambil berita online dari kantor berita ANTARA. Itu juga hanya copy paste saja. 

"Udah ngambil gitu, mereka [media online] juga tidak membayar. Terus pemasukkan kantor gue ya segitu-segitu aja," ungkapnya.

Sedih juga mendengarnya. Kami berdua pun melirik teman-teman blogger yang ikut berlibur juga. Mungkin nasib mereka jauh lebih enak. Mereka bukan jurnalis, tidak terikat dengan kode etik, tidak terikat dengan kaidah penulisah yang baku, tidak terikat dengan kewajiban terhadap publik. Mereka menjadi bos atas diri sendiri. Layaknya penyedia jasa membersihkan AC. 

Alhasil, si kakak perempuan banyak membuat saya merenung lagi. Kalau memang saya mau jadi jurnalis, ya inilah tantangannya. Media online bukan musuh tetapi sahabat, harus disesuaikan. Itu tugas pemimpin media bagaimana mengutamakan kualitas pemberitaan, mengatur pola kerja, tidak kalah dan butak teknologi, mengukur ketersediaan SDM, dan tetap memanusiakan manusia. 

***
Perkenalan saya dengan si kakak perempuan membawa saya pulang ke Jakarta dengan banyak permenungan? Yakin masih mau jadi jurnalis? Saya jadi kesal sendiri ketika mendengarkan curhatan adik saya. Anak ini masih polos, media itu bukan sekadar idealisme kebenaran untuk publik. Media adalah industri. This is a business. So, kalau kamu diperlakukan seperti mesin, itu resiko kamu masuk ke bursa tenaga kerja. Itulah yang juga ingin saya gugat, saya belum banyak membaca perkembangan Ilmu Jurnalistik, tetapi harusnya ada teori baru, atau mekanisme baru untuk dicecoki ke otak adik-adik kelas saya, bahwa jurnalisme itu soal kualitas dan soal bisnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun