Liburan panjang sudah berakhir. Liburan karena bergandengannya dua hari besar keagamaan, Kristen dan Islam.
Sewaktu Hari Raya Isra Miraj, saya nyaris membuat status facebook yang bunyinya begini; Sehari sesudah Nabi Isa naik ke surga, Nabi Muhammad dapat wahyu menembus waktu untuk berkelana berjumpa dengan Sang Wahyu, Allah sendiri dan nabi-nabi. Ini relasi yang menarik bagi dua agama Samawi yang merayakan Hari Besar Keagamaannya di awal Mei.
Status itu urung saya tuliskan karena pada hari Isra Miraj, salah satu anak manusia dipanggil ke surga, dia adalah kawan saya bernama Gama.
Namanya bagus menurut saya, Gama, artinya sinar radiasi. Kami berkenalan saat saya masuk bersama dia satu  angkatan di pelatihan Kampus Orang Muda Jakarta (KOMJak). Sejenak mengenang Gama adalah sisi alay dan penuh guyon, yang mana Gama sering mengirimkan gambar-gambar lucu di grup kami sehingga membuat handphone hang.
Saya memutuskan tidak menyelesaikan pelatihan KOMJak karena kondisi keterbatasan waktu yang saya miliki. Gama jauh lebih tangguh dan beruntung karena dia berhasil menyelesaikan proses bersama kawan-kawan saya yang lain.
Kabar meninggalnya Gama pada Hari Raya Isra Miraj sangat mengagetkan saya. Saya pun bergegas pergi ke rumah Gama untuk memberikan penghormatan terakhir.Â
Hari Raya Isra Miraj tahun ini jatuh pada hari Jumat. Sementara Hari Raya Kenaikan Isa Al Masih jatuh pada hari Kamis. Dalam perjalanan menuju rumah Gama, saya hanya membatin, berarti Gama adalah anak yang baik. Hari Jumat itu hari keramat, dan hanya orang baik yang dipanggil hari Jumat. Apalagi ini satu hari selesai Kenaikan Isa Al-Masih, saya percaya sebagai sesama orang Katolik, Gama pasti sudah di surga, naik bersama Sang Penyelamat.
Gama dimakamkan tepat pada Hari Jumat sore itu. Saya baru teringat lagi cerita Gama saat kami duduk berdua di depan Kanisius, dimana Gama menceritakan keluarganya kepada saya. Tentang dirinya yang adalah anak dari bapak dan ibu beda agama, ayahnya seorang muslim, ibunya seorang katolik. Gama juga bercerita tentang dua kakak perempuannya. Dia berkata, nama mereka bertiga itu unik, Alfa, Beta, dan Gama. Saya agak terinspirasi juga dengan keluarga Gama saat dia menceritakan itu.
Dan ya, benar saja, mungkin karena ayah Gama seorang muslim, jenazah Gama tidak bisa terlalu lama disemayamkan, tidak bisa lewat satu hari.Â
Entah apa yang ada dibenak keluarga Gama, saya simpati dengan Gama dan keluarganya, tetapi bagaimanapun saya tidak bisa menyentuh kesakitan dan luka kesedihan yang dialami keluarga Gama karena kehilangan putra bungsunya.
Saya hanya membatin sepanjang perjalanan pulang dari rumah Gama, kejutan pada Hari Jumat Pertama bulan Mei (bulan Maria) ini luar biasa. Saya ditunjukkan oleh Tuhan, bahwa duka kapan saja bisa datang. Duka dan suka adalah dualisme yang mempersatukan manusia.
Mungkin terkesan agak klenik, tetapi kepergian Gama membawa sebuah tanda yang indah, tentang kerukunan antar umat beragama. Tentang toleransi. Tentang cinta kasih. Saya belajar tentang tanda dari Tuhan bahwa Dia bisa memberi dukacita yang sama dengan sukacita bagi umat beragama.Â
Gama pergi bersamaan dengan dua hari raya keagamaan kedua orangtuanya, yang mana menurut saya dua perayaan tersebut sangat besar maknanya, tentang kenaikan Putra Allah dan perjalanan menembus waktu Nabi Muhammad SAW. Dalam doa ayah ibunya yang berbeda, Gama berangkat menembus alam nirwana bersama isa Al-Masih dan Muhammad.
Ah, saya jadi teringat kata-kata ayah saya, sehari sebelum kepergian Gama, tepat pada hari Kenaikan Isa Al Masih tentang cerita anak-anak yang lahir berbeda agama. Tentang bagaimana alam raya mengajarkan mereka tentang toleransi. Cerita ayah juga spontan membuat saya teringat kakak-kakak saya yang juga lahir dari keluarga berbeda agama.
Kata orang, sebaiknya menikahkah dengan orang yang sama, tetapi tidak semua orang bernasib sama. Setidaknya saya jadi diingatkan lagi, dalam perjalanan ke depan, kapanpun dan siapapun kita bisa jatuh hati, dan kepada siapa berakhir, jadikanlah itu sebagai momentum untuk mengubah dunia bersama.
Saya tidak tahu mengapa saya perlu menuliskan ini, tetapi saya berharap siapapun yang membacanya bisa membuka pikiran secara toleran terhadap perbedaan, siapapun yang membacanya bisa dikuatkan, dan bahwa dalam setiap perbedaan yang disatukan sesungguhnya itu tidak pernah lepas dari rancangan tangan Allah. Saya percaya, cinta kasih itu mengubah segalanya.Â
Selamat Jalan Gama yang baik. Waktu dan rencangan Allah sungguh luar biasa dalam hidupmu, dan hal kecil seperti ini sangat terkenang bagiku, baik-baiklah di surga. Salam buat Yesus dan Muhammad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H