Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

The One?

26 April 2016   01:08 Diperbarui: 26 April 2016   02:03 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin beberapa bulan yang lalu, salah satu sahabat saya menelepon saya malam-malam. Dia menelpon saya setelah dia bertanya lewat LINE, apakah saya sudah mau tidur. Lantas karena saya mengatakan sebentar lagi mau tidur, dia pun memutuskan tetap menelepon saya.

Handphone saya bergetar. Dia menelepon. Saya mengangkatnya bersamaan dengan saya menaikkan kaki saya ke tempat tidur siap jatuh terlelap.

"Tit..." suaranya sesunggukan. Saya kaget.

"Heh, lo kenapa?," tanya saya panik.

"Tit...gue mau nanya sama lo. Bagaimana caranya kita mengetahui seseorang itu the one-nya kita?," tanyanya sambil menangis. Mendengar suaranya yang terisak-isak saya makin panik. Sayangnya saya lebih tersentak dengan pertanyaan dia soal 'The One'.

"Wah... Gue juga gatau bray. Gue aja belum pernah pacaran, bagaimana gue bisa kasih ide ke lo soal The-One?," jawab saya polos. Tetapi itu benar dan demikian adanya.

"Tit...gue mulai khawatir. Gue ngerasa dia itu the one gue. Tapi dia ngerasa gitu gak ya? Dan, sampai hari ini lo tahu kita masih backstreet aja gini. Gue bingung ini mau dibawa kemana ya Tit.." tangisnya pun pecah. Saya hanya memejamkan mata mencoba menghela nafas.

Saya tidak menjawab soal ketidakjujuran hubungan yang sahabat saya jalani. Saya tidak bisa menghakimi. Dia khawatir, dia ketakutan. Dia, ya, sayangnya harus saya akui, tidak berani menghadapi potensi itu.

Saya ingat jelas hari itu saya tidak bisa memberikan solusi. Alhasil saya bertanya kepada dia, mengapa tiba-tiba tiada angin tiada hujan dia khawatir? Apakah dia sedang berselisih paham dengan kekasihnya? Kata dia tidak, tetapi belakangan ini sejak akhir 2015 dia mulai memikirkan masa depan.

AH YA. Masa Depan. Huft.

Saya pun mencoba mengulik lebih dalam faktor ketakutan yang tiba-tiba menghantam kawan saya. Ya, memang ketakutan ini bukan ketakutan yang baru, ini adalah ketakutan sekian lama yang hanya saja mengendap dalam tawanya. Hmm, ketakutan dia mencuat karena salah seora teman di kantornya putus setelah bertahun-tahun. Sahabat saya parno saja.

"Ini lo cuma parno aja nyet. Apaan deh, yang putus siapa, lo yang takut. Makanya, kalau ada waktu coba lo beranikan diri tanya ke dia, hubungan kalian mau begini terus berapa lama? Kita bukan anak kecil lagi (Njir, kalimat saya barusan sok dewasa) dan gue sebenarnya kasihan sama kondisi lo kalau begini terus..."

Alhasil saya mencoba menenangkan dia, Saya coba menasehati dia, meminta dia berdoa, jangan mudah terpengaruh pikiran negatif. Menurut saya, ketakutan akan sangat rentan menjangkit seseorang dan bahkan berhasil mengubah masa depan seseorang. Sesungguhnya saya percaya kehidupan seseorang dikendalikan bukan hanya oleh hatinya tetapi juga oleh pikirannya.

Saya mencoba memberikan perspektif soal The-One, soal pasangan masa depan, sekali seumur hidup (ya ini saya berbicara dan berlaku bagi mereka yang memang ingin menikah sesuai undang-undang, kebutuhan menambah populasi untuk agama dan negara). Pernikahan The-One ini harus dilandasi oleh cinta.

Aduh. Cinta. Apa pula Cinta?

Saya mencoba membilas tangis kawan manis saya dengan tertawa-tiwi. Sesekali dia sempat nangis lagi. Ya, maklum kalau perempuan daya berasumsi-nya cukup tinggi. Keasyikkan mengobrol alhasil saya ketiduran, Kawan saya itu panik ternyata, Dia menelpon saya berkali-kali dan saya tidak menjawab. Dia pun meninggalkan pesan di LINE. dan ya saya hanya terkaget saat bangun pagi hari membaca pesannya. Oh MY BAD! Selalu ketiduran kalau teleponan lewat dari jam 1. Saya memang begitu, sangat sulit berkata defense atau 'no' kepada orang. Jadi sekalipun saya sudah mengantuk saya akan meladeni hingga dia yang ujung telepon sana lelah, atau saya yang kelelahan. Hahahaha.

"Wanjir. Sorry braaaayyy! Gue tewas semalem. Lo baik-baik hari ini ya," kira kira begitu balasan saya.

itu beberapa bulan yang lalu. Singkat kata, hubungan sahabat saya kandas.

Dia menelepon saya menangis. Saya juga menangis sedikit. Sedih.

Memang sebelum hubungan itu kandas mantannya sudah mengatakan kepada saya bahwa dia akan memutuskan sahabat saya. Mantannya juga meminta saya menjaga sahabat saya. Ah! Saya tak bisa mengatakan kepada sahabat saya, biar lelaki itu sendiri yang sampaikan.

Saya juga merasa tidak bisa mengintervensi keputusan si lelaki, kami sama-sama sudah dewasa. Hati saya sedih, sangat sedih tetapi saya coba bawa dengan senyum saja. Tidak bisa saya tampik kesalahan juga ada dalam sahabat saya. Ingat, sahabat yang baik bukan selalu mementingkan sahabatnya, tetapi mengkritik dan mengembangkan sahabatnya. Mungkin ini alarm agar sahabat saya berkembang. Harus, mau tidak mau.

Jujur yang paling menyakitkan bagi saya adalah ketika saya menanyakan alasan putus kepada si lelaki. Jawabannya sungguh menyakitkan, membuat saya menundukkan kepala, menahan tangis. Kira-kira begini; “Gue tidak merasa, dia the-one nya gue Tit. Gue ga punya view masa depan bersama dia seperti apa. View sebagai future wife juga belum ada Tit…”

PLAK. Sakit banget coy. Padahal saya dalam situasi itu cuma sahabatnya pacar dia. Sebagai perempuan itu sangat sakit. Sangat. Saya menyesal harus mendengarnya bahkan sebelum sahabat saya mendengarnya. Karena gamang, saya pun menelepon sahabat saya yang lain yang tinggal di luar kota, mencoba berdiskusi. Ah, maksudnya curhat, saya tak kuasa menanggung beban ini sendirian. Kami sama-sama menangis sedikit karena empati (dan simpati) kepada sahabat kami.

Selama satu minggu ‘The One’ itu juga sempat mengganggu batin saya. Tuhan, bagaimana saya tahu seseorang itu The-One saya? Apakah The-One itu benar-benar ada. Jika, saya merasa dia adalah The-One saya tetapi dia tak merasakan yang sama, dimana letak kesalahannya Tuhan?

Ini adalah sebuah rasa yang berbentuk tanda tanya. Penasaran. Khawatir. Takut. Ini menjadi sesuatu yang sifatnya privat, dan subjektif. Perasaan. Saya lantas mencoba mengambil garis batas untuk melihat secara jernih soal the one dari kacamata saya.

Kata orang jodoh alias The One itu ada tandanya. Apa tandanya? Bagaimana kalau saya tak bisa membaca tanda itu? The One itu mau lari kemana balik lagi terus. Tahu darimana? Sialan, saya hanya berputar-putar pada tanda tanya yang aneh ini. Bagaimana bisa menyamakan persepsi bahwa dia the-one dan dia juga merasakan hal yang sama? Kalau tidak sama tidak mungkin orang akhirnya menikah dong?

Saya lalu teringat pertanyaan saya kepada Ibu saya. “Mengapa Mama mau menikahi Papa? Apakah tidak ada lelaki lain di dunia ini?” Saya memang sejak kecil memiliki kejujuran dalam bertutur kata dan menulis, kadang tata bahasa saya juga terlampau ceplas ceplos meski tendensinya sebenarnya hanya berlandaskan rasa penasaran.

“Mungkin karena satu-satunya lelaki yang sungguh saya cintai hanya Bapakmu.”

PLAK. Itu jawaban super drama yang didengarkan oleh saya saat SMA. Saya tak pernah melupakan itu, tetapi sampai saat saya menuliskan ini, saya belum pernah sekalipun mencoba menanyakan hal serupa kepada ayah saya sekadar menjadi pembanding. Siapa tahu dari jawaban ayah saya, bisa terlihat figure jelas kriteria ‘The One’ ini.

Saya berasumsi, lelaki memiliki kecenderungannya sendiri dalam mengolah The One. Entah darimana kaum adam melihat The-One (termasuk ayah saya). Saya tidak bisa memakai kacamata mereka, saya memakai kacamata sebagai seorang perempuan.

Di sisi itulah saya mulai mencoba mengikhlaskan saja. The One itu seperti misteri, yang diharap-harap tak kunjung datang, tak diharap-harap dia bertamu. Entah, apakah prinsip saya bahwa pikiran dan hati bisa membentuk kehidupan berlaku juga untuk menemukan The One. Karena itu tidak terjadi dalam kasus sahabat saya, dan itu merobohkan sedikit kepercayaan yang sudah saya bangun bertahun-tahun soal the power of mind.

Hati saya memang jadi agak ikut sedikit galau dengan suasana hati sahabat saya, Maklum persahabatan kami sudah terlampau lama, jauh lebih lama dari hubungan dia dengan cowoknya (sebagai pacar aja sih, tapi sebenarnya keduanya sudah kenal dari lama).

The One ini mungkin juga mainan sandiwara semesta untuk para pelakon didalamnya, yakni manusia. Saya tidak tahu, tetapi saya kurang mengapresiasi lagi puisi-puisi galau yang bertebaran di social media. Kutipan yang tidak semaunya baik apalagi benar. Yang menebar kemarahan dan kekecewaan ketimbang perdamaian dan ketenangan. Atau menebar kesedihan dan sisi inferior diri seseorang.

Saya hanya mengingatkan sahabat saya, perempuan adalah pemegang kendali sebuah hubungan. Saya sudah berkali-kali membuktikannya, jadi dia harus percaya. Yang menentukan hubungan lanjut atau tidak bukan lelaki, tetapi perempuan. Ini bukan soal siapa yang putusin duluan, itu zaman pacaran anak SMP yang lomba siapa cepat putus duluan. Perempuan menentukan apakah dia mau maju atau tidak dalam sebuah hubungan. Hal itu tercermin dari kegigihan perempuan kepada hal-hal kecil, termasuk memantaskan dirinya. 

Perempuan juga harus stay positif, jadi disarankan jangan keseringan melihat kutipan galau seolah yang nasib percintaannya jelek hanya dia sendiri. Banyak orang di luar sana nasibnya lebih jelek, belajarlah berempati ya kan. Saya masih percaya pikiran menentukan masa depan, pikiran mencerminkan dirimu. Andaikan awal tahun sahabat saya tidak banyak parno memikirkan hal ini, mungkin bubar jalan ini tak pernah terjadi. Hiks!

Mengutip kata senior saya di Balai Kota yang sudah berkeluarga, “kalau kamu sudah menikah, kamu sendiri yang akan paham betapa manjanya lelaki.” Mungkin ini alasan perempuan harus kuat.

Saat menuliskan curhatan sebagai ababil super berkepala dua saya mendengarkan OST AADC #2 yang akan dirilis pekan ini. Rangga dan Cinta bertemu kembali, akankah mereka menemukan The-One nya? Kutipannya menarik;

ratusan purnama berlalu

tapi cinta tak pernah berlalu

walau kau usir aku di hidupmu

tapi cintaku tetap diam

Hari ini Chicha, si sastrawati kelahiran Jumat Pon di bulan September mengatakan kepada saya bahwa putus cinta itu biasa saja. Putus itu adalah jawaban atas doa Bapa Kami; bebaskanlah kami dari yang jahat.

“Kalau putus berarti ada hal yang jahat menggeluti mereka berdua dan itu harus dilepas dulu,” kata Chicha.

Baiklah. Sebentar lagi nonton AADC sama Chicha saja.

Semoga jika semesta mengizinkan, saya dan tiga sahabat saya yang tersebar dimana-mana tinggalnya bisa bersatu dan berlibur bersama lagi seperti setahun lalu kami mengeliling Situ Patenggang, di Bandung. Mencoba menikmati pemandangan alam yang terkemas dalam mitos Dewi Rengganis dan Ki Santang. Keduanya nasibnya sama seperti Rangga dan Cinta, yang berpisah sekian lama akhirnya bersatu kembali.

Hikmah yang bisa diambil adalah; The One itu ditemukan setelah melalui proses yang berdarah-darah. Bisa dengan waktu yang lama, atau dalam waktu singkat tetapi dengan perjuangan luar biasa. Itulah, The One.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun