"Ini lo cuma parno aja nyet. Apaan deh, yang putus siapa, lo yang takut. Makanya, kalau ada waktu coba lo beranikan diri tanya ke dia, hubungan kalian mau begini terus berapa lama? Kita bukan anak kecil lagi (Njir, kalimat saya barusan sok dewasa) dan gue sebenarnya kasihan sama kondisi lo kalau begini terus..."
Alhasil saya mencoba menenangkan dia, Saya coba menasehati dia, meminta dia berdoa, jangan mudah terpengaruh pikiran negatif. Menurut saya, ketakutan akan sangat rentan menjangkit seseorang dan bahkan berhasil mengubah masa depan seseorang. Sesungguhnya saya percaya kehidupan seseorang dikendalikan bukan hanya oleh hatinya tetapi juga oleh pikirannya.
Saya mencoba memberikan perspektif soal The-One, soal pasangan masa depan, sekali seumur hidup (ya ini saya berbicara dan berlaku bagi mereka yang memang ingin menikah sesuai undang-undang, kebutuhan menambah populasi untuk agama dan negara). Pernikahan The-One ini harus dilandasi oleh cinta.
Aduh. Cinta. Apa pula Cinta?
Saya mencoba membilas tangis kawan manis saya dengan tertawa-tiwi. Sesekali dia sempat nangis lagi. Ya, maklum kalau perempuan daya berasumsi-nya cukup tinggi. Keasyikkan mengobrol alhasil saya ketiduran, Kawan saya itu panik ternyata, Dia menelpon saya berkali-kali dan saya tidak menjawab. Dia pun meninggalkan pesan di LINE. dan ya saya hanya terkaget saat bangun pagi hari membaca pesannya. Oh MY BAD! Selalu ketiduran kalau teleponan lewat dari jam 1. Saya memang begitu, sangat sulit berkata defense atau 'no' kepada orang. Jadi sekalipun saya sudah mengantuk saya akan meladeni hingga dia yang ujung telepon sana lelah, atau saya yang kelelahan. Hahahaha.
"Wanjir. Sorry braaaayyy! Gue tewas semalem. Lo baik-baik hari ini ya," kira kira begitu balasan saya.
itu beberapa bulan yang lalu. Singkat kata, hubungan sahabat saya kandas.
Dia menelepon saya menangis. Saya juga menangis sedikit. Sedih.
Memang sebelum hubungan itu kandas mantannya sudah mengatakan kepada saya bahwa dia akan memutuskan sahabat saya. Mantannya juga meminta saya menjaga sahabat saya. Ah! Saya tak bisa mengatakan kepada sahabat saya, biar lelaki itu sendiri yang sampaikan.
Saya juga merasa tidak bisa mengintervensi keputusan si lelaki, kami sama-sama sudah dewasa. Hati saya sedih, sangat sedih tetapi saya coba bawa dengan senyum saja. Tidak bisa saya tampik kesalahan juga ada dalam sahabat saya. Ingat, sahabat yang baik bukan selalu mementingkan sahabatnya, tetapi mengkritik dan mengembangkan sahabatnya. Mungkin ini alarm agar sahabat saya berkembang. Harus, mau tidak mau.
Jujur yang paling menyakitkan bagi saya adalah ketika saya menanyakan alasan putus kepada si lelaki. Jawabannya sungguh menyakitkan, membuat saya menundukkan kepala, menahan tangis. Kira-kira begini; “Gue tidak merasa, dia the-one nya gue Tit. Gue ga punya view masa depan bersama dia seperti apa. View sebagai future wife juga belum ada Tit…”