Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Politik

14 Januari 2016, Tentang Hidup yang Sejatinya Bukan Milik Kita

15 Januari 2016   00:42 Diperbarui: 15 Januari 2016   08:43 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang bocah turun dari mobil antar jemputnya, dia berlari ke arah ibunya dan menangis tersedu-sedu.

"Mama bom-nya sudah sampai mana?" tanyanya.

Si Ibu keheranan mendengar pertanyaan anaknya yang ketakutan sambil bercucuran air mata. Bocah itu ternyata menguping pembicaraan supir jemputan dengan orangtua murid di sekolah tentang pengeboman di Sarinah yang juga menyebar ke tempat lainnya. Ujung-ujungnya si bocah bertanya kepada ibunya, "Ma, di Flores ada bom tidak?"

Si Ibu pun menjawab, " Tidak nak," mendengar itu makin pecahlah tangis si bocah.

Bocah itu pun menggugat ibunya, "Mengapa kita tidak tinggal di Flores saja? Mengapa harus tinggal disini?"

 

Untuk serangkaian kisah, mungkin kisah redaktur saya dan anaknya inilah yang paling menyentuh hati saya. Sederhana nampaknya, tentang ketakutan seorang bocah terhadap aksi kekerasan, bom, dan kematian. Bocah ini mengingatkan saya pada tahun-tahun lampau saat saya kecil, saya sudah terbiasa hidup di bawah teror Ibu Kota.

Teror yang paling menakutkan bagi saya saat SD adalah ketika pengeboman di banyak gereja pada malam Natal. Kejadian bom yang paling menakutkan juga adalah bom Bali. Sekalipun saya tidak berada di Bali, tetapi pemberitaan di media sungguh mempengaruhi saya yang saat itu masih sangat kecil.

Saya pun pernah seperti bocah ini, saya ingin pindah dari Ibu Kota, saya ingin hidup tenang, aman, dan damai tanpa teror. Saya sangat merasakan bagaimana menjadi bocah perempuan yang begitu merindukan keharmonisan dalam masyarakat. Sebuah hal yang langka mengingat orang tua saya pendatang di Pulau Jawa, dan kami minoritas pula dari segi agama.

 

14 Januari 2016

Saya duduk di bus yang berhenti cukup lama depan Sarinah. Saya sempat berpikir mungkin nanti sore saya ke Sarinah saja untuk ngopi. Tetapi ada yang aneh pagi ini, ya mungkin belakangan ini. Saya mudah menangis belakangan ini untuk alasan yang tidak jelas. Saya menangis karena saya berpikir ini mungkin hari ini terakhir saya hidup, dan jangan sampai saya mengulangi kebodohan yang kemarin.

Pagi ini saat bus yang saya tumpangi ngetem lama di depan Sarinah sekitar pukul 10.27 WIB, saya memandang Sarinah lekat-lekat. Saya memperhatikan baik-baik tulisannya, "Sarinah" salah satu tokoh perempuan idola Soekarno. Sarinah - The Indonesian Emporium. Demikian tulisan di gedung yang sangat tinggi itu. Saya tersenyum sendiri, batin saya berkata,

'Mal ini kayaknya emang legend banget ya, Sarinah." Tiba-tiba hati saya berkedut, saya mau menangis lagi, saya pikir mungkin saya baper lagi, atau saya mau datang bulan sehingga cepat emosi, atau karena saya sedang mendengarkan lagu rohani. Tetapi saya memandang Gedung Sarinah sangat lama, seperti ada magnet yang tak biasanya membawa saya memperhatikannya lekat-lekat. Seolah kalimat 'The Indonesian Emporium' itu akan bermakna sesuatu. Sarinah.

Setibanya saya di pressroom Kementerian Perhubungan, kawan saya bertanya, "Eh beneran Sarinah di bom?" saya terkesima. Kebetulan saya sedang WA dengan senior saya yang tengah meminta kontek narasumber. Dia menjawab saya, "Maaf ya balasnya lama, gue mau bikin laporan dulu Sarinah di bom."

Saya makin panik dalam hening. Spontan awak media di Kemenhub membuka televisi dan menonton aksi pengeboman tersebut. Saya masih bertanya kepada senior saya yang kebetulan anak TV, "Mas, beneran Sarinah di bom?" dia hanya menjawab, "Iya, ntr ya." Oke, ini benar-benar ada pengeboman karena nada respon senior saya seperti sangat terburu-buru.

Saya memilih menonton TV One dan Metro TV bersama sejumlah awak media di ruangan pressroom. Seketika saya merasa ada kelegaan yang diangkat. Sepertinya beban tangis yang tadi saya tahan saat melintasi Sarinah memiliki arti, tragedi akan terjadi di kawasan yang setiap harinya menjadi arena saya berjalan kaki ataupun nongkrong.

Seketika itu pula orang-orang yang mengasihi saya mencari saya, Tiara, Inas, panik menanyakan posisi saya dimana. Begitu pula dengan Ibu saya yang menelepon sampai meminta saya pulang. Lalu adik saya yang meminta saya jangan kemana-mana, redaktur saya yang memastikan posisi saya dimana, serta mantan wapimred saya yang mencoba mengabsen seluruh awak kapal sekadar memastikan prajurit angkat pena ini masih selamat.

Saya dirundung syukur yang begitu aneh, firasat saya bekerja cukup baik dan itu ternyata mempengaruhi batin saya seharian ini. Saya masih diselamatkan Tuhan, bagaimana jika bus saya masih di arena penembakan? Atau bagaimana jika saya memilih turun di Sarinah dan jalan kaki sampai ke Kemenhub? Maka saya berkesimpulan, bus yang membawa saya melaju hanya beberapa menit saja dari aksi pengeboman.

Tiba-tiba saya pun mengabarkan berita bom ini hanya kepada rekan-rekan sesama jurnalis di UMN ataupun sejumlah grup sahabat-sahabat saya. Sungguhlah saya hanya ingin memberi kabar, tetapi siapa sangka, kawan-kawan saya ini justru menerima lebih banyak kabar entah dari mana, ada yang bilang bom di Palmerah, Kuningan, dan semua lokasi. Saya tidak tahu kebenarannya, saya hanya melihat dari TV yang fokus di Sarinah. Dalam hitungan menit semua grup saya mengirimkan foto-foto kejadian, foto korban, foto kondisi, padahal polisi sendiri belum memberikan pernyataan, apalagi Presiden.

Benar kata kawan saya, seketika semua orang jadi jurnalis tanpa verifikasi. Saya menjadi lebih emosional lagi dengan arus informasi yang tak bisa ditahan ini. Belum lagi ancaman bom di sejumlah Mall. Ternyata saya mulai merasa terteror, saya juga mulai cemas, dan itu sungguh mengkhawatirkan. Hingga akhirnya mantan wapimred saya berkata, dirinya pernah berbincang dengan pengungsi di Israel dan Palestina, arena konflik, mereka tetap menjalani hidup seperti orang normal seolah tak ada ancaman bom setiap hari, jadi untuk orang di Jakarta, mengapa begitu responsif? Beliau bahkan berkata, kalau perlu malam ini kami tetap main di mall untuk membuktikan seorang jurnalis tidak boleh takut melawan teror.

Senior saya pun berkata, teror hanyalah aksi satu orang atau serumpun orang yang bertujuan menakuti publik, semua orang, maka kasihanlah semua orang yang mau ikut ketakutan. Hal itulah yang membuat saya seketika kesal tatkala membuka facebook, ramai sudah timeline dengan orang-orang di social media bersama hestek #PrayForJakarta dan sejenisnya. Padahal mereka berada di lokasi saja tidak. Seolah kejadian ini menyerupai kejadian di Paris, padahal belum. Bom-nya saja setahu saya adalah granat, bukan bom yang terlalu besar. Saya kesal karena hestek itu akan memberi dampak dalam sektor lain khususnya sektor ekonomi. Itulah alasan saya menon aktifkan twitter, ada candu bagi setiap orang untuk mengaudit pikiran revolusionernya dalam 140 karakter.

Saya sungguh mengkhawatirkan kondisi ini akan berdampak pada penurunan IHSG, melemahnya rupiah, sejumlah aspek ekonomi makro yang pasti berdampak bagi kehidupan seluruh masyarakat. Terbukti, IHSG anjlok hari ini. Tetapi saya sungguh menampung semua respon orang termasuk teman-teman saya akan kejadian ini. Ada yang tipe pemikir, ada yang ingin meredakan suasana panas dengan melucu, ada juga yang berpikir positif. Ada pula saya yang begitu melankolis menanggapi aksi ini. Meskipun saya tidak membuat status di twitter atau path atau facebook, saya sungguh ramai di grup WA, saya hanya ingin mengetahui saja informasi seperti apa yang diterima teman-teman saya.

Saya pun sepakat, ramainya penyebaran gambar dan foto kejadian ini ternyata menunjukkan wajah masyarakat kita yang ingin terkesan tahu segala hal. Entah darimana mereka mendapatkan gambar itu, tetapi seolah gambar yang mereka terima atau video mereka cukup terlegitimasi. Ah siapa juga yang bisa meredam arus informasi, Nona? Oleh sebab itu saya sebut secara kasar wajah ini adalah 'wajah sok tahu'. Wajah seperti inilah yang memperparah keadaan. Tak bisa dipungkiri pula wajah ini mendominasi sejumlah wajah jurnalis Indonesia. Wajah media penebar teror. Social media sangat memungkinkan seseorang menjadi sangat reaktif, sebagai implikasi kesombongannya karena punya informasi, atau karena dia ketakutan.

Di lain pihak saya juga mengkhawatirkan kawan-kawan sesama jurnalis yang berada di lapangan untuk meliput, bagaimana jika ada peluru nyasar menembus kepala mereka? Ah, tetapi bukankah itu resiko seorang prajurit?

Pada akhirnya saya pun menyadari satu hal dari rangkaian kejadian ini diredam dengan broadcast maessages yang bunyinya agak rasional agar tidak panik supaya masyarakat ikut menjaga stabilitas negara dan menjaga rupiah, serta menjaga sentimen global. BM itu lantas mengubah semua grup yang awalnya ketakutan menjadi penuh hawa optimisme seperti Stay Positive Jakarta dan sejenisnya. Ya mungkin ini perlu diapresiasi berkat Presiden Jokowi yang memberikan semangat untuk tidak takut, bukan seperti SBY yang malah dulu saat bom mengeluh bahwa dia terima ancaman bom. 

Ada banyak orang yang dengan mudah melempar statement, ini adalah pengalihan isu atas sejumlah kasus politik, awalnya saya berpikir itu tidak mungkin. Biasanya pengalihan isu di Indonesia untuk kasus pergantian anggota DPR sejenisnya dikaburkan dengan isu prostitusi. Tetapi ini adalah kejadian yang merenggut nyawa, saya lebih percaya ini murni kegiatan teror yang memang sudah terkoordinir, entah siapa pelakunya. Orang berkata ISIS, Gafatar, banyak nama. Ada pula yang menyebut ini pengalihan isu freeport. Kalau itu saya merasa lebih tepat, tetapi bukan berarti  kita tak bersimpati pada korban bukan? Ketika berpikir seperti itu, barulah saya menyadari bagaimana rasanya menjadi warga Paris yang di bom, yang mana saya pernah membuat status di facebook bahwa masyarakat terlalu reaktif kepada teror di Paris padahal di Indonesia juga banyak teror.

Itulah yang membuat saya selama berjam-jam menunda statement untuk kejadian ini, saya belajar dari tulisan Bang Roy Thaniago dalam statusnya, "social media memberikan ruang yang luas untuk kita terus mengaudit pikiran kita, dan untuk itulah sebuah pikiran yang komprehensif menjadi sebuah kemegahan tersendiri."

Ya, saya mulai belajar tidak reaktif atas sejumlah kejadian. Saya mau berubah. Saya tidak mau menjadi saya yang dulu, saya yang reaktif di social media ataupun di dunia nyata. Karena saya, seorang jurnalis, saya prajurit publik.

Facebook pun akhirnya membuktikan janjinya kepada saya, dia membuat profile picture #INDONESIAUNITE KAMI TIDAK TAKUT, sekadar untuk menggalang aksi simpati melawan teror seperti yang dilakukan Paris. Terima Kasih Facebook, nampaknya saya masih akan tetap mengandalkan kamu dibandingkan social media lainnya :)

Renungan ini pada akhirnya ditutup dengan cantik dari ayah saya. Saya sungguh tak habis pikir, bagaimana mungkin seseorang bisa di doktrin sedemikian rupa sampai dia tidak takut mati dengan aksi bom bunuh diri? Apa yang diperjuangkannya?

Perumpamaan ayah saya sederhana saja: Jika dalam suatu tuntutan ekonomi, seorang perempuan memilih melacurkan diri, maka lelaki memilih mengabdikan dirinya pada uang. Seseorang akan dihadapkan pada keadilan yang tak pernah diterimanya. Jakarta, adalah wajah Ibu Kota yang tak memberikan ruang bagi masyarakat kecil, karena ruang publik hanya diisi orang berkerah putih. Kalau seseorang hidup miskin berkepanjangan, tidak ada jalan keluar baginya untuk mencari nafkah, tidak ada yang menolongnya di desa, lalu datang orang yang 'bersimpati" dan memberikan sejumlah doktrin tentang ketidakadilan maka seseorang harus mau melawan, apakah seseorang itu akan menolaknya? Jika seseorang dibayar untuk membela nasibnya sendiri, dia tidak akan menolak.

"Kalau kamu miskin di desa, setiap hari kamu di doktrin bahwa orang di Jakarta itu penyebab kamu miskin, apakah tidak mungkin seseorang itu menjadi militan dan berani mati? Dia cukup menerima jaminan anak istri aman, uang ditangan keluarga, senjata siap di badan, dia juga siap menjadi prajurit teror. Jangan lupa Nona, seorang PKI juga adalah orang yang militan, karena dulu petani miskin hanya dibantu oleh PKI. Buat mereka, orang-orang yang bersimpati adalah orang yang memberikan cangkul untuk bertahan hidup, sehingga dengan mudah juga dibuat skenario seolah-olah PKI meneror."

Jadi lagi-lagi, ini bukan soal agama. Ayah mengatakan, coba lihat dari perspektif ekonominya, lihat perspektif ketidakadilannya. Lagipula selain karena kesenjangan, tidakkah aneh lokasi kejadian di ring I, berdekatan dengan sejumlah kantor kementerian, khususnya Kantor Kementerian BUMN dan Bank Indonesia?

Terlepas dari semua spekulasi itu, malam ini saya mau tertidur pulas dan menanamkan dalam batin saya: hari ini saya belajar, hidup saya bukan milik saya, sehingga saya tak pernah tahu, apakah esok hari saya masih bisa hidup atau tidak.

 

Meminjam kata Chicha: Berbahagialah selagi bisa :) #INDONESIAUNITE

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun