Saya sungguh mengkhawatirkan kondisi ini akan berdampak pada penurunan IHSG, melemahnya rupiah, sejumlah aspek ekonomi makro yang pasti berdampak bagi kehidupan seluruh masyarakat. Terbukti, IHSG anjlok hari ini. Tetapi saya sungguh menampung semua respon orang termasuk teman-teman saya akan kejadian ini. Ada yang tipe pemikir, ada yang ingin meredakan suasana panas dengan melucu, ada juga yang berpikir positif. Ada pula saya yang begitu melankolis menanggapi aksi ini. Meskipun saya tidak membuat status di twitter atau path atau facebook, saya sungguh ramai di grup WA, saya hanya ingin mengetahui saja informasi seperti apa yang diterima teman-teman saya.
Saya pun sepakat, ramainya penyebaran gambar dan foto kejadian ini ternyata menunjukkan wajah masyarakat kita yang ingin terkesan tahu segala hal. Entah darimana mereka mendapatkan gambar itu, tetapi seolah gambar yang mereka terima atau video mereka cukup terlegitimasi. Ah siapa juga yang bisa meredam arus informasi, Nona? Oleh sebab itu saya sebut secara kasar wajah ini adalah 'wajah sok tahu'. Wajah seperti inilah yang memperparah keadaan. Tak bisa dipungkiri pula wajah ini mendominasi sejumlah wajah jurnalis Indonesia. Wajah media penebar teror. Social media sangat memungkinkan seseorang menjadi sangat reaktif, sebagai implikasi kesombongannya karena punya informasi, atau karena dia ketakutan.
Di lain pihak saya juga mengkhawatirkan kawan-kawan sesama jurnalis yang berada di lapangan untuk meliput, bagaimana jika ada peluru nyasar menembus kepala mereka? Ah, tetapi bukankah itu resiko seorang prajurit?
Pada akhirnya saya pun menyadari satu hal dari rangkaian kejadian ini diredam dengan broadcast maessages yang bunyinya agak rasional agar tidak panik supaya masyarakat ikut menjaga stabilitas negara dan menjaga rupiah, serta menjaga sentimen global. BM itu lantas mengubah semua grup yang awalnya ketakutan menjadi penuh hawa optimisme seperti Stay Positive Jakarta dan sejenisnya. Ya mungkin ini perlu diapresiasi berkat Presiden Jokowi yang memberikan semangat untuk tidak takut, bukan seperti SBY yang malah dulu saat bom mengeluh bahwa dia terima ancaman bom.Â
Ada banyak orang yang dengan mudah melempar statement, ini adalah pengalihan isu atas sejumlah kasus politik, awalnya saya berpikir itu tidak mungkin. Biasanya pengalihan isu di Indonesia untuk kasus pergantian anggota DPR sejenisnya dikaburkan dengan isu prostitusi. Tetapi ini adalah kejadian yang merenggut nyawa, saya lebih percaya ini murni kegiatan teror yang memang sudah terkoordinir, entah siapa pelakunya. Orang berkata ISIS, Gafatar, banyak nama. Ada pula yang menyebut ini pengalihan isu freeport. Kalau itu saya merasa lebih tepat, tetapi bukan berarti  kita tak bersimpati pada korban bukan? Ketika berpikir seperti itu, barulah saya menyadari bagaimana rasanya menjadi warga Paris yang di bom, yang mana saya pernah membuat status di facebook bahwa masyarakat terlalu reaktif kepada teror di Paris padahal di Indonesia juga banyak teror.
Itulah yang membuat saya selama berjam-jam menunda statement untuk kejadian ini, saya belajar dari tulisan Bang Roy Thaniago dalam statusnya, "social media memberikan ruang yang luas untuk kita terus mengaudit pikiran kita, dan untuk itulah sebuah pikiran yang komprehensif menjadi sebuah kemegahan tersendiri."
Ya, saya mulai belajar tidak reaktif atas sejumlah kejadian. Saya mau berubah. Saya tidak mau menjadi saya yang dulu, saya yang reaktif di social media ataupun di dunia nyata. Karena saya, seorang jurnalis, saya prajurit publik.
Facebook pun akhirnya membuktikan janjinya kepada saya, dia membuat profile picture #INDONESIAUNITE KAMI TIDAK TAKUT, sekadar untuk menggalang aksi simpati melawan teror seperti yang dilakukan Paris. Terima Kasih Facebook, nampaknya saya masih akan tetap mengandalkan kamu dibandingkan social media lainnya :)
Renungan ini pada akhirnya ditutup dengan cantik dari ayah saya. Saya sungguh tak habis pikir, bagaimana mungkin seseorang bisa di doktrin sedemikian rupa sampai dia tidak takut mati dengan aksi bom bunuh diri? Apa yang diperjuangkannya?
Perumpamaan ayah saya sederhana saja: Jika dalam suatu tuntutan ekonomi, seorang perempuan memilih melacurkan diri, maka lelaki memilih mengabdikan dirinya pada uang. Seseorang akan dihadapkan pada keadilan yang tak pernah diterimanya. Jakarta, adalah wajah Ibu Kota yang tak memberikan ruang bagi masyarakat kecil, karena ruang publik hanya diisi orang berkerah putih. Kalau seseorang hidup miskin berkepanjangan, tidak ada jalan keluar baginya untuk mencari nafkah, tidak ada yang menolongnya di desa, lalu datang orang yang 'bersimpati" dan memberikan sejumlah doktrin tentang ketidakadilan maka seseorang harus mau melawan, apakah seseorang itu akan menolaknya? Jika seseorang dibayar untuk membela nasibnya sendiri, dia tidak akan menolak.
"Kalau kamu miskin di desa, setiap hari kamu di doktrin bahwa orang di Jakarta itu penyebab kamu miskin, apakah tidak mungkin seseorang itu menjadi militan dan berani mati? Dia cukup menerima jaminan anak istri aman, uang ditangan keluarga, senjata siap di badan, dia juga siap menjadi prajurit teror. Jangan lupa Nona, seorang PKI juga adalah orang yang militan, karena dulu petani miskin hanya dibantu oleh PKI. Buat mereka, orang-orang yang bersimpati adalah orang yang memberikan cangkul untuk bertahan hidup, sehingga dengan mudah juga dibuat skenario seolah-olah PKI meneror."