Je Suis desole: Sebuah Permohonan Maaf
Gloria Fransisca Katharina
(Tulisan ini lahir dari hasil refleksi 15 November 2015)
Facebook jadi ribut soal bendera begini? Ternyata bentuk belasungkawa dilihatnya dari share gambar dan ganti profile picture tho?
Aku gak mau masang ah, daripada dipandang cuma peduli sama Paris doang, lagipula dari kemarin aku sudah banyak share berita tentang tragedi Paris. Buatku, kejelasan informasi dan kredibilitas pemberitaan lebih penting untuk membuat manusia seimbang dalam memberikan respon. Pikirku sekarang, kok mau mau aja gitu dibego-begoin Facebook. Human, you have to control the technologies, not technologies control you. J Happy Sunday!
Â
Jadi inilah status facebook saya pada 15 November 2015. Sebuah status yang mengundang berbagai komentar dukungan ataupun serangan atas pernyataan saya. Alasannya banyak,
- Saya memakai diksi ‘bego’ yang seolah menyatakan para pihak yang berbela sungkawa itu bodoh
- Saya meributkan bendera Paris yang ramai di facebook, sesuatu hal yang sebenarnya hak semua orang saja untuk memberikan profilenya untuk berbela sungkawa.
Maaf saja. Saya memang sengaja memakai diksi yang memancing emosi dan terkesan judgemental. Bukan tanpa alasan saya menuliskan diksi-diksi dan opini demikian. Tetapi sekali lagi, izinkanlah saya meminta maaf jika ada handai taulan yang merasa tersakiti.
Tetapi izinkanlah saya memberikan sejumlah argumentasi alasan saya menuliskan status itu. Sebuah alasan yang bagi saya cukup sahih dan bisa diperdebatkan lebih lanjut.
Alasan saya tidak sederhana. Garis besar utamanya adalah saya mempertanyakan mengapa teror di Paris harus menjadi perhatian dunia? Mengapa sejumlah teror di daerah konflik tidak bisa dijadikan perhatian dunia? Mengapa facebook tidak membuat bendera untuk Lebanon, Syria, dan lainnya yang sama-sama diserang teror yang mengatasnamakan agama?
Saya pun mencoba mendiskusikanya dengan Maria Brigita Blessty. Kebetulan daya analisis dia cukup tajam, dan saya kebetulan tipe orang yang berusaha membuka pikiran atas sejumlah pendapat lain sekaligus pikiran yang akan mengkritik saya. Blessty paham dengan maksud saya, bahwa terjadi kelatahan lokal yang memang tidak bisa dibendung. Dia sepaham dengan saya. Tetapi benar saja, Blessty mengkritik status saya yang terlalu judgmental.
Disinilah saya menemukan satu kesalahan saya, diksi yang judgemental, sekalipun saya sengaja mengundang interaksi. Saat menjemur pakaian, saya pun membatin, janga sampai saya memiliki kecenderunga congkak bahwa seolah orang lain terlalu bodoh untuk mengganti profile picturenya mendukung Paris. Tetapi tetap saja, saya bersikukuh memiliki pertanyaan, ‘mengapa harus Paris?’
Saya melihat, aplikasi bernama Facebook berhasil menggiring opini dunia agar mendukung Paris. Saya mulai memasukkan sejumlah keterkaitan agenda setting global. Sejenis teori konspirasi mungkin. Pertama, facebook adalah kepemilikkan Barat, jadi wajar saja kalau agenda yang dibawa adalah permasalahan global adalah permasalahan bangsa Barat. Bukan bangsa yang rawan konflik seperti di Timur Tengah apalagi Indonesia.
Saya gerah juga jika masyarakat menyebut yang selalu punya agenda setting adalah media massa mainstream. Saya mulai menanam sebuah keyakinan aneh, bahwa media sosial pun sedang digiring untuk bisa membentuk opini dunia. Entah siapa yang bermain di belakangnya. Tetapi, itu membuat saya sangat berhati-hati menggunakan sejumlah penawaran aplikasi dari facebook, alhasil saya menjadi sedikit gaptek. Salah satunya aplikasi ‘try it’ untuk mengubah profile picture menjadi bendera Paris.
Alasan kedua. Saya tersulut rasa sedih atas sejumlah status kawan-kawan saya dari golongan muslim. Mereka merasa tersudutkan dengan pemberitaan yang menuding teroris adalah umat muslim. Ada juga beberapa komen yang malah mendukung pembantaian itu sekali lagi atas nama agama.
Saya membatin, media hanya bisa memberikan informasi, tetapi media tak sepenuhnya bisa mengendalikan pikiran atau respon seseorang. Respon adalah sesuatu hal yang bagi saya begitu mendadak, mengejutkan, dan dilapisi banyak nilai-nilai pembentuk individu.
Tahu ketakutan terbesar saya apa atas sejumlah perdebatan ini? Perang Agama. Perang untuk sebuah keyakinan yang dipaksakan. Perang untuk Tuhan yang bahkan tak pernah minta dibela. Perang untuk menguasai surga yang bahkan tak seorang pun tahu berapa ukuran dan luasnya. Sebuah perang yang paling sering dinikmati masyarakat kita dengan kultur keras kepala. Jujur saja, saya khawatir, Facebook seolah memicu perang agama. Saya paling lelah dengan perang agama.
Ada saja argumentasi, Paris adalah dominasi kaum kristiani jadi menjadi perhatian global. Sementara Timur Tengah di dominasi kaum muslim jadi tak mendapat perhatian global. Ada relasi mayoritas dan minoritas yang mematikan disini. Sungguh membahayakan sekali bukan pemikiran sempit seperti ini yang dengan sedih terpaksa saya akui masih bercongkol di lapisan masyarakat kita.
Perlakuan spesial untuk Paris ini akhirnya mendapat argumentasi, menurut Blessty ada seseorang kawannya yang memberikan argumentasi, kasus di Paris tidak bisa dibandingkan apple to apple dengan kasus di Baghdad, Syria, Lebanon, Gaza, atau bahkan Indonesia.
Saya pun menemukan dari status dosen saya, Pak Widarto Adi, alasan mengapa Paris tak bisa apple to apple dengan kasus lain. Alasannya, awalnya Paris adalah sebuah kawasan yang bisa disebut aman, bukan daerah konflik. Menurut Pak Darto, ketika sebuah tempat yang dianggap aman akhirnya terkena teror *misalnya kayak di Bali juga tuh* maka kita harus sadar bahwa terorisme bukan ekskludif milik daerah konflik lagi. Itulah alasan teror Paris menjadi mengerikan, tanpa bermaksud mengecilkan daerah konflik lainnya.
Meminjam kata Pak Darto – ‘saya tidak tahu agama atau kepercayaan yang masing-masing kita peluk mengajarkan apa tidak, tetapi yang saya tahu pasti baik secara scientific atau text religius, semua manusia bersaudara.’
Menurut saya status Pak Darto ada benarnya, sekalipun ada pertanyaan kecil menyusup lagi, terorisme ternyata sudah di eksklusifkan dengan daerah konflik. Oleh sebab itu terasa semakin mengagetkan jika terjadi di arena yang aman damai. Apa yang membuat terorisme menjadi ekslusif pada daerah tertentu dan seolah tak menemukan penyelesaian?
Pertanyaan itu kembali dijawab dari hasil diskusi bersama Blessty. Menurut Blessty, yang baru saja lulus *akhirnya* dari sekolah tinggi filsafat paling tenar di tanah air dengan nilai A *hoek* minimnya akses kembali membuat daerah teror menjadi eksklusif. Tetapi di sisi lain Paris sudah bukan lagi area yang bisa disebut aman, sejak kejadian Charlie Hebdo. Saya tak lupa ucapan pimpinan redaksi saat rapat, kasus Chalie Hebdo tak lepas dari kealpaan pelaku media massa yang memicu peperangan agama. Seperti tak ada garis batas yang jelas antara kebebasan dengan menjaga stabilitas.
Nah! Ini dia alasan saya minta maaf. Je Suis. Pelakunya adalah media massa. Sebagai bagian dari pelaku media, saya meminta maaf. Saya belajar melihat kekurangan. Media apapun, khususnya media internasional nampaknya kurang berhasil menyusup dan memberitakan tragedi kemanusiaan. Ada banyak argumentasi juga akan hal itu. Pertama, tentu saja keterbatasan akses. Daerah teror sangat tertutup, tidak mudah bagi siapapun, jurnalis sekalipun untuk menembus masuk sekadar mencari tahu dan membuat berita untuk menjadi keprihatinan global. Jadi? Mungkin memang media massa kurang gigih karena berbagai ancaman teror, atau media massa sendiri sengaja melakukan pembiaran atas kasus kemanusiaan itu. Banyak asumsi yang perlu diteliti.
Jika kita kerucutkan dalam konteks Indonesia, banyak pula status yang isinya menuding kelatahan global ini seolah membuat seluruh masyarakat Indonesia alpha pada masalah dalam negeri. Sebuah masalah yang juga sarat dengan ketidakadilan pada kemanusiaan. Kasus penembakan di Papua, masalah kemanusiaan di Riau, masalah lainnya.
Saya mulai menerima masalah Paris ini tak bisa dijadikan apple to apple, tetapi atas sebuah argumentasi yang tak akan saya tambahkan dengan teori logika atau apapun yang berbau filsafat, karena itu bukan makanan saya. Orang bisa berkata ini adalah bentuk kesadaran internasional atau sejenisnya, sebuah istilah yang tak saya pahami tentu karena keterbatasan ilmu. Ya, tetapi buat saya, suara-suara ini juga bukanlah suara yang salah. Suara-suara ini adalah suara yang nyaris senada dengan suara saya, ingin membumikan masyarakat kepada masalah di rumahnya sendiri. Karena ingat-ingatlah, permasalahan global ini akan memicu konflik dalam pertentangan dalam negeri ke depannya. Jadi mengapa tak ada arus balik yang sama kuatnya, yakni arus untuk bergandengan tangan membenahi permasalahan apa yang ada di dalam negeri tanpa melupakan masalah global?
Sembari mencuci baju siang ini, saya merefleksikannya kembali secara matang. Saya semakin tersenyum lebar ketika melihat banyak status facebook yang berusaha menjadi penengah dengan menyebutnya sebagai #PrayForWorld ketimbang #PrayForParis. Sebuah argumentasi penawar untuk ramuan yang mungkin terlalu manis sekaligus terlalu pahit. Meminjam status Bung Roy Thaniago, ‘Media sosial memang menyediakan fasilitas yang cepat dan efektif untuk berkomentar da mendistribusikan gagasan. Karena itu ia kerap menggoda kita untuk rutin bereaksi terhadap apapun, seolah-meminjam istilah dari Budi Warsito- kita butuh untuk selalu mengaudit isi kepala kita secara publik. Maka, menunda mengambil sikap dan berkomentar di tengah informasi yang sepotong-potong adalah sebuah kemewahan tersendiri. Sialnya, penundaan adalah kegelisahan bagi mereka yang tak sabar menanti keprok-keprok dalam panggung media sosial yang penuh lampu kilat.
Ya, inilah yang membuat saya membatin sepulang dari gereja, saat Romo berkata, ‘dalam hidup jadilah sesuatu yang sesuai dengan panggilanmu dengan cara mengikuti kehendak Allah,’. Mengikuti panggilan.
Panggilan untuk menjadi manusia. Be human. Sebuah panggilan menjadi manusia tak sama dengan panggilan menilai manusia. Saya mulai cemas, jangan sampai, ketika kita mulai menilai kemanusiaan, kita menanggalkan sebagian instrumen-instrumen kemanusiawian dalam diri kita sendiri.
Kadang dalam hidup, seseorang harus terus menjadi polos. Memelihara kepolosan bisa membawa keharmonisa, tetapi kepolosan juga bisa membawa kerunyaman baru. Seperti dua mata pisau, membahayakan namun pada situasi tertentu sangat dianjurkan.
Saya mengenang Ahmad Wahib malam ini, dengan peringatannya kepada saya untuk tidak munafik. Jadi, ada baiknya saya, yang masih ingin terus menerus berproses menjadi manusia, mengucapkan maaf. Je Suis. Sebuah kata yang nyaris jarang saya temukan di panggung megah arus kebisingan media sosial yang penuh lampu kilat. Maaf.
Mengapa tidak ada yang mengampanyekan kata maaf? Luka batin memang tak akan hilang dengan mudah, tetapi keangkuhan akan kata maaf memperparah keadaan. Dalam beberapa jam belakangan ini, saya melihat semakin banyak saja media massa yang memberitakan sudut pandang kasus Paris sebagai bentuk karma karena Paris dianggap menghina Nabi Muhammad.
Tanpa bermaksud menyederhanakan masalah penghinaan terhadap nabi, tetapi dunia, altarku untuk berkarya, aku mau mencoba belajar memaafkan dimulai dengan meminta maaf. Aku yakin nabi siapapun, mau di Muhammad atau Isa Al Masih, atau dewa dan dewi, ajaran tentang memaafkan, bukan membunuh dan menghakimi. Meminta maaf kepada semesta. Meminta maaf kepada manusia.
Malam ini saya ingin tidur dengan tenang, setelah hari yang panjang dan membuat gelisah. Semoga hari esok, kita belajar mengucapkan kata ‘Maaf’. Maaf untuk hari ini. Maaf atas kalimat yang menyakiti hati. Maaf atas kemegahan lampu kilat media sosial yang tak berimbang. Pardon Me. I,m sorry. Je Suis desole. J
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H