Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Je Suis desole, Sebuah Permohonan Maaf

16 November 2015   01:24 Diperbarui: 16 November 2015   02:25 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pertanyaan itu kembali dijawab dari hasil diskusi bersama Blessty. Menurut Blessty, yang baru saja lulus *akhirnya* dari sekolah tinggi filsafat paling tenar di tanah air dengan nilai A *hoek* minimnya akses kembali membuat daerah teror menjadi eksklusif. Tetapi di sisi lain Paris sudah bukan lagi area yang bisa disebut aman, sejak kejadian Charlie Hebdo. Saya tak lupa ucapan pimpinan redaksi saat rapat, kasus Chalie Hebdo tak lepas dari kealpaan pelaku media massa yang memicu peperangan agama. Seperti tak ada garis batas yang jelas antara kebebasan dengan menjaga stabilitas.

Nah! Ini dia alasan saya minta maaf. Je Suis. Pelakunya adalah media massa. Sebagai bagian dari pelaku media, saya meminta maaf. Saya belajar melihat kekurangan. Media apapun, khususnya media internasional nampaknya kurang berhasil menyusup dan memberitakan tragedi kemanusiaan. Ada banyak argumentasi juga akan hal itu. Pertama, tentu saja keterbatasan akses. Daerah teror sangat tertutup, tidak mudah bagi siapapun, jurnalis sekalipun untuk menembus masuk sekadar mencari tahu dan membuat berita untuk menjadi keprihatinan global. Jadi? Mungkin memang media massa kurang gigih karena berbagai ancaman teror, atau media massa sendiri sengaja melakukan pembiaran atas kasus kemanusiaan itu. Banyak asumsi yang perlu diteliti.

Jika kita kerucutkan dalam konteks Indonesia, banyak pula status yang isinya menuding kelatahan global ini seolah membuat seluruh masyarakat Indonesia alpha pada masalah dalam negeri. Sebuah masalah yang juga sarat dengan ketidakadilan pada kemanusiaan. Kasus penembakan di Papua, masalah kemanusiaan di Riau, masalah lainnya.

Saya mulai menerima masalah Paris ini tak bisa dijadikan apple to apple, tetapi atas sebuah argumentasi yang tak akan saya tambahkan dengan teori logika atau apapun yang berbau filsafat, karena itu bukan makanan saya. Orang bisa berkata ini adalah bentuk kesadaran internasional atau sejenisnya, sebuah istilah yang tak saya pahami tentu karena keterbatasan ilmu. Ya, tetapi buat saya, suara-suara ini juga bukanlah suara yang salah. Suara-suara ini adalah suara yang nyaris senada dengan suara saya, ingin membumikan masyarakat kepada masalah di rumahnya sendiri. Karena ingat-ingatlah, permasalahan global ini akan memicu konflik dalam pertentangan dalam negeri ke depannya. Jadi mengapa tak ada arus balik yang sama kuatnya, yakni arus untuk bergandengan tangan membenahi permasalahan apa yang ada di dalam negeri tanpa melupakan masalah global?

Sembari mencuci baju siang ini, saya merefleksikannya kembali secara matang. Saya semakin tersenyum lebar ketika melihat banyak status facebook yang berusaha menjadi penengah dengan menyebutnya sebagai #PrayForWorld ketimbang #PrayForParis. Sebuah argumentasi penawar untuk ramuan yang mungkin terlalu manis sekaligus terlalu pahit. Meminjam status Bung Roy Thaniago, ‘Media sosial memang menyediakan fasilitas yang cepat dan efektif untuk berkomentar da mendistribusikan gagasan. Karena itu ia kerap menggoda kita untuk rutin bereaksi terhadap apapun, seolah-meminjam istilah dari Budi Warsito- kita butuh untuk selalu mengaudit isi kepala kita secara publik. Maka, menunda mengambil sikap dan berkomentar di tengah informasi yang sepotong-potong adalah sebuah kemewahan tersendiri. Sialnya, penundaan adalah kegelisahan bagi mereka yang tak sabar menanti keprok-keprok dalam panggung media sosial yang penuh lampu kilat.

Ya, inilah yang membuat saya membatin sepulang dari gereja, saat Romo berkata, ‘dalam hidup jadilah sesuatu yang sesuai dengan panggilanmu dengan cara mengikuti kehendak Allah,’. Mengikuti panggilan.

Panggilan untuk menjadi manusia. Be human. Sebuah panggilan menjadi manusia tak sama dengan panggilan menilai manusia. Saya mulai cemas, jangan sampai, ketika kita mulai menilai kemanusiaan, kita menanggalkan sebagian instrumen-instrumen kemanusiawian dalam diri kita sendiri.

Kadang dalam hidup, seseorang harus terus menjadi polos. Memelihara kepolosan bisa membawa keharmonisa, tetapi kepolosan juga bisa membawa kerunyaman baru. Seperti dua mata pisau, membahayakan namun pada situasi tertentu sangat dianjurkan.

Saya mengenang Ahmad Wahib malam ini, dengan peringatannya kepada saya untuk tidak munafik. Jadi, ada baiknya saya, yang masih ingin terus menerus berproses menjadi manusia, mengucapkan maaf. Je Suis. Sebuah kata yang nyaris jarang saya temukan di panggung megah arus kebisingan media sosial yang penuh lampu kilat. Maaf.

Mengapa tidak ada yang mengampanyekan kata maaf? Luka batin memang tak akan hilang dengan mudah, tetapi keangkuhan akan kata maaf memperparah keadaan. Dalam beberapa jam belakangan ini, saya melihat semakin banyak saja media massa yang memberitakan sudut pandang kasus Paris sebagai bentuk karma karena Paris dianggap menghina Nabi Muhammad.

Tanpa bermaksud menyederhanakan masalah penghinaan terhadap nabi, tetapi dunia, altarku untuk berkarya, aku mau mencoba belajar memaafkan dimulai dengan meminta maaf. Aku yakin nabi siapapun, mau di Muhammad atau Isa Al Masih, atau dewa dan dewi, ajaran tentang memaafkan, bukan membunuh dan menghakimi. Meminta maaf kepada semesta. Meminta maaf kepada manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun