Mohon tunggu...
S Gloria
S Gloria Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Professional dan Blogger

Be thankful for what you have. You have no idea how many people would love to have what you've got.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manual Book dalam Hidupku Itu Mama

3 Desember 2020   11:59 Diperbarui: 3 Desember 2020   12:02 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mama kok cerewet banget sih, terlalu banyak aturan, ini itu serba nggak boleh!"

Masih teringat jelas dibenak saya bagaimana saya merasa sebagai seorang anak, seperti terintimidasi  dengan semua aturan-aturan yang dibuat oleh mama. Dan setiap kali kata-kata itu terlontar dari mulut saya, bukannya mereda amarah mama justru tak terbendung.

Tapi masa-masa seperti  itu justru sekarang menjadi bagian dari hidup saya. Sangat bersyukur ketika pernikahan saya dikaruniai seorang anak laki-laki yang tentu menjadi kebanggaan saya dan keluarga.

"Kalau nanti kamu jadi seorang ibu, pasti kamu akan merasakan apa yang saya rasakan". Itu yang selalu mama katakan. Saya nggak komplain atas apa yang saya alami sebagai ibu sekarang, karena saya sudah memilihnya. 

Melihat anak saya tumbuh sampai di usia sekarang ini, saya pun mulai memahami dan mengaminkan apa yang mama pernah katakan, "Didik anak-mu sejak kecil, karena kamu adalah orang pertama yang akan ditirunya kelak".

Bukan cuma sampai disitu, kalau banyak yang mengatakan bahwa kesuksesan anak bisa dilihat dari seberapa cerewet Ibunya, saya rasa ini juga benar. kalimat ini muncul bukan tanpa alasan karena ibu merupakan orang pertama yang akan mengenalkan norma-norma pada anak sebagai 'modal awal' agar anak menjadi pribadi yang baik.

Di umur dua tahun ketika anak-anak seusia Nathan sudah bisa berucap beberapa kata dengan jelas, tapi saat itu ia hanya baru lancar mengucapkan kata ma-ma. Tentu ini bagi saya seperti 'pukulan' karena saya merasa ada yang salah dari cara saya mengurusnya, sehingga tumbuh kembangnya melambat.

"Anaknya diajarin ngomong dong!", kamu nggak cerewet sih!". Ucap mama saat mengetahui cucunya masih belum lancar bicara di usia 2 tahun.
"sudah, ma", jawab saya berusaha meyakinkan.
"Tapi itu anak kamu sudah umur segini, ngomongnya kok masih ma, ma, ma...".
Saya tidak lagi menjawab hanya bisa terdiam dan menerima apa yang mama katakan sebagai cambuk diri.

"Maaaa-kannn', mama berusaha mengajari Nathan, mengucapkan satu patah kata, 'makan'. Alih-alih menirukan ucapan neneknya, Nathan tak mengeluarkan suara dan hanya menjawab dengan 'ma' saja. Ini membuat neneknya semakin gemas.

"Gimana, sih ini? Ajakin ngomong. Kamunya jangan diam saja, harus cerewet dong!."
"Apa aja yang kamu lakukan sih sampai anak nggak diajarin ngomong?". Ucapan seperti itu yang terus mendengung ditelinga saya kala itu.

Tak mau dibilang tak becus mengurus anak. Saya mulai membekali diri dengan banyak membaca dan mencari literasi. Saya mulai berpikir jika saya dulu yang perlu dibekali. Bagaimana untuk bisa memahami dan mengasah kemampuan anak. Saya tak mau disudutkan dengan kalimat, "umur segini bicara saja belum bisa, bagaimana masa depannya nanti!".

Berbekal kegigihan dan kepercayaan yang saya tanamkan kepada Nathan kalau ia adalah anak yang cerdas, saya mulai menjadi 'guru' sekaligus 'psikolog' bagi-nya. Tak penting bagaimana dan darimana saya harus memulainya saat itu, lakukan saja apa yang bisa saya lakukan.

Dari sini saya banyak mendapatkan pelajaran dari keterlambatan sang buah hati. Salah satunya saya menyadari bahwa setiap ibu harus selalu bisa mengerti dan menerima apapun yang dialami anaknya. Sampai disini dahulu yang harus saya tanam dibenak saya, yaitu 'penerimaan diri' sang anak.

"Hmmm ya, bahwa saya sebagai ibunya harus bisa mengerti dan menerima bahwa setiap anak itu punya kemampuan dan tantangan yang berbeda-beda nggak bisa dipukul rata". Si anak ini sudah bisa gini kalau anak saya kok belum?, Itu yang saya harus bisa berbesar hati dan harus mau peduli mencari tahu penyebabnya apa dan belajar mengatasinya.

Bagi anak bermain adalah salah satu cara untuk belajar. Dan sayapun memulainya dari sini, menemaninya bermain. Dari sini saya membantunya untuk mengarahkan mana hal-hal yang benar, termasuk mengajarinya kosa kata baru yang dicontohkan dalam perbuatan. Mengajak berbicara sekalipun dia belum bisa bicara dan yakin bahwa dia mengerti.

Dan sekarang diusianya yang menginjak 7 tahun kosa kata yang diucapkan lebih banyak dan kemampuan komunikasinya juga meningkat, walaupun belum sempurna. Kini dia sudah pandai berhitung, mengerti anggota tubuh secara lengkap, membaca kalimat pendek, mengetahui gambar dan menyebut nama benda dengan jelas, walaupun kadang terbalik atau sesuai apa yang di tangkap pendengaran-nya.

[Dok. Pribadi] 
[Dok. Pribadi] 

Saya sadar bahwa saya adalah perempuan pertama yang berinteraksi dengan Nathan sebelum yang lainnya. Selama 9 bulan 10 hari ia berada dalam rahim saya, kemudian selama 2 tahun menyusuinya dan selama balita hingga menginjak usia remaja akan secara intensif berinteraksi dengan saya. Inilah merupakan 'pendidikan' pertama yang dinikmati oleh Nathan di awal-awal perjalanan kehidupannya.

Ibu adalah figur yang sangat dekat dengan anak-anaknya, maka tanggungjawab pendidikan tidak pernah lepas dari peran seorang ibu. Jangan melihat seorang tokoh hanya dari depan, tapi coba perhatikan bagaimana peran ibu di belakangnya yang mengantarkannya menjadi 'seseorang'.

Sayangnya tidak ada sekolah menjadi ibu, kita justru belajar menjadi ibu ketika tugas itu benar-benar telah ada di atas pundak kita. Dan manual book saya adalah sosok mama. Tugas menjadi ibu berat, menjaga level kewarasan dan kesabaran setiap waktu. Saya merasakan apa yang dulu mama rasakan.

Seorang ibu merupakan sosok idola pertama bagi anaknya. Anak akan banyak sekali meniru ibunya. Oleh karena itulah, saya sebagai orang pertama yang menjadi panutan Nathan harus dapat memberikan contoh yang baik. Saya harus berhati-hati ketika bersikap. Jangan sampai melakukan perbuatan buruk yang akhirnya ditiru.

Pernah suatu hari saya jengkel terhadap suatu hal, dan saya mulai 'ngedumel'. Tapi salahnya Nathan mendengar apa yang saya ucapkan. Suatu hari ia marah kepada saya dan berkata, "mama bodoh banget sih." Terperanjat dengan kalimatnya saya bertanya, "kaka mengerti tidak arti kata bodoh?."

Dengan polos ia menjawab, "aku nggak tau ma, mama pernah ngomong bodoh, itu artinya apa ma?."Ah, seketika saya memarahi diri sendiri. Sejak itupun saya sangat berhati-hati dalam bersikap ataupun berkata-kata di dekat anak.

Benar adanya, pendidikan paling dasar bagi seorang anak diperoleh dari Ibu. Ya, saya banyak sekali belajar dan mengadopsi prinsip hidup, cara berpikir, sampai pada cara pandang dalam menghargai nilai suatu hal dari mama dahulu. Sekarang saya baru merasakan bahwa beliau mengajarkan banyak sekali contoh nyata lika liku dalam hidup.

Mungkin tanpa kita sadari, nilai-nilai yang kita anut, apa yang tertanam dalam mindset kita sekarang ini, boleh jadi adalah buah dari ajaran dan pola asuh Ibu kita sedari kecil. Ambil sisi baiknya, buang sisi buruknya. Karena layaknya manusia biasa, mereka tidaklah sempurna.

Saya ingat akan pesan mama, "sekolah pertama anak-anakmu adalah ibunya, jadi jangan pernah bermimpi memiliki anak-anak yang cerdas dan sukses jika diri kamu sebagai ibunya tidak kamu cerdaskan juga."

"Karena anak-anak yang cerdas itu terlahir dari ibu yang cerdas. Itu pasti. Jangan hanya memerintahkan anak belajar tapi kita sebagai ibunya malas untuk belajar, karena diri kita sebagai ibu juga perlu banyak belajar." Begitu kurang lebih pesan yang diberikan oleh mama.

Seperti di masa pandemic ini, yang mengharuskan anak-anak sekolah secara daring. Banyak beredar di medsos curhat-an ibu-ibu dalam mendampingi belajar anaknya dirumah. Ada yang bilang jadi sering migrain alias pusing berlebihan. 

Setiap hari dirumah anak memang terhindar dari virus, tapi ibu terjangkit hipertensi...hehehe. Ada lagi meme yang menggambarkan anak- anak yang rindu kembali ke sekolah karena di rumah ibunya lebih galak daripada guru atau bahkan seekor singa.

Fenomena itu seperti membalik posisi ibu yang seharusnya sebagai sekolah pertama. Sekolah malah dianggap lebih mumpuni menghandle anak, orang tua dalam hal ini ibu merasa lebih ringan jika anak di sekolah. Padahal ketika anak berperilaku tidak benar, yang pertama kali dilihat justru adalah bagaimana peran sang ibu ditengah kehidupan anaknya, kan?.

Saya mengerti kenapa mama dahulu menerapkan aturan-aturan dari mulai jam belajar, kapan saya boleh main, kapan saya boleh menonton televisi. Bahkan sejak kecil mama sudah cerewet tentang seorang perempuan sejak dini harus sudah tahu tentang pekerjaan di dapur, pun membereskan rumah.

Dahulu saya anggap mama terkesan otoriter, dengan pandangan kenapa saya sejak kecil sudah harus disuruh ini itu, kerjakan ini itu, dan lain sebagainya. Menganggap bahwa mama seperti memaksakan kehendak. Masa-masa dimana mungkin itu jugalah yang sekarang Nathan rasakan, ketika saya sudah mulai menerapkan disiplin dan tanggung jawab.

"Mama kenapa aku harus rapihkan mainan-ku?", kan aku masih kecil, tanya Nathan suatu hari. Sejak umur 3 tahun memang saya mulai mengajak ia membantu merapikan mainan, sampai sekarang ia terbiasa merapihkannya sendiri. Saya memang belum bisa menjelaskan dengan bahasa saya untuk Nathan memahami apa arti tanggung jawab. Tapi saya berusaha menunjukkan langsung arti tanggung jawab.

Saya ingin ia tidak merasa bahwa apa yang saya minta untuk dilakukan itu sebagai beban. Saya ingin ia melakukannya karena keinginannya, bukan terpaksa. Apa yang pernah mama terapkan kepada saya dahulu , yang saya anggap sebagai 'perintah' dari kecerewetan mama, ternyata ketika saya dewasa justru menjadi bekal yang membentuk karakter saya sebagai pribadi yang mandiri dan kuat.

Kehadiran Nathan menyadarkan saya bahwa setiap perempuan pada dasarnya ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Melakoni peran sebagai ibu, bukan berarti membuat kita merasa bahwa dunia ini tak ada lagi ruang untuk diri sendiri. 

Sebagai perempuan yang hidup di era globalisasi, saya meyakini bahwa setiap ibu tetap berhak untuk terus mengembangkan diri dan menggali kemampuan yang dimiliki.

Dari kejauhan mama selalu memberi peneguhan, mendoakan, dan memberi semangat kepada saya agar tidak mudah patah arang dalam membesarkan Nathan. Mama meminta saya untuk melakukan yang terbaik dan jangan lupa untuk selalu bersyukur kepada Tuhan.  Oleh karena apa yang saya alami sebagai ibu sekarang adalah sebuah proses pembentukan mental dan pribadi yang nantinya menjadi panutan bagi anak-anak saya kelak. "Terima kasih Tuhan. Terima kasih mama."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun