Dengan polos ia menjawab, "aku nggak tau ma, mama pernah ngomong bodoh, itu artinya apa ma?."Ah, seketika saya memarahi diri sendiri. Sejak itupun saya sangat berhati-hati dalam bersikap ataupun berkata-kata di dekat anak.
Benar adanya, pendidikan paling dasar bagi seorang anak diperoleh dari Ibu. Ya, saya banyak sekali belajar dan mengadopsi prinsip hidup, cara berpikir, sampai pada cara pandang dalam menghargai nilai suatu hal dari mama dahulu. Sekarang saya baru merasakan bahwa beliau mengajarkan banyak sekali contoh nyata lika liku dalam hidup.
Mungkin tanpa kita sadari, nilai-nilai yang kita anut, apa yang tertanam dalam mindset kita sekarang ini, boleh jadi adalah buah dari ajaran dan pola asuh Ibu kita sedari kecil. Ambil sisi baiknya, buang sisi buruknya. Karena layaknya manusia biasa, mereka tidaklah sempurna.
Saya ingat akan pesan mama, "sekolah pertama anak-anakmu adalah ibunya, jadi jangan pernah bermimpi memiliki anak-anak yang cerdas dan sukses jika diri kamu sebagai ibunya tidak kamu cerdaskan juga."
"Karena anak-anak yang cerdas itu terlahir dari ibu yang cerdas. Itu pasti. Jangan hanya memerintahkan anak belajar tapi kita sebagai ibunya malas untuk belajar, karena diri kita sebagai ibu juga perlu banyak belajar." Begitu kurang lebih pesan yang diberikan oleh mama.
Seperti di masa pandemic ini, yang mengharuskan anak-anak sekolah secara daring. Banyak beredar di medsos curhat-an ibu-ibu dalam mendampingi belajar anaknya dirumah. Ada yang bilang jadi sering migrain alias pusing berlebihan.Â
Setiap hari dirumah anak memang terhindar dari virus, tapi ibu terjangkit hipertensi...hehehe. Ada lagi meme yang menggambarkan anak- anak yang rindu kembali ke sekolah karena di rumah ibunya lebih galak daripada guru atau bahkan seekor singa.
Fenomena itu seperti membalik posisi ibu yang seharusnya sebagai sekolah pertama. Sekolah malah dianggap lebih mumpuni menghandle anak, orang tua dalam hal ini ibu merasa lebih ringan jika anak di sekolah. Padahal ketika anak berperilaku tidak benar, yang pertama kali dilihat justru adalah bagaimana peran sang ibu ditengah kehidupan anaknya, kan?.
Saya mengerti kenapa mama dahulu menerapkan aturan-aturan dari mulai jam belajar, kapan saya boleh main, kapan saya boleh menonton televisi. Bahkan sejak kecil mama sudah cerewet tentang seorang perempuan sejak dini harus sudah tahu tentang pekerjaan di dapur, pun membereskan rumah.
Dahulu saya anggap mama terkesan otoriter, dengan pandangan kenapa saya sejak kecil sudah harus disuruh ini itu, kerjakan ini itu, dan lain sebagainya. Menganggap bahwa mama seperti memaksakan kehendak. Masa-masa dimana mungkin itu jugalah yang sekarang Nathan rasakan, ketika saya sudah mulai menerapkan disiplin dan tanggung jawab.
"Mama kenapa aku harus rapihkan mainan-ku?", kan aku masih kecil, tanya Nathan suatu hari. Sejak umur 3 tahun memang saya mulai mengajak ia membantu merapikan mainan, sampai sekarang ia terbiasa merapihkannya sendiri. Saya memang belum bisa menjelaskan dengan bahasa saya untuk Nathan memahami apa arti tanggung jawab. Tapi saya berusaha menunjukkan langsung arti tanggung jawab.