Mohon tunggu...
Wisnu Duoglide
Wisnu Duoglide Mohon Tunggu... Freelancer - Boyolali's living being.

Tergantung kamu nanya nya ke siapa?

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pendapat Masyarakat tentang EDM (Electronic Dance Music)

25 Januari 2020   17:58 Diperbarui: 25 Januari 2020   18:10 3111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1.EDM Dekat dengan obat-obatan terlarang

Memang ada beberapa "oknum" yang menyebarkan obat-obatan terlarang pada acara EDM.Mungkin bagi sebagian orang hal ini yang membuat mereka tidak suka kepada musik EDM ini,padahal hal-hal seperti diatas juga terjadi pada acara konser musik genre lain seperti dangdut dan rock.Bukan bermaksud menyinggung genre lain, akan tetapi menurut pengalaman saya mengunjungi acara-acara musik memang ada yang secara diam-diam melakukan konsumsi obat-obatan terlarang, lalu ada juga yang meminum minuman yang biasa disebut "Oplosan" saat mengujungi acara-acara tersebut.

Bedasarkan riset yang saya lakukan bahwa mengapa EDM identik dengan obat-obatan terlarang adalah sebagai berikut:

"The festival is based in Chicago, though many revelers are totally unaware of the city’s history in dance music. During the late 1970s and early ’80s, artists within the Chicago underground were developing house (Frankie Knuckles/Derrick Carter), acid (Phuture), techno (Derrick May), and even the predecessor of deep house (Larry Heard). During this same period of time, MDMA (“molly”, “ecstasy”, “x”, “Adam”) was moving from labs– University of California, Berkeley professor Alexander Shulgin, along with some of his colleagues, famously took the drug in low quantities for recreational use– into trendy nightclubs and eventually into the rave culture. So, as many journalists and fans point out, drug culture and electronic dance music have very much developed concurrently.

(https://consequenceofsound.net/2013/09/why-mdma-is-destroying-edm/

diakses pada 23 Januari 2019 pukul 13.08)"

Jadi dapat disimpulkan kalau memang dari dahulu sudah menjadi budaya kalau menikmati EDM menggunakan obat-obatan terlarang.Dalam hal ini saya bukan bermaksud untuk membenarkan hal diatas, banyak orang yang tidak setuju dengan budaya ini.Dari hal diatas adalah kita juga harus menjaga diri dengan obat-obatan terlarang karena peredaran dari obat-obatan tersebut sudah takdapat terbendung lagi, akan tetapi setidaknya kita sebagai generasi muda menjauhi hal-hal seperti ini ,dan saya juga mengutip sebauh pernyataan dari sebuah artikel:

"We can blame the commercialization of the genre and its emerging negative associations with its decline, sure. But in a more abstract sense, there’s always the possibility that anything built upon an unsustainable premise is doomed from the beginning. Every social experiment in Utopian synergy has collapsed or fundamentally changed, its constituents simply unable to maintain the core ideals because, well, they’re ideals. Dealers at concerts can sell counterfeit MDMA until kids start dying from it, and the sphere of the mainstream can preserve themes and messages until the disintegrating force of popular attention shows that they’re just a facade."

(https://www.theatlantic.com/health/archive/2013/09/electronic-dance-music-s-love-affair-with-ecstasy-a-history/279815/

diakses pada 23 Januari 2019 pukul 13.13)

2.Semua EDM terdengar sama saja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun